Pengadaan Mirage 2000-5 dan Filosofi "Just in Case" ala Indonesia
Kehadiran Mirage 2000-5 di Indonesia merupakan upaya ”berjaga-jaga”; seraya menunggu kedatangan enam unit jet tempur Rafale. Hal itu untuk mengantisipasi dinamika perkembangan global dari sektor pertahanan udara.
Oleh
M HERINDRA
·5 menit baca
Pada 31 Januari 2023, Pemerintah RI melalui Kementerian Pertahanan menandatangani kontrak pengadaan 12 jet tempur Mirage 2000-5 eks Angkatan Udara Qatar. Nilai akuisisi 733.000.000 euro atau sekitar Rp 11,8 triliun. Harga ini termasuk untuk pelatihan dan pemeliharaan pesawat. Ke-12 pesawat akan tiba di Indonesia dalam 24 bulan setelah kontrak efektif atau pada 2025 dan akan ditempatkan di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
Mirage 2000-5 adalah jet tempur multifungsi bermesin tunggal dari generasi keempat yang diproduksi oleh Dassault Aviation, Perancis. Sebenarnya, pada 2009, atau periode di mana posisi Menteri Pertahanan dijabat oleh Juwono Sudarsono, pesawat ini pernah ditawarkan sebagai hibah oleh pihak Qatar kepada Pemerintah Indonesia.
Namun, hibah tersebut disertai persyaratan lain yang akan membebani anggaran pertahanan Indonesia. Kita terpaksa menolak hibah tersebut karena keterbatasan anggaran.
Jika kini Menhan Prabowo Subianto mengakuisisi Mirage tersebut, kebijakan ini menjadi langkah yang strategis karena berjalan paralel dengan rencana jangka panjang program pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia; di mana ke depan, Indonesia akan menggunakan jet tempur Rafale twin engine lightweight fighter jets generasi 4.5, yang juga diproduksi Dassault Aviation.
Berbeda dengan Mirage 2000-5, Indonesia membeli Rafale langsung dari Pemerintah Perancis sebagai perangkat jet tempur baru sehingga proses produksi dan delivery-nya masih menunggu hingga 2026.
Proses akuisisi atas ke-12 jet tempur Mirage 2000-5 ini pun tidak mudah. Beberapa negara lain juga mengincar pesawat ini, termasuk India, Pakistan, Bulgaria, dan bahkan Perancis sendiri sebagai produsennya berniat untuk membeli kembali jet tempur ini dari Qatar.
Indonesia juga tengah bernegosiasi dengan Uni Emirat Arab untuk mengakuisisi Mirage 2000-9. Negosiasi ini berjalan paralel dengan langkah Indonesia melobi AS untuk pembelian F-15X yang canggih.
Selain kesiapan tempur, TNI AU juga diperkuat dengan pesawat angkut C-130J Super Hercules produksi Lockheed Martin, yang telah dimodernisasi.
Kekuatan TNI AU
Ada tiga hal mendasar yang merasionalisasi kebijakan akuisisi Mirage 2000-5 yang dipertanyakan banyak pihak ini, terutama dengan mengaitkannya ke perspektif geopolitik dan geostrategis yang dinamikanya berubah cepat vis-a-vis kepentingan nasional Indonesia
Pertama, saat ini, TNI AU dilengkapi pesawat tempur dari varian F-16 A/B/C/D, SU-27/30, Hawk-109/209, T-50i Golden Eagle, dan EMB-314 Super Tocano. Namun, kesiapan tempurnya belum maksimal. Sementara untuk pesawat angkut, TNI AU memiliki C-130 B/H Hercules, CN-235, CN-295, Cassa C-212, dan KC-130B Hercules, dengan kesiapan operasional juga belum maksimal.
Indonesia memang pernah mempertimbangkan pengadaan SU-35, tetapi harus membatalkan karena kekhawatiran atas pemberlakuan UU CAATSA (the Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) yang disahkan Senat AS pada 2017 untuk menekan lawan-lawannya melalui penerapan sejumlah sanksi. UU ini sedianya ditargetkan untuk Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Indonesia sendiri tetap konsisten dengan diplomasi luar negerinya yang bebas-aktif. Namun, konsepsi dari diplomasi luar negeri Indonesia ini bukan tanpa risiko, terutama di tengah meningkatnya suhu geopolitik dunia; termasuk pecahnya konflik terbuka Ukraina-Rusia yang sudah berlangsung lebih dari setahun.
Juga, isu nuklir di Semenanjung Korea; meningkatnya tensi di Laut China Selatan (LCS) antara negara-negara di Asia Tenggara dan China sebagai dampak saling klaim kedaulatan atas wilayah laut strategis itu. Agresivitas China ini bahkan telah bersinggungan dengan kepentingan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Jepang dan Korea Selatan. Selain itu, memanasnya tensi antara Taiwan dan China.
Kesemuanya ini bukan tak mungkin akan berimbas pada kepentingan nasional Indonesia. Apalagi, meningginya suhu geopolitik ini terjadi di saat dunia belum pulih dari dampak pandemi Covid-19, di mana aktivitas industri—termasuk persenjataan—di hampir seluruh dunia harus terhenti setidaknya selama lebih dari dua tahun.
Bagi Indonesia, imbas terganggunya distribusi dan rantai pasok dunia di sektor persenjataan terasa sangat telak karena berkaitan langsung dengan ketersediaan suku cadang dan pemeliharaan alutsista TNI.
Bagi Indonesia, imbas terganggunya distribusi dan rantai pasok dunia di sektor persenjataan terasa sangat telak karena berkaitan langsung dengan ketersediaan suku cadang dan pemeliharaan alutsista TNI.
Terhambatnya rantai pasok
Kedua, sebuah terobosan guna menjaga operabilitas alutsista milik TNI AU harus dilakukan. Dalam strategi pengadaan, terdapat dua filosofi sebagai model manajemen untuk pengadaan logistik dan rantai pasok, yaitu JIT (just in time) dan JIC (just in case).
Pengadaan dengan model manajemen JIT dipahami sebagai pembelian yang dilakukan hanya saat dibutuhkan. Dengan ”pengadaan tepat waktu” ini, kita berupaya meminimalkan jumlah stok yang dimiliki untuk mengurangi nilai inventaris, mengurangi pergerakan dan kerusakan stok, dan optimalisasi prinsip ”value of money”.
Namun, filosofi JIT ini sangat bergantung pada unsur stabilitas rantai pasok guna memastikan kebutuhan atas distribusi logistik berikut semua material yang melengkapinya, dapat ”tiba tepat waktu”. Penundaan pada satu elemen rantai pasok akan berdampak pada penundaan pengadaan. Intinya, pasokan just in time membutuhkan prediktabilitas tertentu dalam variasi permintaan.
Prediktabilitas inilah yang benar-benar hilang dalam situasi pandemi dan berakibat banyak kehabisan stok di berbagai level industri.
Dalam konteks keamanan global, situasi sulit diprediksi juga terjadi dalam konsepsi geopolitik saat ini, di mana gerakan tiap negara adalah mengantisipasi meluasnya konflik Ukraina-Rusia. Dunia juga ”status siaga” menyikapi ketegangan yang kian memuncak di Semenanjung Korea dan LCS, dan memanasnya Taiwan-China.
Akibatnya, banyak negara memilih menahan stok pesawat tempur mereka dan menjadikannya sebagai bagian dari inventori alutsista mereka.
Saat menghadiri peringatan satu tahun Defend ID, Menhan Prabowo Subianto yang menyadari kesulitan ketersediaan distribusi dan rantai pasok dunia di sektor pertahanan mengatakan ia telah mengupayakan pembelian alutsista berupa pesawat tempur bekas ke beberapa negara, seperti Yunani, Mesir, bahkan AS, tetapi semua menolak menjual.
Hal ini terutama karena ketidakstabilan kawasan membutuhkan antisipasi tinggi dari setiap negara jika dampak konflik bermanifes dan meluas.
Kalaupun ingin menambah armada pesawat tempurnya, Indonesia harus membeli yang baru. Artinya, alutsista tersebut baru akan terealisasi dalam lima tahun ke depan.
Sebaliknya, pengadaan JIC mengambil pendekatan yang lebih konservatif, di mana kita memesan stok melebihi kebutuhan saat ini untuk mengantisipasi permintaan di masa mendatang. Ini memungkinkan kita mempertahankan tingkat inventaris yang lebih tinggi, tetapi pada gilirannya akan memproteksi kita dari gangguan rantai pasok.
Memang ada risiko dari metode ini, di mana biaya pemeliharaan sebagai inventaris aset dapat menjadi tinggi, atau bahkan barang yang telah kita pasok jadi usang (obsolescence).
Penerapan filosofi JIC ini mulai diikuti organisasi militer, termasuk di AS dan beberapa negara Eropa. Kehadiran Mirage 2000-5 di Indonesia merupakan upaya ”berjaga-jaga”; seraya menunggu kedatangan enam unit jet tempur Rafale.
Kehadiran Mirage 2000-5 di Indonesia merupakan upaya ”berjaga-jaga”; seraya menunggu kedatangan enam unit jet tempur Rafale.
”Trust building”
Ketiga, selain sebagai terobosan dalam pengadaan alutsista, akuisisi Mirage 2000-5 juga mencerminkan diplomasi pertahanan Indonesia yang berhasil menghadirkan kepercayaan dari Qatar dan Perancis— yang selanjutnya dapat menjadi ”partner strategis” bagi Indonesia di tengah mengkristalnya poros-poros pertahanan dunia.
Selain terbangunnya rasa percaya menyangkut jual-beli senjata antara Indonesia dan Qatar, relasi lebih luas yang menyangkut investasi di sektor lain tentu menjadi suatu keniscayaan.
Pada akhirnya, pengadaan Mirage 2000-5 merupakan wujud langkah Menteri Pertahanan dalam mengantisipasi dinamika perkembangan global dari sektor pertahanan udara, setidaknya sampai lima tahun ke depan.
M HerindraWakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia