Pertumbuhan mendatang tak hanya harus kuat, tetapi juga perlu benar-benar berkualitas, inklusif, berkeadilan, serta berkelanjutan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sempat terpeleset kembali ke status pendapatan menengah bawah saat pandemi, status negara berpendapatan menengah atas kembali disandang Indonesia di 2023.
Tiga puluh tahun terperangkap dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap), maka jadi mimpi besar bangsa ini untuk bisa naik kelas lagi menjadi negara berpendapatan tinggi.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengungkapkan keyakinannya bahwa Indonesia sudah menjadi negara maju pada 2045. Saat itu, kita sudah lima besar ekonomi dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) nominal 9,8 triliun dollar AS. Kelas menengah akan menyumbang 80 persen total penduduk dengan produk nasional bruto (PNB) 30.000 dollar AS per kapita per tahun.
Semua diyakini bisa dicapai dengan memanfaatkan bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2030 saat 68,3 persen penduduk berusia produktif. Saat ini, dengan PNB/kapita 4.580 dollar AS, Indonesia berstatus negara berpendapatan menengah atas. Untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah ini, pertumbuhan ekonomi 20 tahun ke depan harus mencapai rata-rata 6-7 persen per tahun.
Mereka yang skeptis berpandangan, menggenjot pertumbuhan 6-7 persen tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan pertumbuhan rata-rata 20 tahun terakhir hanya 4-5 persen, mereka melihat era pertumbuhan tinggi Indonesia telah berakhir. Belum lagi dengan adanya deindustrialisasi dan kualitas sebagian besar sumber daya manusia (SDM) yang masih memprihatinkan.
Bank Dunia mencatat, selain penurunan tajam angka kemiskinan ekstrem, Indonesia juga mencatat pertumbuhan pesat kelompok kelas menengah, yang jumlahnya mencapai 53,6 juta (20,05 persen penduduk). Kelompok ini terbukti menjadi motor penting pertumbuhan karena, meski hanya seperlima dari jumlah penduduk, mereka menyumbang separuh dari total konsumsi rumah tangga nasional.
Di luar mereka, 114,7 juta (44 persen) penduduk Indonesia lain diperkirakan juga segera bergabung dalam barisan kelas menengah ini; menciptakan suatu kekuatan penggerak ekonomi yang luar biasa yang diyakini bisa membawa Indonesia naik kelas ke status negara berpendapatan tinggi.
Persoalannya, kita juga tak boleh lupa, masih ada 28 juta (10,7 persen) penduduk kita terkategori miskin dan 61,6 juta (23,6 persen) yang masih masuk kelompok rentan. Ini jumlah yang besar, 44,3 persen penduduk. Besarnya angka ini menunjukkan, semua kemajuan yang kita capai selama ini belum sepenuhnya dinikmati secara merata oleh semua penduduk.
Dari sini muncul desakan, pertumbuhan ke depan tak hanya harus kuat, tetapi juga harus benar-benar berkualitas, inklusif, berkeadilan, berkelanjutan. Selain mereplikasi strategi yang sudah terbukti sukses di negara yang sudah jauh menyalip kita, kita juga perlu memaksimalkan apa yang jadi kekuatan kita.
Sejumlah pengamat menekankan pentingnya memperluas strategi hilirisasi, tak terbatas pada sektor mineral dan batubara, tetapi juga sektor agrikultur. Berbagai kebijakan dan capaian pembangunan beberapa tahun terakhir menjadi fondasi lebih kokoh bagi bangsa ini untuk bisa berlari lebih cepat.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO