Sejarah dan Tanggung Jawab Kemanusiaan
Penulisan ulang sejarah terkait pelanggaran HAM berat sebagai memori kolektif adalah tanggung jawab sosial untuk memutus rantai impunitas. Menjadi penting mengembalikan rasa adil korban melalui re-calling memori korban.
Bagaimana sejarah menjawab peristiwa penghancuran situs-situs pelanggaran HAM berat masa lalu?
Sebut saja, penghancuran Rumah Geudong di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh.
Sejarah adalah ingatan kolektif untuk melihat kembali peristiwa masa lalu serta memikirkan dampaknya pada masa kini. Untuk mencapai keadilan sejarah, kita memerlukan sebuah rumusan kerangka keadilan pasca-pemerintahan otoriter yang kejam.
Tahun 1998, sesudah pemerintahan otoriter Orde Baru tumbang, negara berkewajiban mengusut dan mengadili kasus serta pelaku yang bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketika negara tidak melaksanakan kewajibannya, sejatinya negara berutang kepada rakyatnya yang disebut sebagai ”kewajiban negara untuk mengingat” (state duty to remember).
Ketika negara tidak memenuhi kewajibannya, negara telah melakukan impunitas, menghilangkan fakta sejarah untuk menutup peristiwa kekerasan masa lalu dan menghindar dari kewajiban menyelesaikan pelanggaran HAM.
Baca juga : Rumoh Geudong dan Upaya Membangun Memori Kolektif Kebangsaan
Sesudah 25 tahun reformasi, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), melalui Keppres No 17 Tahun 2022, yang kemudian mengeluarkan rekomendasi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ke-12 peristiwa itu adalah peristiwa 1965; peristiwa penembakan misterius; peristiwa Talangsari 1989; peristiwa Rumah Geudong dan Sattis, Aceh 1989; peristiwa Penghilangan Paksa 1997-1998; peristiwa Mei 1998; peristiwa Trisakti-Semanggi I-II, 1998-1999; peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; peristiwa Wasior Papua, 2000-2001; peristiwa Wamena 2003; peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Terbitnya keppres ini disertai pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengumumkan dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat pada masa lalu, tanpa permintaan maaf.
Sejarah kekerasan politik di Indonesia adalah kisah ketidakadilan yang tak berbalas. Segala perjanjian diingkari dan dicampakkan, komunitas dilenyapkan, kebudayaan dirusak atau dihancurkan, orang-orang tak berdosa dikhianati, dibantai, diperbudak, dijarah, dan diperkosa.
Ketidakadilan sejarah meninggalkan bayangan panjang. Dampaknya tetap hidup meskipun para pelaku dan korban telah mati. Trauma dan memori membayangi anak-cucu korban, merusak sejarah umat manusia, dan meracuni hubungan antarkomunitas.
Pengalaman kekerasan para penyintas merupakan kisah-kisah traumatis sekaligus kemampuan mereka untuk bertahan hidup dalam mengatasi ketidakadilan dan stigmatisasi yang berlanjut. Narasi itu telah membuka ”ruang” sejarah baru untuk kebenaran dan keadilan.
Penulisan pengalaman para korban dan penyintas merupakan upaya untuk menghentikan ”politik pembungkaman”, yang lazim digunakan pelaku kekerasan sebagai alat teror agar korban dan masyarakat dicengkeram rasa takut. Narasi korban menjadi salah satu cara untuk memecah kebisuan dan elemen penting untuk penyusunan kembali masa lalu yang adil.
Mendengarkan suara korban
Upaya mendengarkan suara korban dimaksudkan untuk: (1) mengambil bagian persoalan dan realitas yang selama ini sudah dimaknai secara sepihak oleh penguasa; (2) memaknai kembali bahasa korban untuk menjadi sumber penyusunan kembali sejarah; (3) menciptakan ruang bersama yang berpegang pada hati nurani.
Selain itu, (4) penerimaan kembali akan kebenaran untuk memulihkan tatanan sosial dan budaya yang terbelah akibat peristiwa kekerasan; dan (5) memutus rantai impunitas dengan mendorong tumbuhnya kesadaran kolektif akan struktur yang adil dan praktik-praktik kekerasan yang berasal dari pengalaman korban.
Sejarah lisan
Sebuah gerakan sosial yang menggunakan metode sejarah lisan, dan menginspirasi bangsa-bangsa lain di dunia untuk memutus rantai impunitas terhadap pelanggaran HAM, terjadi di Argentina pada 1983.
Setelah rezim militer di Argentina jatuh, tuntutan untuk membuka kasus-kasus penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan menjadi gerakan masyarakat dengan semboyan mereka yang sangat terkenal ”Nunca Mas” (Never Again).
Namun, karena tak ada data, arsip, dan dokumen yang bisa membantu untuk mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu, dibentuklah Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional sobre la Desaparicion de Personas; Commission on the Disappearance of Persons/Conadep).
Dalam aktivitasnya untuk mengumpulkan dokumen dan fakta pelanggaran HAM, Conadep menggunakan metode sejarah lisan untuk merekam ingatan korban pelanggaran HAM. Gerakan untuk membangun ingatan kolektif ”Nunca Mas” di Argentina menjadi inspirasi bagi bangsa lain, termasuk Badan Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Body).
Ketika ingatan kolektif masyarakat dihancurkan, sejarah sebagai penjelasan dan keabadian kolektif telah ditutup. Upaya tersebut melanggengkan impunitas dan membunuh rasa adil korban.
Untuk mengingatkan tentang masa lalu yang menjadi tanggung jawab moral sejarah, Hannah Arendt (1993) menegaskan, ingatan kolektif adalah alat untuk memutus mata rantai impunitas, dan merupakan tanggung jawab kemanusiaan untuk membangun kesadaran moral sosial, akan struktur ketidakadilan dan politik kekerasan yang bersumber dari memori dan narasi korban.
Penulisan ulang sejarah sebagai memori kolektif adalah tanggung jawab sosial. Karena menafsir masa lalu dengan mengingat dan melestarikannya, proses itu disebut sebagai penyusunan sejarah (history-making). Penyusunan sejarah adalah kebutuhan sosial untuk mengisi identitas kebangsaan.
Mengapa dan apa saja tugas sejarah? Pertama, sejarah sebagai memori dan sumber jati diri yang membentuk identitas. Kedua, sejarah sebagai keabadian kolektif (collective immortality). Ketiga, sejarah sebagai tradisi budaya. Keempat, sejarah sebagai penjelasan akan kebenaran dan keadilan dari sebuah tatanan sosial yang terbelah akibat kekerasan masa lalu.
Ketika ingatan kolektif masyarakat dihancurkan, sejarah sebagai penjelasan dan keabadian kolektif telah ditutup. Upaya tersebut melanggengkan impunitas dan membunuh rasa adil korban.
Menjadi penting mengembalikan rasa adil korban melalui gerakan re-calling memori yang bersumber dari suara korban. ”Kebenaran” sejarah yang selama ini sudah dimaknai secara sepihak oleh penguasa harus ditulis ulang melalui gerakan klarifikasi sejarah yang bersumber pada suara korban.
Ita Fatia NadiaKetua Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan. Anggota Tim Klarifikasi Sejarah Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu