Tekanan sosial dalam paguyuban atas nama loyalitas saat prapemilu tak boleh menggaruk integritas dan otonomi demi kebenaran, obyektivitas, kemanusian. Kesadaran kritis merupakan tablet mujarab melawan bius loyalitas.
Oleh
FIDELIS REGI WATON
·3 menit baca
Salah satu studi sosio-politis di AS memaparkan fenomena unik. Kaum Demokrat cenderung memilih kucing sebagai peliharaan. Yang berhaluan Republik memfavoritkan anjing. Menurut stereotip klasik, kucing suka menyendiri, disinterest, simbol individualis, anti-otoriter, liberal.
Anjing lebih setia, patuh, dan loyal sepadan dengan spektrum konservatif. Terlepas dari dikotomi ini, kedua kubu butuh loyalitas sebagai iklim niscaya menjaring kesuksesan politik.
Loyalitas termasuk elemen konstitutif dalam relasi antarpribadi, baik formal maupun informal. Kondisi idealnya adalah realisasi loyalitas internal dan eksternal.
Dari sana terekspresi citra diri, karakter kesetiaan, saling mengakui, menghargai, dan rela berkorban. Insan loyal lazimnya berkorelasi akurat dengan yang lain. Acapkali loyalitas otentik terbaca saat krisis karena ada yang meniliknya sekadar kata, ada yang cara hidup.
Dalam kehidupan bersama loyalitas diinternalisasikan bagaikan kaidah tak tertulis, kadang melebihi hukum dan etika. Secara populer loyalitas dicap kebajikan. Komitmen dan kemitraan yang langgeng menagih protagonis dan kontestan yang loyal, tapi loyalitas bukanlah jalan satu arah, timbal-balik. Kefair-an institusi ditandai loyalitas resiprokal atasan dan bawahan. Loyalitas sepihak memiliki tanggal kedaluwarsa, dikaitkan dengan ketidakjujuran, represi, dan manipulasi.
Standar loyalitas dalam sosialitas adalah kesetiaan pribadi, bukan kepatuhan buta. Loyalitas jadi parameter integritas dan kredibilitas pribadi.
Bagi sistem ideologi totaliter, birokrasi atau agama yang hierarkis, loyalitas harga mati. Semua struktur kekuasaan, juga yang demokratis, mengedepankan loyalitas. Aparat negara (sipil dan militer) berfungsi karena loyalitas. Sikap tak loyal dianggap pengkhianatan tak termaafkan. Aspek ini yang membuat kekuasaan selalu dicurigai warga dan minus transparansi.
Dalam skala parpol, khususnya menjelang pemilu, tuntutan loyalitas sangat kondusif demi konsolidasi kemenangan. Acapkali ia diinstrumentalisasikan dengan sasaran konstruksi we-feeling (semangat kekorpsan). Dentum loyalitas sangat emosional dan sugestif.
Ia bisa mengaburkan kompetensi estimasi dan menyensor kekritisan. Di baliknya bertengger momok logika primitif: ”Jika Anda tak memihak kita, maka Anda menentang”. Figur loyal sangat strategis demi mengegolkan tujuan dan implementasi konsensus. Loyalitas jadi taruhan, penyulut konflik jika suatu keputusan melenceng dari orientasi dan patokan bersama.
Primat kebenaran
Satu pernyataan dalam bahasa Inggris berbunyi, ”Jika satu organisasi ingin Anda melakukan yang benar, ia meminta integritasmu; ketika ia mau, agar Anda berbuat salah, ditagih loyalitasmu”. Frasa terakhir merangsang konflik loyalitas.
Secara psikologis konflik jenis ini destruktif, bagai toksin dalam jiwa. Loyalitas wajib didiferensi dari solidaritas. Solidaritas mengandaikan alasan faktual, loyalitas justru ditagih ketika tak ditemukan alasan dan argumen masuk akal dan nyata. Loyalitas membidani sikap oportunistis, menghambat penilaian adil dan obyektif. Loyalitas dalam alur ini hanyalah metafora dari penyimpangan.
Loyalitas yang selalu digenderangkan juga punya sisi negatif. Insan berdaulat, otonom, dan dicerahkan, menilik loyalitas seperti borok. Baginya loyalitas tak lain eufemisme untuk kepatuhan buta pada kehendak lain. Tanpa disadari tabiat loyal lama-kelamaan mengarahkan kompas moral kita dan mengeliminasi independensi.
Paparan aspek kelabu loyalitas bukan berarti mau mengeksoduskan terma ini dari kamus dan sikap hidup. Secara naif loyalitas acapkali ditafsir sebagai loyal ke individu dan lembaga. Kita mesti kembali ke fundamen loyalitas: maksim moral yang benar dan humanis. Loyalitas dengan demikian mengandung motivasi dan komitmen intrinsik, senantiasa dikendalikan rasio, bukan emosi.
Jika sikap loyal dipahami dalam ranah dimaksud, kita pasti tetap mandiri dan bebas dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Tekanan sosial dalam paguyuban atas nama loyalitas saat prapemilu tak boleh menggaruk integritas dan otonomi kita demi kebenaran, obyektivitas, kemanusiaan. Loyalitas terhadap nilai-nilai mulia ini harus tetap jadi prioritas.
Kesadaran kritis merupakan tablet mujarab melawan bius loyalitas. Sikap ini tak mudah karena lazimnya orang lebih betah dalam candu harmoni, keamanan, konformitas, aneka sentimen dan kalkulasi lainnya.
Mestinya kita selalu mendengar getaran nurani dan budi sebagai instansi moral dan kebenaran tertinggi. Meski begitu, nurani dan akal harus diedukasi dengan baik dan benar.
Memorandum Plato sehubungan dengan gurunya, Socrates, masih relevan sebagai kiblat: Amicus est Socrates, magister meus, sed magis est amica veritas (saya mencintai Socrates, guruku, tapi saya lebih mencintai kebenaran). Primat kebenaran ini sanggup memerdekakan kita dari belenggu loyalitas dalam menimbang dan menjatuhkan pilihan politik.