Kampanye negatif menjadi keniscayaan dalam demokrasi. Kampanye negatif menyerang lawan dengan mengkritisi karakternya, kebijakannya, kegagalannya, ataupun partai pendukungnya sesuai fakta.
Oleh
SALVATORE SIMARMATA
·5 menit baca
Puisi politik Butet Kartaredjasa yang disampaikan di depan pendukung PDI-P dalam rangka Bulan Bung Karno di Jakarta beberapa waktu lalu menuai kontroversi karena dianggap menyerang dua bakal calon lain, tetapi saat yang sama memuji bakal calon dari PDI-P, Ganjar Pranowo. Serangan politik seperti ini menggambarkan kampanye negatif yang kurang berkualitas dalam pemilu kita.
Kampanye negatif sudah menjadi keniscayaan dalam demokrasi dan tidak mungkin dapat dihindari sejauh kompetisi elektoral ini dilakukan secara jujur, bebas, adil, dan demokratis. Di satu sisi, kandidat perlu membedakan dirinya dari kandidat lain dan menunjukkan mengapa mereka lebih layak dibanding yang lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menunjukkan kelebihan diri sendiri dan kekurangan lawan (kampanye negatif) pada saat yang sama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Di sisi lain, pemilih butuh informasi yang mendekati lengkap terkait satu kandidat, baik sisi positif maupun negatif, sehingga keputusan pilihan pemilih kredibel. Informasi negatif diri ini tidak mungkin datang dari kandidat itu sendiri, melainkan dari lawan politik yang sedang bersaing merebut hati pemilih.
Mengingat jadwal kampanye yang pendek di 2024 nanti, tim sukses bakal calon merasa perlu menyerang lawan lebih awal untuk maksud tertentu. Dari sejumlah literatur, kampanye negatif digunakan untuk beragam tujuan. Pertama, kampanye negatif dilakukan untuk menguatkan keyakinan pemilih sendiri agar tidak lari ke calon lain. Kampanye negatif ditebar untuk mengingatkan kembali ”ancaman” yang ada di hadapan calon pemilih jika mereka memilih kandidat tersebut.
Kedua, kampanye negatif digunakan lebih awal untuk menarik perhatian media sehingga muncul publisitas yang masif dari media. Ketiga, sejumlah survei menemukan sebagian pemilih sudah menentukan pilihan mereka pada kandidat tertentu sejak sekarang, maka kampanye negatif disebar untuk memengaruhi pemilih ragu-ragu dan menarik pendukung lawan. Terakhir, kampanye negatif dikerahkan untuk mendemotivasi pendukung lawan untuk hadir saat hari pemilihan karena rasa kekecewaan yang mendalam terhadap kotornya proses kampanye.
Persoalannya adalah kualitas kampanye negatif di pemilu kita sangat buruk. Belajar dari Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019, kampanye negatif di Indonesia didominasi oleh isu personal dan identitas ketimbang kebijakan atau program yang disebarkan baik secara online maupun offline.
Selain karena pudarnya ideologi partai, buruknya kualitas kampanye pemilu di Indonesia disebabkan oleh hilangnya keinginan untuk memperbaiki sistem demokrasi sesuai tujuan konstitusi dan nilai-nilai universal demokrasi—membawa perubahan dan perbaikan dalam segala aspek berbangsa dan bernegara dan bukan hanya agar menang. Menjalankan kampanye berkualitas, apalagi yang sifatnya mengevaluasi keadaan riil oleh para kontestan pemilu dapat menggoyahkan status quo karena munculnya kesadaran kritis dan dorongan kolektif untuk bangkit mengusung perubahan besar lewat pemilu.
Pesan kampanye yang dipakai untuk menang lebih menyangkut isu permukaan yang menjauhkan pemilih dari persoalan riil masyarakat, bangsa, dan negara.
Partai yang eksklusif dan elite oligarkis cenderung khawatir dengan perubahan. Hal ini tecermin tidak hanya dalam kampanye, tetapi juga resistensi untuk menghapus ambang batas parlemen dalam pencalonan pemilu presiden. Di tingkat daerah, resistensi ini lebih rumit lagi dengan pola dinasti politik yang cenderung korup (Hadiz 2004). Keengganan untuk berubah itu mendominasi kampanye pemilu sehingga para kontestan berupaya untuk menang dengan cara yang tidak mengancam hubungan kekuasaan yang ada.
Akibatnya pesan kampanye yang dipakai untuk menang lebih menyangkut isu permukaan yang menjauhkan pemilih dari persoalan riil masyarakat, bangsa, dan negara. Muncullah narasi-narasi yang berorientasi kepada politik identitas, konspirasi teori, disinformasi, dan sejenisnya. Pada dua periode pemilu terakhir, fitnah, berita palsu, dan ujaran kebencian atau kita sebut kampanye hitam malah makin mencuat bahkan dengan menggunakan propaganda komputasional di media sosial.
Kapasitas kandidat
Kampanye hitam merupakan strategi kampanye untuk menyerang lawan politik dengan cara menyebarluaskan informasi palsu, baik ditujukan secara langsung kepada tokoh tertentu maupun tidak langsung melalui anggota keluarga atau relasi lainnya. Kampanye negatif adalah kampanye yang menyerang lawan dengan mengkritisi karakternya, kebijakannya, kegagalannya, maupun partai pendukungnya sesuai fakta.
Pesan kampanye negatif tentu tidak selamanya harus fokus kepada kebijakan atau program kandidat. Aspek karakter juga penting untuk dibandingkan, tetapi dari dimensi yang punya relevansi dengan kepemimpinan kandidat sebagai calon pejabat publik. Karakter kepemimpinan ini bisa mencakup integritas, kompetensi, dan determinasi atau keberanian untuk mengambil risiko dalam mewujudkan kebijakan yang diyakini baik bagi kemajuan bangsa disertai bukti dan data.
Keempat aspek tersebut (kebijakan, integritas, kompetensi, dan determinasi) perlu dievaluasi pada masing-masing kandidat sesuai dengan data dan pengalaman yang bersangkutan, yang saya sebut sebagai kapasitas kandidat. Hal ini sejalan dengan bagaimana umumnya pemilih menilai kandidat saat pemilu di demokrasi negara-negara maju dengan melihat atribut kapasitas dan politik, seperti kompetensi, kualitas memimpin, pengetahuan, dan integritas politik (Ohr and Oscarsson 2013). Maka, kontestan pemilu perlu menggeser fokus evaluasi dan kritik mereka terhadap kandidat lawan dari persoalan identitas ke evaluasi kapasitas kandidat dalam kampanye negatif mereka.
Kampanye negatif berkualitas adalah kampanye yang mengkritik kandidat lawan pada sisi kapasitasnya, mulai dari kebijakan, kompetensi, kualitas memimpin, integritas diri, hingga keberanian mengambil keputusan untuk memberi pencerahan politik bagi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Kampanye negatif berkualitas ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, pesan kampanye negatif selain berdasarkan fakta juga memiliki relevansi dengan ruang lingkup dan tugas jalannya pemerintahan.
Kedua, kampanye negatif perlu memiliki manfaat yang mampu membantu pemilih untuk mendasarkan pilihan politik mereka pada aspek yang bersifat universal (lintas kelompok masyarakat). Ketiga, kampanye negatif berkualitas fokus pada penilaian dan evaluasi atas kebijakan, kinerja, dan efek dari capaian pemerintahan sebelumnya jika terkait petahana.
Evaluasi dan kritik ini berbasis data yang disampaikan untuk membantu pemilih memahami apa yang menjadi dampak dari pilihan/bukan pilihan mereka. Kampanye negatif kepada kandidat penantang yang berkualitas dapat berupa kritik dan penguji usulan program yang akan dibuat serta implikasi dari kebijakan tersebut dibandingkan dengan hasil kerja pemerintahan sebelumnya. Penantang juga memiliki pengalaman yang bisa dijadikan bahan evaluasi pada profesinya sebelum jadi kontestan pemilu.
Keempat, kampanye negatif berkualitas harus akuntabel, artinya menjunjung transparansi identitas diri baik kandidat secara langsung maupun tidak langsung lewat pihak lain di media kampanye. Komunikasi kampanye yang mendukung atau menyerang kandidat tertentu wajib menyertakan identitas otentik pembuatnya. Kampanye negatif berkualitas mendorong akuntabilitas calon dalam berkampanye dan harapannya saat memimpin jalannya pemerintahan nanti.
Demokrasi yang berkualitas membawa perbaikan kehidupan masyarakat dan kemajuan bangsa. Itu dapat terwujud bukan hanya dengan pemilu langsung dan kompetitif, melainkan juga yang mengevaluasi kebijakan secara menyeluruh dan kritis serta menawarkan alternatif jalan perbaikan ke depan dari para kontestan. Proses ini dapat terjadi jika ada kemauan untuk mengusung kampanye negatif yang berkualitas pada pemilu mendatang.
Salvatore Simarmata, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta; Mahasiswa doktoral di Australian National University, Canberra; Meneliti kampanye negatif di pemilu Indonesia (1955-2019)