Indonesia dan Malaysia berhasil mencapai kesepakatan batas maritim di utara Selat Malaka setelah 18 tahun berunding. Kesepakatan batas maritim adalah hasil sebuah proses kompromi. Ini bukan hanya soal menang dan kalah.
Oleh
I MADE ANDI ARSANA
·4 menit baca
Tanggal 8 Juni 2023, tepat saat peringatan Hari Laut Sedunia, Indonesia dan Malaysia menorehkan sebuah sejarah penting. Dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim, kedua negara menyepakati perjanjian batas maritim untuk laut teritorial.
Perjanjian batas maritim terakhir disepakati Indonesia dan Malaysia tahun 1970, atau 54 tahun sebelum akhirnya perjanjian baru disepakati. Selama kurun waktu tersebut, usaha untuk mencapai kesepakatan selalu berjalan.
Dalam diskusi penulis dengan dosen dan ahli hukum internasional dari Fakultas Syariah dan Hukum Universiti Sains Islam Malaysia, Dr Mohd Hazmi Mohd Rusli, negosiasi secara intensif dilakukan sejak tahun 2005 ketika kasus sengketa Blok Ambalat mengemuka. Artinya, perlu waktu tidak kurang dari 18 tahun bagi kedua negara untuk mencapai kesepakatan batas maritim.
Perlu diingat, Indonesia dan Malaysia telah mengakui/meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Artinya, hak dan kewenangan kedua negara atas laut didasarkan pada UNCLOS.
Keduanya berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif (ZEE, 200 mil laut), dan landas kontinen (dasar laut) yang bisa melebihi 200 mil laut. Satu mil laut setara dengan 1.852 meter.
Berdasarkan UNCLOS ini, Indonesia dan Malaysia berhak atas laut yang luas. Meski demikian, jarak kedua negara berdekatan satu sama lain. Akibatnya, tidak mungkin bagi Indonesia ataupun Malaysia untuk menguasai semua zona maritim yang diizinkan UNCLOS tanpa adanya tumpang tindih satu sama lain.
Tumpang tindih inilah yang menyebabkan kedua negara perlu berbagi laut melalui penetapan (delimitasi) batas maritim di Selat Malaka bagian utara, Selat Malaka bagian selatan, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Itu pula sebabnya, kedua negara memerlukan beberapa perjanjian.
Dari tahun ke tahun, kita sering disuguhi berita terkait insiden di kawasan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia. Sengketa terkait Blok Ambalat yang meledak pada 2005 dan 2009 adalah salah satu contoh nyata.
Insiden penangkapan nelayan di Selat Malaka, Tanjung Berakit, dan Laut China Selatan juga terjadi silih berganti. Masalah utamanya adalah belum disepakatinya batas maritim. Meski demikian, kedua negara telah mengajukan usulan batas maritim sesuai dengan interpretasi dan kepentingan masing-masing.
Usulan tersebut menimbulkan tumpang tindih ruang laut. Di ruang ini kerap terjadi perselisihan dan ketegangan yang berujung insiden.
Puluhan tahun berunding, Indonesia dan Malaysia tak kunjung bersepakat. Berbilang perdana menteri telah berganti di Malaysia dan berbilang presiden datang dan pergi di Indonesia, tetapi kesepakatan batas maritim belum juga tercapai.
Oleh karena itu, apa yang dicapai Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim pada tahun ini patutlah mendapat apresiasi. Tentu banyak pihak di kementerian dan lembaga kedua negara yang juga berkontribusi bagi dicapainya kesepakatan tersebut.
Proses kompromi
Buntut dari kesepakatan ini cukup gaduh di Malaysia. Ada yang menuduh PM Anwar Ibrahim telah menjual kedaulatan Malaysia kepada Presiden Jokowi di Indonesia. Sementara itu, di sisi Indonesia pun kerap ada suara sumbang jika kesepakatan batas maritim berhasil dicapai. Tuduhan atau kecurigaan akan kekalahan kerap mengikuti sebuah capaian kesepakatan.
Kesepakatan batas maritim adalah hasil sebuah proses kompromi. Ini bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan soal kebesaran hati menerima perbedaan, lalu bekerja sama untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak.
Bisa dipahami, Indonesia tidak akan menerima begitu saja usulan Malaysia dan demikian pula sebaliknya. Maka, demi tercapainya kesepakatan, kedua belah pihak harus mau menyesuaikan keinginan. Ini adalah karakter utama sebuah negosiasi, bahwa setiap pihak akan mendapatkan kurang dari apa yang mereka inginkan di awal.
Satu yang penting untuk dicatat, Indonesia dan Malaysia berhasil mencapai kesepakatan tanpa intervensi pihak ketiga. Sebenarnya bisa saja keduanya membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), tetapi mereka memilih berunding. Pilihan ini menunjukkan kedekatan hubungan dan kepercayaan satu sama lain.
Meskipun belum tuntas semua segmen batas maritim, keduanya memutuskan untuk mengikat diri dalam perjanjian.
Meskipun belum tuntas semua segmen batas maritim, keduanya memutuskan untuk mengikat diri dalam perjanjian. Ini merupakan pendekatan yang baik karena masyarakat kedua negara dan dunia akan melihat adanya progres.
Pernah pada suatu masa ada pendekatan nothing agreed until everything is agreed, bahwa perjanjian akan ditetapkan jika semua segmen sudah disepakati. Pendekatan semacam ini bisa memakan waktu lama dan akan menimbulkan kesan yang lambat.
Pendekatan ini tampaknya sudah berubah. Ini langkah tepat, sekali lagi, untuk mencatat dan menunjukkan adanya progres yang jelas dalam proses negosiasi.
Lepas dari kemungkinan perdebatan yang muncul terkait adil tidaknya kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia, keduanya telah menjadi contoh yang baik dalam menyelesaikan konflik dengan cara damai melalui negosiasi. Sebagai tetangga dan bangsa serumpun, memiliki batas yang jelas adalah bagian penting dari menjamin pertetanggaan yang baik. Seperti ungkapan seorang penyair Amerika, Robert Frost, Good fences make good neighbors.
I Made Andi ArsanaDosen Aspek Geospasial Hukum Laut di Departemen Teknik Geodesi, UGM