Kecerdasan Buatan dan Kecemasan Dehumanisasi
Kecemasan bahwa AI melakukan dehumanisasi diperlukan, meski tidak boleh berlebihan. Teknologi diperlukan untuk membantu dan memudahkan kehidupan kita. Juga bukan melakukan dehumanisasi, melainkan untuk humanisasi.
”Kita mendesain teknologi dan teknologi, pada gilirannya, mendesain kita,” kata ”tech emotionographer” Pamela Pavliscak.
Stephen Hawking pernah mengatakan, ”Kecerdasan buatan supercerdas tak diragukan baik bagi kita jika ia memenuhi tujuan ia didesain, tetapi jika tujuan itu bertentangan dengan kepentingan kita, kita dalam masalah besar.”
Bill Gates mengakui, dirinya ”khawatir dengan kecerdasan super”. Elon Musk menjuluki kecerdasan buatan ”risiko fundamental bagi eksistensi peradaban manusia”, meski itu tak menghentikannya dari upaya mengimplannya ke otak kita.
Majalah Time edisi 12 Juni 2023 menampilkan sampul depan bertuliskan ”The End of Humanity”. Dalam laporannya, Time menampilkan ilustrasi kera yang berevolusi menjadi manusia, lalu menjadi robot.
Manusia segumpal data
Pernyataan para ilmuwan dan para produsen teknologi serta laporan majalah tersebut menunjukkan kecemasan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bakal menggerus peradaban manusia, mendehumanisasi. Kekhawatiran teknologi mendegradasi derajat perikemanusiaan kita sesungguhnya bukanlah perkara baru. Setiap teknologi baru lahir, kecemasan semacam itu hadir.
Ketika teknologi televisi hadir, kita mencemaskan dampak negatifnya pada manusia. Kita khawatir manusia menciptakan televisi dan televisi kemudian mengatur hidup kita. Kita kecanduan menonton televisi sehingga ia pernah mendapatkan julukan ”opium masyarakat” (the opium of the people).
Baca juga : Mengupas Teknologi dalam Bingkai Kemanusiaan
Akan tetapi, kekhawatiran kita meningkat dengan kehadiran AI. Kita cemas AI bukan cuma mengatur hidup manusia, melainkan juga mendehumanisasi kita. AI dalam praktiknya mendegradasi manusia sebagai sekumpulan data (datafication of human).
Pada mulanya manusia mendesain algoritma. Pada gilirannya algoritma mendesain manusia. Algoritma, misalnya, mendesain perilaku manusia dalam mengonsumsi berita sebagai sekumpulan data. Data itu lantas mengatur media atau jurnalis untuk menulis dan memublikasikan berita umpan klik (clickbait).
Berita umpan klik sesungguhnya bukan berita yang ditulis untuk manusia, melainkan untuk segumpal data atau obyek. Itu karena, menurut kolumnis Amanda Ripley, berita-berita tersebut tidak mengandung harapan (hope), tidak menjadikan manusia sebagai agensi (agency), serta mengabaikan martabat (dignity) manusia. Berita umpan klik melulu mengandung kengerian dan sensasi tanpa disertai solusi.
Jurnalis yang menulis berita berdasarkan algoritma bukanlah manusia kreatif, melainkan manusia instan. Teknologi dalam hal ini membunuh kreativitas manusia sekaligus menciptakan manusia instan. Manusia mendesain teknologi dan teknologi, pada gilirannya, mendesain manusia, yang celakanya, instan.
Tatkala kecerdasan buatan mendegradasi manusia, pada saat itu pula ia melampaui manusia. ”Metaverse jauh menembus batas dan lebih berkuasa… jika dibandingkan pemerintahan mana pun, bahkan bisa jadi Tuhan di muka bumi,” kata Tim Sweeney, CEO Epic Games.
Ilustrasi
Terpulang kepada kita
Kecemasan bahwa AI melakukan dehumanisasi diperlukan, meski tidak boleh berlebihan. Kekhawatiran berlebihan terhadap perkembangan teknologi hanya akan menjauhkan kita dari pengembangan dan perkembangan teknologi. Kita tetap memerlukan teknologi untuk membantu dan memudahkan kehidupan kita.
Kekhawatiran seperlunya terhadap perkembangan teknologi penting untuk mengingatkan bahwa tujuan pengembangan teknologi adalah untuk meningkatkan kapasitas perikemanusiaan kita.
Kekhawatiran seperlunya amat penting untuk memulihkan tujuan pengembangan teknologi bukan sekadar ekspresi kecerdasan pembuatnya, melainkan untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual manusia penggunanya. Teknologi selayaknya bukan melakukan dehumanisasi, melainkan humanisasi.
Teknologi sering kali berfungsi sebagai alternatif. Algoritma menyediakan alternatif selain kebijakan editorial sebagai dasar dalam penulisan berita. Terserah media atau jurnalis mau menulis berita berbasiskan algoritma atau kebijakan editorial. ChatGPT menyediakan opsi selain literatur sebagai rujukan dalam penulisan karya ilmiah.
Terpulang kepada ilmuwan, mau merujuk ChatGPT atau literatur ketika menulis karya ilmiah. Itu artinya, kemanusiaan kita terjaga atau terdegradasi akibat penggunaan AI pertama-tama kembali pada pilihan dan kesadaran etis kita.
Komunitas media menyerukan kesadaran etis untuk menjadikan kebijakan editorial, bukan algoritma, sebagai pemandu dalam memproduksi berita. Amanda Ripley mengajak jurnalis memproduksi berita untuk manusia, berita yang mengandung harapan, menjadikan pembaca sebagai agensi, dan meningkatkan martabat manusia.
Sejumlah perguruan tinggi menerapkan etika ilmiah yang melarang ChatGPT dimanfaatkan untuk menghasilkan karya ilmiah.
Kita menyambut positif telah muncul kesadaran etis di kalangan produsen teknologi untuk memitigasi risiko buruk AI.
Pada Mei 2023, sekitar seratus ilmuwan AI bersama CEO perusahaan AI terkemuka, seperti OpenAI, DeepMind, dan Antropic, menandatangani pernyataan yang menyerukan mitigasi risiko kepunahan akibat AI sebagai prioritas global serupa pandemi dan perang nuklir. Kita menyambut positif telah muncul kesadaran etis di kalangan produsen teknologi untuk memitigasi risiko buruk AI.
Akan tetapi, seruan dan kesadaran etis tidaklah cukup. Seruan dan kesadaran etis bersifat sukarela, relatif, tak mengikat, dan acap kali dilanggar tanpa sanksi berarti. Elon Musk menyadari, AI berisiko merusak peradaban, tetapi kesadaran itu tak menghentikannya dari upaya mengimplannya ke otak kita.
Kita masih menjumpai banyak berita umpan klik di media daring. Ada ilmuwan yang menjadikan ChatGPT sebagai penulis kedua pada karya ilmiahnya di satu jurnal. Harus ada kekuatan yang mengikat dan memaksa, yaitu regulasi. Regulasi mengikat kita semua untuk menciptakan dan menggunakan teknologi humanis yang bertujuan meningkatkan derajat perikemanusiaan kita.
Usman KansongDirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika