Pelestarian keanekaragaman hayati penting tidak hanya untuk spesies yang dilestarikan, tetapi untuk manusia di masa depan. Pengarusutamaan kebijakan pelestarian keanekaragaman hayati dalam pembangunan menjadi kuncinya.
Oleh
MUSNANDA SATAR
·4 menit baca
Dahulu, Jawa dan Bali memiliki subspesies harimau yang kini sudah dinyatakan punah, harimau bali diketahui berada di alam hingga tahun 1938 dan harimau jawa hingga tahun 1976. Tanpa ada intervensi kebijakan pembangunan, dalam beberapa puluh tahun bisa saja kita akan kehilangan harimau sumatera, orangutan, atau spesies lainnya.
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas merupakan hal penting yang perlu dilestarikan, tidak hanya untuk spesies yang dilestarikan, tetapi juga untuk manusia di masa depan. Dalam dunia konservasi, spesies seperti harimau merupakan spesies kunci dan spesies payung di mana kawasan yang menjadi habitatnya akan melindungi spesies lain di bawahnya, seperti mamalia lain, aves, herpetofauna, dan termasuk tumbuh-tumbuhan di dalamnya. Keanekaragaman hayati merupakan kekayaan genetik yang memberikan kita sumber makanan, obat-obatan, bahan baku rumah, sumber jasa lingkungan seperti air dan udara bersih.
Dikatakan bahwa Bumi saat ini mendapat ancaman kepunahan keenam, di mana kegiatan yang dilakukan manusia untuk pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, dan energi merupakan aspek utama yang memicu kepunahan spesies di atas muka Bumi. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat terdapat 96.500 spesies seluruh dunia dan sekitar 26.500 (27 persen) di antaranya masuk dalam kategori terancam punah.
Jika didetailkan, dari 26.500 ini termasuk 40 persen amfibi, 34 persen jenis tanaman, 33 persen terumbu karang, 31 persen hiu dan manta, 27 persen jenis kerang-kerangan, dan 14 persen jenis burung. Angka ini pun bertambah setiap tahun, bahkan diprediksi ada spesies yang akan punah sebelum terdata oleh IUCN.
Awal 2023 dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Isi inpres ini menyasar ke 19 kementerian dan lembaga pemerintahan dengan tujuan utama untuk mengarusutamakan keanekaragaman hayati dalam kebijakan pembangunan.
Selain itu, inpres ini bertujuan untuk memastikan adanya keseimbangan pemanfaatan ruang untuk kepentingan ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati dalam kebijakan setiap sektor. Pelaksanaan kebijakan ini diarahkan melalui pengambilan langkah-langkah kebijakan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan setiap lembaga yang disasar dalam kebijakan ini.
Inpres tersebut mengamanatkan beberapa kementerian kunci untuk melaksanakan pengarusutamaan kebijakan pelestarian keanekaragaman hayati dalam pembangunan, misalnya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritaman dan Investasi untuk merumuskan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, Kementerian Dalam Negeri untuk pengarusutamaan dalam perencanaan pembangunan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang atau Jangka Menengah (RPJP/RPJM), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam tata ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penerapan kebijakan konservasi, dan kementerian lain sampai ke aspek penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung dan kepolisian. Kebijakan ini tentu juga harus dilakukan oleh subnasional, seperti provinsi, kabupaten, dan kota.
Salah satu usulan kebijakan pengarusutamaan keanekaragaman hayati adalah penerapan skenario hirarki mitigasi: avoid, minimize/restore, dan offset. Hierarki mitigasi dapat diterapkan di mana dalam kajian ilmiah dampak dari kebijakan sebenarnya dapat dikalkulasikan ketika masuk dalam tahap perencanaan.
Salah satu usulan kebijakan pengarusutamaan keanekaragaman hayati adalah penerapan skenario hierarki mitigasi: avoid, minimize/restore, dan offset.
Misalnya inpres ini mengharuskan kontribusi dari Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian Industri dan Perdagangan, serta Kementerian Pertanian. Banyak riset menunjukkan bahwa salah satu penyebab dari kehilangan biodiversitas adalah alih fungsi lahan yang tidak berkelanjutan, dalam hal ini pertanian dan perkebunan menjadi sektor yang paling besar.
Skenario hierarki mitigasi sebenarnya sudah digunakan oleh banyak lembaga, salah satu grup yang menggunakan adalah The Business and Biodiversity Offsets Programme (BBOP) yang merupakan kolaborasi lebih dari 75 lembaga, termasuk perusahaan keuangan internasional, pemerintah, dan lembaga nonpemerintah. Lembaga International Finance Corporation (IFC) bahkan telah menerapkan pendekatan ini untuk kegiatan terkait perbankan dimana offset yang dikenakan ditujukan untuk mendanai kegiatan konservasi di seluruh dunia. Prinsip skenario mitigasi dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa dampak sebuah kegiatan pembangunan dapat diprediksi, misalkan jika kita akan membangun sebuah konsesi sawit, kawasan industri, pertambangan, atau pembangkit listrik tenaga air. Dari hasil kajian harus dipastikan ada wilayah atau kegiatan yang perlu dihindari (avoid) untuk dilakukan, misalnya membangun di kawasan sepadan sungai, kawasan gambut dalam, atau mangrove tepi pantai di mana terdapat habitat spesies penting seperti bekantan, burung migran, atau spesies lain.
Kemudian ditentukan kawasan dan kegiatan untuk meminimalkan dampak (minimize). Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan menggunakan praktik pertanian yang baik (good agriculture practices), penangkapan karbon (carbon capture), atau praktik lain yang ramah terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Selanjutnya adalah restore atau mengembalikan fungsi pada kawasan yang terdegradasi atau rusak akibat pembangunan. Ini dapat dilakukan pada kawasan bekas pertambangan. Terakhir, sisa dampak yang tidak dapat dihindari dengan menggunakan offset atau pengalihan dampak.
Jika saja hierarki mitigasi dapat diterapkan dalam pengambilan kebijakan, tentu saja dengan jelas akan berkontribusi langsung dalam upaya pengarusutamaan keanekaragaman hayati dalam pembangunan. Prinsip yang utama dari hierarki mitigasi, antara lain, memastikan dampak diukur di awal, di mana kadang dalam pembangunan dampak ini baru diukur ketika pembangunan sudah berjalan.
Tujuan dalam hierarki mitigasi, yaitu no net loss, sebenarnya harus menjadi perhatian utama dalam banyak perencanaan kebijakan, pelaksanaan pembangunan, dan kegiatan investasi. Jika saja semua kegiatan ini menggunakan hierarki mitigasi dengan menggunakan aspek-aspek ilmiah, berkelanjutan, dan pelibatan banyak pihak, pengarusutamaankeanekaragaman hayati sudah menyatu (embedded) dalam kebijakan pembangunan, mulai dari perencanaan sampai implementasi.