Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa menimbulkan kesulitan bagi produk primadona ekspor Indonesia, khususnya sawit. Posisi tawar negara-negara eksportir sawit akan hadir jika negara-negara tersebut bisa satu kepentingan.
Isi penting regulasi ini adalah semua komoditas pertanian dilarang masuk ke Uni Eropa (UE) kecuali terbukti tidak dibudidayakan pada lahan deforestasi setelah 2020. Produsen wajib menunjukkan bukti tentang itu, yang bisa diverifikasi. Jika terbukti tak memenuhi syarat yang diminta, produsen yang memasukkan komoditas tersebut akan dikenai denda yang besar.
Regulasi ini menimbulkan kesulitan bagi produk primadona ekspor Indonesia, khususnya sawit. Komoditas ini sudah kadung dinilai oleh UE sebagai komoditas yang bermasalah dan menjadi sumber penyebab kerusakan hutan tropis dan gambut di dunia, tidak terkecuali sawit Indonesia walau Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan bahwa sawit di Indonesia tak seperti yang dituduhkan UE.
Jokowi pada pertemuan bilateral di sela KTT G7 (G7 Outreach Summit 2023) di Hiroshima, Jepang, dengan Presiden Komisi Eropa, 21 Mei 2023, menyampaikan bahwa laju deforestasi di Indonesia sepanjang 2019-2020 telah turun 75 persen jadi 115 hektar. Ini laju terendah sejak 1990 dan akan terus mengalami penurunan.
Perjalanan historis dialektika relasi hubungan ekonomi politik dalam konteks sawit antara UE dan negara-negara eksportir sawit, termasuk Indonesia sebagai penghasil terbesar sawit dunia, menunjukkan hubungan yang tidak pernah ada kesepakatan tentang status sawit sebagai komoditas penyebab deforestasi.
UE percaya bahwa sawit penyebab deforestasi. Sawit adalah komoditas dengan potensi risiko ILUC (Indirect Land Use Change) atau Konversi Penggunaan Lahan Tidak Langsung yang tinggi. ILUC merujuk pada efek tak langsung yang terjadi ketika lahan digunakan untuk produksi bahan bakar nabati atau bioenergi.
Parameter ini terkait dengan pergeseran penggunaan lahan hutan menjadi lahan baru yang diperlukan untuk memenuhi permintaan atas tanaman energi atau bahan baku bioenergi. Oleh karena itu, sawit dari belahan negara mana pun harus bisa membuktikan diri bahwa ILUC-nya rendah atau tak menyebabkan deforestasi jika tidak ingin dilarang masuk UE.
Tuduhan deforestasi sawit yang berimbas pada kontribusi emisi gas rumah kaca (GRK) hari ini, menurut hemat saya, tak ditempatkan pada bingkai sejarah yang proporsional. Kita tahu pada abad ke-18 pada saat era Revolusi Industri, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat disinyalir sebagai kontributor terbesar emisi GRK dunia.
Tidak ada sanksi atau denda dari dunia terhadap kontribusi emisi GRK yang mereka sumbangkan saat itu. Padahal, tidak bisa dimungkiri tingkat perubahan suhu global hari ini tak bisa dilepaskan dari kontribusi emisi GRK pada saat itu.
Jadi, menuduh pihak lain berkontribusi merusak lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim, lalu menjatuhkan sanksi secara sepihak—tanpa melihat sejarah bahwa yang memberikan sanksi pada fase tertentu dalam sejarah peradaban mereka juga pernah melakukan hal yang sama—menjadikan tuduhan dan pemberian sanksi itu sebagai sesuatu yang tidak obyektif dan tidak adil.
Memperkuat posisi tawar
Pertanyaan yang paling menggelitik sebenarnya adalah mengapa kita harus peduli terhadap pandangan UE terhadap sawit. UE hanya menyerap 12 persen sawit Indonesia, 88 persen lainnya dari beragam negara lain. Kalau sulit menjalin titik temu tentang status sawit yang bersifat win-win solution mengapa kita tak berpandangan, ”ya sudah, 12 persen pangsa pasar UE kita ganti saja dengan pasar dari negara-negara lain”?
Larangan sawit masuk UE dijadikan pemacu kreativitas dan produktivitas olah sawit lebih lanjut menjadi beragam produk turunan pangan via hilirisasi industri sawit, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor non-UE.
Hilirisasi industri sawit harus semakin dikuatkan, yakni 1) hilirisasi oleopangan (oleo food complex), seperti margarin, es krim, creamer, cocoa butter, vitamin A, vitamin E. Lalu, 2) hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), seperti produk biosurfaktan (sabun, sampo, detergen), biolubrikan dan biomaterial. Serta 3) hilirisasi biofuel (biofuel complex), seperti biogas, biopremium, dan bioavtur.
Hal lain yang perlu dipahami juga dalam membangun posisi tawar dalam dialektika perdagangan sawit dunia ini adalah bahwa UE sangat membutuhkan sawit sebagai sumber biofuel mereka. Pelepasan dari ketergantungan terhadap minyak dari fosil sedang dan telah menjadi perhatian penting UE sejak dua dekade lalu.
UE hanya menyerap 12 persen sawit Indonesia, 88 persen lainnya dari beragam negara lain.
Ketergantungan pada minyak mentah sebagai sumber energi merugikan UE, bukan saja karena sumber energi minyak fosil semakin terbatas dan langka, melainkan minyak juga menyebabkan emisi GRK yang disinyalir sebagai biang kerok penyebab perubahan iklim dunia.
Biofuel bukan saja bisa berkelanjutan karena ia renewable (bisa diproduksi secara terus- menerus), melainkan penggunaannya juga menekan emisi GRK. Dan, UE tidak bisa mencukupi kebutuhan biofuel mereka hanya dari sumber mereka sendiri, seperti dari rapeseed, bunga matahari, atau kedelai.
Sekitar 39 persen kebutuhan biofuel mereka berasal dari sawit. Kalau sawit tidak masuk ke UE saat ini, kawasan ini bisa mengalami masalah besar terkait pemenuhan biofuel-nya.
Artinya, cara terbaik membentuk posisi tawar negara-negara eksportir sawit dunia terhadap regulasi aturan deforestasi yang diskriminatif terhadap sawit adalah dari kesepakatan negara-negara eksportir sawit untuk tidak memasok sawit ke UE.
Kalau ini bisa dilakukan, UE akan kerepotan untuk menyubstitusi 39 persen kebutuhan biofuel mereka yang bersumber dari sawit saat ini. Membangun posisi tawar seperti ini perlu dilakukan untuk menempatkan sawit secara obyektif dalam meja dialektika hubungan UE dan negara eksportir sawit.
Posisi tawar negara-negara eksportir sawit akan hadir jika negara-negara eksportir sawit bisa satu kepentingan. Di sinilah pentingnya peran Indonesia sebagai produsen terbesar sawit dunia untuk menggagas dan menghadirkan persatuan kepentingan negara-negara produsen sawit dunia tersebut.
Andi IrawanGuru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu, Ketua Bidang Kebijakan Publik Perhimpunan ASASI