Ketidakjelasan peraturan implementasi dan akses pada layanan aborsi aman membuat aborsi tidak aman masih saja bermunculan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Meski Undang-Undang Kesehatan mengakomodasi aborsi terbatas, ketidakjelasan dan pengingkaran menyisakan banyak masalah yang membahayakan perempuan.
Salah satunya adalah praktik aborsi ilegal yang sangat tidak aman karena diselenggarakan bukan di fasilitas kesehatan, bukan oleh tenaga kesehatan, dan bukan menggunakan alat ataupun obat yang sesuai kebutuhan. Sungguh, nasib perempuan memang dipertaruhkan.
Temuan aborsi ilegal di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, menjadi bukti nyata yang memprihatinkan. Tidak satu pun pelaku praktik di rumah kontrakan itu berlatar belakang medis. Pengguna jasa yang putus asa menutup mata atas semua pelanggaran, hanya berharap bisa segera terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkannya.
Semua itu menjadi lingkaran setan yang menjerat perempuan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas berbudaya patriarki—menganut garis keturunan ayah—memunculkan kecenderungan mengunggulkan laki-laki dan merendahkan perempuan. Dampak selanjutnya adalah subordinasi perempuan yang mengakibatkan berbagai bentuk ketidakadilan dan penindasan. Dari urusan pekerjaan, politik, kesehatan, hingga hak asasi manusia. Semua itu kemudian tecermin dalam berbagai level kehidupan: dari perilaku keseharian hingga peraturan dan perundang-undangan.
Maka, ketika terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki, terjadilah stigmatisasi dan kriminalisasi. Mereka ini berpotensi menjadi korban aborsi tidak aman. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka kematian ibu mencapai 183 per 100.000 kelahiran tahun 2022. Dari jumlah itu, diperkirakan 11 persen berasal dari aborsi tidak aman. Sulit mencari angka yang tepat karena yang resmi tercatat sebagai penyebab kematian adalah hipertensi, preeklamsia dan eklamsia, serta infeksi dan perdarahan yang sebenarnya banyak terkait dengan aborsi tidak aman.
Memang, di sisi lain, UU Kesehatan sudah mengakomodasi aborsi pada korban kekerasan seksual ataupun kedaruratan. Namun, ketidakjelasan peraturan implementasi dan akses pada layanan aborsi aman membuat aborsi tidak aman masih saja bermunculan. Melalui media sosial, mereka menjaring dan memberi harapan palsu kepada para korban.
Pemerintah sebenarnya tidak perlu khawatir menyosialisasikan layanan aborsi aman ini. Rizqon dalam ”Aborsi Aman sebagai Solusi Alternatif atas Tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia dalam Tinjauan HAM dan Hukum Islam” (Master of Islamic Studies Universitas Islam Indonesia, 2022) menjelaskan, dari perspektif HAM dan hukum Islam, aborsi diperbolehkan dengan indikasi darurat medis ataupun alasan yang dibenarkan hukum. Metode aborsi aman juga telah sesuai dengan implementasi dari hak hidup dalam HAM dan hifzu an-nafs dalam maqasid syarīi’ah.
Oleh karena itu, aborsi aman harus didukung dan dipermudah agar semakin banyak ibu selamat dari kematian.