"Tribute" untuk Presiden RI Ketiga
Dalam masa kerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang singkat ekonomi Indonesia mulai bangkit, Bagaimana Habibie mengambil posisi yang pas dalam menangani krisis waktu itu adalah warisan yang penuh hikmah dan pelajaran.
Tanggal 25 Juni lalu adalah hari kelahiran BJ Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menceritakan pengalaman pribadi saya sebagai seorang anggota kabinet Habibie, sebagai penghormatan kepada yang bersangkutan. Tahun 1970-an, sewaktu saya mengajar di UGM dan kemudian studi di Amerika Serikat (AS), saya hanya mengenal Pak Habibie dari jauh, melalui ketenarannya sebagai ahli di bidang teknologi kelas dunia.
Saya baru bertemu Habibie ”in flesh” ketika saya menjadi anggota Dewan Riset Nasional, pertengahan 1980-an. Kelompok kami diundang menemui Habibie di kantor BPPT Jalan Thamrin. Kami diterima di ruang kerjanya, dipersilakan duduk di sekitar meja besar. Di atasnya penuh sesak dengan berbagai model pesawat terbang.
Dari pertemuan singkat itu tentu ia tak mengenal saya. Oleh karena itu, suatu kejutan bagi saya ketika, belasan tahun kemudian, seingat saya 21 Mei 1998, saya mendapat telepon langsung dari Habibie, menanyakan apakah saya mau ikut serta dalam kabinet yang sedang ia bentuk. Jawaban saya tentu saja: dengan senang hati, suatu kehormatan.
Hati kecil saya bertanya, kok ia tahu saya? Dari mana? Sampai Habibie berpulang, saya tak sempat menanyakan itu. Saya hanya bisa mereka-reka siapa kiranya yang membisikkan nama saya kepada Habibie. Saya yakin pasti seseorang yang ia percayai dan hormati. Akhirnya saya sampai pada satu nama, Profesor Widjojo Nitisastro. Ini tentu tak bisa dikonfirmasi karena keduanya sudah almarhum. Tapi sepertinya saya benar.
Baca juga : BJ Habibie: Memimpin dengan Literasi
Menjadi anggota Kabinet Reformasi Pembangunan bagi saya pengalaman yang mencerahkan, mencerdaskan, sekaligus menyenangkan. Latar belakang Habibie sebagai ilmuwan yang terbiasa dengan forum diskusi dan diskursus membuat suasana sidang kabinet khas.
Sidang biasanya dimulai dengan semacam problem setting panjang lebar oleh Presiden, baru dilanjutkan dengan diskusi oleh para anggota kabinet. Saya sering mendapatkan sesuatu yang baru dari diskursus pembuka yang panjang itu. Misalnya, bagaimana Presiden menganalogikan sebuah perekonomian yang mengalami krisis dengan pesawat terbang yang mengalami stall di udara.
Sebagai ilmuwan, tampaknya Habibie menganggap lumrah adanya perbedaan pendapat. Saya sendiri merasa tak ada halangan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengannya. Saya melihat ia berusaha mendengar dan mengerti pandangan yang berbeda itu. Tentu pada akhirnya ia yang memutuskan.
Selesai di pemerintahan, Habibie sibuk dengan berbagai kegiatan di dalam dan luar negeri. Saya juga mempunyai kesibukan dan kegiatan. Dari waktu ke waktu saya berusaha untuk tetap bersilaturahmi dengan Habibie.
Inilah yang terekam dalam angka-angka. Dalam masa kerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang singkat itu, yaitu 17 bulan, ekonomi Indonesia mulai bangkit dari krisis. Ekonomi yang semula terjun bebas dapat direm dan diputar arah. Jika pada 1998 PDB Indonesia menciut 13 persen, pada 1999 kembali tumbuh positif, 0,8 persen.
Inflasi turun dari tingkat yang sangat tinggi, mendekati hiperinflasi, 78 persen, menjadi hanya 2 persen. Kurs rupiah menguat dari Rp 17.000/dollar AS menjadi antara Rp 7.000 dan Rp 8.000. Sektor perbankan yang mengalami stroke mulai siuman dan menggeliat lagi.
Ada beberapa warisan (legacy) lain dari pemerintahan Habibie yang tidak terekam dalam angka, tapi tidak kalah penting, bahkan, menurut hemat saya, menjadi landasan tercapainya prestasi-prestasi kuantitatif tadi. Ini sedikit cerita di balik cerita. Pada awal saya bergabung di kabinet, sebenarnya ada keraguan pada diri saya, yaitu apakah saya bisa memberikan kontribusi yang berarti?
Waktu itu ekonomi Indonesia sedang di titik terendah, sementara suasana politik tak menentu. Namun, yang lebih menjadi kegundahan sebenarnya bukan di situ. Saya belum yakin apakah kabinet pertama pasca-Orde Baru ini bisa menyepakati dan melaksanakan kebijakan ekonomi yang rasional dan efektif.
Sebagai ilmuwan, tampaknya Habibie menganggap lumrah adanya perbedaan pendapat.
Kerisauan itu timbul karena sebelumnya saya terbiasa bekerja dalam suasana kerja lain, yaitu suasana kerja teknokrasi—dalam ekosistem tim ekonomi yang solid—bersama mereka yang pola pikirnya umumnya masuk dalam spektrum mainstream economics.
Kabinet baru ini berisi orang dengan latar belakang bervariasi. Pertanyaan yang timbul di benak, apakah usulan kebijakan yang berdasarkan mainstream economics yang saya terbiasa, laku atau dapat memperoleh dukungan?
Barangkali mereka yang seumuran dengan saya masih ingat, sebelum krisis sudah muncul di negeri ini perbedaan pandangan yang cukup tajam di bidang strategi ekonomi. Misalnya, apakah kebijakan fiskal yang dilaksanakan waktu itu tak terlalu konservatif sehingga justru menghambat pembangunan? Mengapa kita tidak lebih ”berani” menanggung defisit anggaran yang lebih besar demi mempercepat pembangunan infrastruktur, industri dan teknologi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi?
Waktu itu juga berkembang perdebatan, mirip yang terjadi di Turki sekarang, mengenai bagaimana menangani inflasi. Pandangan konvensional mengatakan, inflasi bisa dikendalikan dengan menaikkan suku bunga untuk meredam permintaan. Pandangan lain mengatakan, suku bunga justru harus diturunkan. Logikanya, dengan menurunkan suku bunga, pertumbuhan ekonomi meningkat, barang dan jasa yang tersedia meningkat, harga-harga turun.
Waswas saya adalah sidang-sidang kabinet nanti akan diwarnai diskursus berkepanjangan sekitar kontroversi semacam itu. Namun, semua itu akhirnya terjawab setelah saya mengikuti rapat-rapat kabinet dan mulai mengerti posisi dan pandangan, policymaker-in-chief, yaitu Presiden.
Ini sekadar contoh. Pada satu sidang kabinet terjadi insiden ketika seorang menteri dengan nada sedikit marah menyampaikan alokasi anggaran yang diterimanya terlalu kecil untuk programnya. Ia minta anggarannya ditambah. Kejadian serupa berulang beberapa kali. Jawaban standar saya waktu itu: ”Bapak Presiden, saya tentu bisa menambah anggaran itu, tapi mohon saya diberi arahan anggaran kementerian mana yang harus saya potong untuk itu.”
Insiden berakhir status quo dan suasana kerja kabinet setelah itu baik-baik saja. Kesimpulan saya, Presiden mengerti, kehati-hatian fiskal adalah jangkar pengelolaan ekonomi yang mutlak diperlukan waktu itu. Dugaan saya, Presiden sudah menerima masukan dari para tokoh yang ia percaya. Jika Presiden dan menterinya berada dalam satu wavelength, pekerjaan sulit pun jadi mudah.
Menurut saya, bagaimana Habibie mengambil posisi yang pas dalam menangani krisis waktu itu adalah warisan yang penuh hikmah dan pelajaran.
Menurut saya, bagaimana Habibie mengambil posisi yang pas dalam menangani krisis waktu itu adalah warisan yang penuh hikmah dan pelajaran.
Membangun institusi
Tiga warisan penting lain adalah, pertama, independensi bank sentral. Seperti diketahui, ini adalah salah satu aksioma dalam mainstream economics. Bank sentral yang independen adalah satu pilar utama pengelolaan ekonomi makro. Ini istimewanya. Tanpa ragu, Habibie memilih salah satu bank sentral paling independen di dunia, Deutsche Bundesbank, sebagai model untuk reformasi UU BI. Ia mengundang mantan Presiden Bundesbank Helmut Schlesinger untuk menjadi penasihat tim perumus UU BI.
Warisan kedua, didirikannya lembaga baru Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Perangkat institusi ini belum pernah ada di negeri ini, tetapi harus diadakan. Pasalnya, di setiap sistem ekonomi pasar hampir secara otomatis tumbuh konsentrasi kekuatan-kekuatan monopoli. Di sini negara harus hadir untuk mengontrol mereka.
Kedua reformasi institusional itu dilaksanakan dalam waktu singkat. Ini dimungkinkan karena waktu itu pemerintahan transisi ini masih punya leverage yang cukup di DPR, warisan Orde Baru yang masih tersisa waktu itu.
Warisan ketiga, dari apa yang saya baca, saya mengerti bahwa dalam memecahkan masalah, Habibie menganut pendekatan ”Begin at the End and End at the Beginning”. Reverse engineering! Bangun hilirnya, lalu bertahap bangun hulunya. Pendekatan praktis ini bisa membuahkan hasil lebih cepat daripada pendekatan sebaliknya, yaitu bangun hulunya dulu, kemudian bergerak ke hilir.
Diterapkan pada pembangunan industri, pendekatan ini mengarahkan kita untuk memulai dengan membangun industri yang membuat produk akhir, kemudian bergerak secara sistematis
ke belakang membangun industri pendukungnya. Pendekatan ini juga bisa diterapkan untuk membangun atau mereformasi institusi, seperti BI dan KPPU.
Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa pendekatan reverse engineering bertujuan membangun satu sistem yang utuh melalui dua proses yang saling melengkapi: membangun sasaran akhir dan membangun perangkat pendukungnya. Keduanya harus dilaksanakan secara sistematis dan tuntas. Apabila tidak, seluruh sistem tidak akan tahan lama.
Dalam penerapannya, untuk membangun institusi, seperti BI dan KPPU, ibaratnya bangunan utama kedua institusi itu sudah terwujud, tapi pekerjaan interiornya belum tuntas dan struktur bangunannya pun masih harus terus- menerus dijaga, jangan sampai ambles karena tanah mengalami subsidensi. Pak Habibie, may you rest in peace. And may your important legacies live on.
Boediono Wakil Presiden RI Ke-11