Mengelola Konflik di Tanah Papua
Proses kultural dan politik perlu dioptimalkan dalam penanganan konflik Papua, dengan melibatkan komponen-komponen yang ada di Tanah Papua ataupun di luar negeri. Tentu tidak mudah. Namun harapannya ada solusi tuntas.
”Jika kekuatan regional gagal untuk mengatasi dinamika dan mengelola implikasinya, prospek stabilitas dan kemakmuran regional akan merosot secara substansial, dan konflik akan mengintensifkan dalam negara itu sendiri”.
Akiko Fukushima dan William T Tow, ”Security Politics in the Asia-Pacific”
Sudah 60 tahun konflik yang ada di Tanah Papua berlangsung, yakni sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini, dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Apa yang dianalisis oleh Akiko Fukushima dan William T Tow sangat masuk akal sehat, manakala kekuatan-kekuatan dalam negara Indonesia tidak bisa mengatasi konflik yang ada di Tanah Papua (konflik dalam negara sendiri), maka prospek stabilitas dan kemakmuran masyarakat orang asli Papua (OAP) akan merosot tajam, alias makin miskin dan telantar.
Kita bersyukur memiliki sosok Presiden Joko Widodo yang sangat peduli dengan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua. Namun, harapan OAP pada Presiden Jokowi tidak berjalan sendiri, harus dibantu para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju.
Kita juga tidak bisa menafikan fakta bahwa ekonomi kerakyatan OAP tidak berkembang sama sekali selama 60 tahun bersama Indonesia.
Awal konflik
Awal konflik Pemerintah Indonesia dengan OAP tidak lepas dari situasi pascakolonial di Tanah Papua dan Perang Dingin (Cold War).
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, yang merupakan suatu pacta sunt servanda (perjanjian yang mengikat secara internasional) dua negara yang berdaulat dan bertikai antara Belanda dan Indonesia, koloni Papua yang saat itu dikenal dengan sebutan koloni West Nieuw-Guinea tidak masuk dalam wilayah Indonesia yang merdeka karena Belanda mengkhianati pacta sunt servanda/Konferensi Meja Bundar 1949, meskipun soal status koloni Papua sudah disepakati oleh kedua negara yang berdaulat dan bertikai tersebut.
Baca juga : 60 Tahun OPM vs Pemerintah RI
Baca juga : Penjualan Senjata oleh Oknum TNI di Papua Meningkat Drastis
Pada tahun 1961, Soekarno mendeklarasikan Trikora yang membuat masuknya koloni Papua ke wilayah Indonesia, dan dilanjutkan dengan digelarnya aksi militer lewat Komando Mandala. Operasi militer yang dilaksanakan mendapat dukungan dari Uni Soviet (Freddy Numberi, Papua Kerikil dalam Sepatu, Menguak Tabir Sejarah Papua, Gibon Books, Jakarta, 2022: hlm 145).
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 akhirnya dikukuhkan juga oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang tanggal 19 November 1969 dan dituangkan dalam Resolusi Nomor 2504, meski PBB sangat maklum situasi pada saat itu melalui intimidasi dan kekerasan.
Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 tidak juga menyurutkan pendekatan militer untuk menangani konflik, tetapi malah menjadi pilihan pemerintah walaupun tidak diumumkan.
Beragam operasi militer tetap digelar. Akibatnya, kekerasan di Tanah Papua tetap terjadi walau Indonesia telah dinilai sebagai negara demokrasi.
”Demokrasi mendorong hubungan yang damai karena pemerintah yang demokratis dikendalikan oleh warganya yang tidak akan mendukung penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apa pun”, demikian diungkapkan Robert Jackson dan Georg Sorensen dalam International Relations (Oxford University Press, United Kingdom, 2015: hlm 115).
Konflik yang terjadi di Papua juga merembet dalam bidang usaha, di mana banyak perusahaan tambang—karena Tanah Papua kaya raya dengan mineral tambang—”merampok” hak ulayat masyarakat adat Papua melalui kekerasan, di samping juga menimbulkan konflik di antara sesama warga OAP.
Daoed Joesoef dalam bukunya, Studi Strategis, Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, pernah menyoroti hal ini. ”Kok menyelesaikan ketidakpuasan rakyat atas kepincangan pembangunan dan ketidakpedulian politik dengan kekuatan senjata. Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak akan pernah hilang, diceritakan dari orangtua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun-temurun.”
Situasi Papua juga banyak disoroti oleh pengamat dunia. ”Yang tersisa, di seluruh spektrum politik Indonesia adalah keinginan untuk menyatukan negara—keinginan yang diperkuat oleh trauma nasional kehilangan Timor Timur pada tahun 1999. Perlahan, sejak tahun 1999, Indonesia telah belajar bahwa pendekatannya ke Aceh dan Papua telah terbukti kontraproduktif”, demikian Robert G Wirsing and Ehsan Ahrari dalam Fixing Fractured Nations: The Challenge of Ethnic Separatism in the Asia-Pacific (Palgrave Macmillan, New York, 2010: hlm 31).
Pemerintah perlu reflektif bahwa strategi konflik dengan cara kekerasan menangani kelompok separatis di Papua sesungguhnya adalah imbas dari pendekatan keamanan teritorial ( territorial security) sejak zaman Orde Baru.
Imbas pendekatan keamanan teritorial
Pemerintah perlu reflektif bahwa strategi konflik dengan cara kekerasan menangani kelompok separatis di Papua sesungguhnya adalah imbas dari pendekatan keamanan teritorial (territorial security) sejak zaman Orde Baru.
Hal itu dibenarkan Kees Van Dijk, yang mengatakan: ”Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh militer pada masa Soeharto, termasuk maraknya pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan pelanggaran HAM lainnya, menanamkan keinginan kuat untuk merdeka” (Dewi Fortuna Anwar dkk, Violent Internal Conflicts in Asia Pacific).
John Andrews dalam The World in Conflict, Understanding the World’s Troublespots menyatakan: ”Konflik tingkat rendah telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia oleh kedua belah pihak, terutama oleh pasukan Indonesia, menyebabkan kematian sekitar 500.000 orang Papua selama setengah abad terakhir”.
Sebagian tujuan dari kekerasan oleh kaum separatis di Papua tersebut sebenarnya adalah untuk mendapatkan perhatian politis dan pengakuan eksistensi kelompok yang ada serta membalas dendam secara kolektif.
Pendekatan kultural
Dengan kehilangan Timor Timur tahun 1999, pemerintah sesungguhnya perlu pendekatan baru di Tanah Papua.
Perlu disadari bahwa pergantian pemerintahan dari rezim otoriter ke rezim yang demokratis di era Reformasi belum merupakan suatu jaminan transformasi Indonesia ke arah yang lebih adil dan manusiawi, karena sistem politik yang diwarisi tak jarang adalah pembungkaman suara korban.
Presiden Joko Widodo pada perayaan Natal, 27 Desember 2014, sudah mengungkapkan keinginan dituntaskannya konflik. Ia mengutuk peristiwa Paniai berdarah 8 Desember 2014 dan mengatakan: ”Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang di masa yang akan datang. Kita ingin sekali lagi Tanah Papua sebagai tanah yang damai” (Kompas, 28/12/2014).
Opsi bagi pemerintah hanya satu, yaitu perang internal terlebih dahulu melalui operasi militer, baru kemudian masuk ke dalam arena inklusif negosiasi damai, melalui perundingan, seperti pernah dilakukan di Provinsi Aceh.
Proses kultural dan politik perlu dioptimalkan dengan melibatkan komponen-komponen yang ada di Tanah Papua ataupun di luar negeri.
”Hari ini, satu tahun setelah Helsinki, permusuhan berakhir. Pertumpahan darah sudah tidak ada lagi. Senjata tidak bersuara. Senjata telah diserahkan dan dihancurkan oleh pemantau internasional. Saya tidak tahu jawaban siapa sebenarnya yang memenangi konflik, tetapi saya tahu bahwa kita semua telah memenangi perdamaian,” demikian diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006.
Proses kultural dan politik perlu dioptimalkan dengan melibatkan komponen-komponen yang ada di Tanah Papua ataupun di luar negeri. Hal ini tentunya sulit dan butuh energi besar dari negara Indonesia. Namun, hasilnya adalah pemecahan masalah konflik separatisme di Tanah Papua yang sudah berlangsung lama secara tuntas dan permanen, serta sekaligus mempertahankan wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta.
Pendeta Dr Martin Luther King Jr pernah mengatakan: ”Pada akhirnya kita tidak akan mengingat kata-kata dari musuh, tetapi kebisuan dari teman kita” (Zulfa Simatur, Kata-kata Mengubah Dunia, Jakarta, 2013: hlm 356).
Freddy Numberi Pengamat Politik