Sudah setahun penyakit mulut dan kuku mewabah di Indonesia, menunjukkan bahwa kapasitas sistem kesehatan hewan amat lemah. Kesehatan hewan tidak menjadi prioritas daerah karena bukan urusan wajib.
Oleh
KHUDORI
·3 menit baca
Tak terasa, penyakit mulut dan kuku sudah setahun mewabah kembali di negeri ini. Berbeda dengan saat pertama kali Kementerian Pertanian menetapkan enam kabupaten, di Jawa Timur (empat kabupaten) dan di Aceh (dua kabupaten), terjangkit wabah PMK, 11 Mei 2022, saat ini seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Semangat penanganan PMK tidak terasa. Padahal, oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), PMK dimasukkan sebagai penyakit hewan paling berbahaya dan ada di daftar A. Ini antara lain karena virus PMK sangat mudah menyebar, lewat udara (airborne) mampu menjelajah jarak 200 kilometer.
Merujuk laman Crisis-center.id, per 7 Juni 2023, vaksinasi telah mencapai 14.779.454 dosis, hewan sakit 610.978 ekor, sembuh 564.885 ekor, potong bersyarat 4.493 ekor, mati 11.676 ekor, dan belum sembuh 19.924 ekor. Dari 27 provinsi terjangkit, 16 masih ada kasus aktif, 11 dilaporkan tidak ada kasus baru dalam 14 hari (zero reported case). Kasus aktif tersebar di 145 kabupaten/kota, 832 kecamatan, dan di 2.388 desa. Kondisi PMK saat ini sudah sangat jauh menurun dari masa puncak pada Juni 2022.
Ini tak lain karena keberhasilan langkah pencegahan dan pengendalian PMK selama ini. Di tingkat pusat dibentuk Satuan Tugas (Satgas) PMK yang diketuai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Struktur Satgas PMK ini mirror dari struktur penanganan Covid-19. Ini, setidaknya mencerminkan keseriusan pemerintah menangani wabah PMK.
Satgas adalah cermin ada ”kegentingan memaksa” yang harus ditangani ekstraserius dengan segenap sumber daya. Dalam hal ini termasuk peluang memobilisasi sumber daya dan sumber dana secara optimal yang tak bisa dilakukan jika ditangani di luar satgas.
Di luar itu, kementerian teknis, yaitu Kementerian Pertanian, telah melakukan berbagai upaya dan tindakan. Antara lain menyusun 28 regulasi dan strategi, membentuk gugus tugas, pengaturan lalu lintas, protokol penyembelihan hewan saat Idul Adha, bantuan obat-obatan, vaksin, penggantian ternak, bantuan pakan, pelatihan sumber daya manusia dan menggalakkan komunikasi, informasi, dan edukasi. Disusun pula Road Map Penanganan PMK 2023-2035, yang jadi rujukan semua pihak agar Indonesia bebas kembali PMK.
Pembelajaran
Meskipun demikian, kembali terjangkitnya PMK di Indonesia menunjukkan perlu ada pembelajaran sebagai bahan evaluasi. Pertama, hingga kini pemerintah belum mengumumkan dari mana asal mula virus PMK sehingga Indonesia kembali menjadi tidak bebas penyakit ini.
Mengetahui asal virus PMK jadi penting bukan untuk mencari siapa yang salah. Yang lebih penting dan urgenadalah memastikan titik lemah sistem kesehatan hewan nasional kita agar kasus serupa tidak kembali terulang. Perjuangan 100 tahun (1887-1986) Indonesia meraih status bebas PMK pada 1986 jadi hikmah penting.
Kedua, kapasitas sistem kesehatan kita lemah. Diakui atau tidak, ini yang terjadi. Kelemahan itu tampak saat wabah PMK pertama kali berjangkit, Mei-Juni 2022. Kasus aktif PMK naik eksponensial, demikian pula penyebarannya. Ini karena infrastruktur kesehatan hewan, terutama di daerah, yang ideal belum terpenuhi, mulai dari SDM kesehatan hewan seperti dokter hewan hingga laboratorium rapid dan PCR test. Adalah fakta riil bahwa jumlah dokter hewan di daerah amat terbatas. Juga kelengkapan laboratorium.
Hingga kini, pemerintah belum mengumumkan dari mana asal mula virus PMK sehingga Indonesia kembali menjadi tidak bebas penyakit ini.
Selain itu, menurut regulasi yang ada, kesehatan hewan bukan urusan wajib bagi daerah. Dampak ikutannya, tidak banyak daerah menganggap kesehatan hewan sebagai urusan penting. Bahkan, termasuk di provinsi ”lumbung ternak”.
Karena bukan urusan wajib, di struktur pemerintahan pemerintah daerah sama sekali tidak tecermin urusan ini. Tatkala wabah PMK terjadi, tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Selain itu, aktivitas pengendalian dan pencegahan PMK sulit dilakukan karena tak ada dana darurat.
Ketiga, pemerintah (dan DPR) perlu secara serius mempertimbangkan kembali pengaturan pemasukan (baca: impor) termasuk dan produk turunannya, terutama daging sapi, dengan pendekatan maximum security berbasiskan negara (country base). Lewat ”perselingkuhan” DPR dan pemerintah, pendekatan maximum security di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi) diubah ke minimum security berbasis zona (zone base) di UU revisi, UU No 41/2014.
Perubahan ini, secara legalistik patut dipertanyakan. Bukankah pada 27 Agustus 2010 MK sudah membatalkan Pasal 59 Ayat (2) UU No 18/2009 yang membolehkan impor dari ”wilayah atau zona bebas PMK di suatu negara” dan menggantinya dengan ”berasal dari suatu negara bebas PMK”? Bukankah putusan MK final dan mengikat?
Mengapa DPR dan pemerintah menganut kembali sistem berbasis zona di UU No 41/2014? Mengapa pula Pasal 36C UU No 41/2014 yang menganut zone base itu ketika diuji materi di MK oleh penggugat yang sama justru kalah? Mengapa putusan MK berbeda untuk kasus serupa?
Diakui atau tidak, pengubahan dari sistem country base ke zone base di UU dan aturan turunannya yang juga diiringi upaya ”mempermainkan” hukum untuk melegalkan masuknya produk hewan dari negara belum bebas PMK (baca: India) boleh jadi menjadi salah satu pintu masuknya kembali virus PMK. Karena itu, mewabahnya kembali PMK harus menjadi momentum untuk tidak menoleransi upaya-upaya mengendurkan perlunya maximum security dalam melindungi kepentingan nasional, khususnya peternak.