Ibadah kurban tidak hanya dilakukan umat Islam. Agama samawi dan beberapa penganut kepercayaan lokal di Indonesia juga memiliki ibadah kurban masing-masing. Kurban memiliki dimensi yang kuat pada hubungan horizontal.
Oleh
Abdul Kadir Riyadi
·4 menit baca
Hari raya Idul Adha atau juga dikenal dengan Lebaran Haji segera datang. Tampak mulai menjamur di berbagai lokasi, hewan kurban yang dipajang untuk dijual lalu disembelih.
Jual-beli hewan ternak, khususnya kambing dan sapi, mencapai klimaksnya pada musim haji. Tahun lalu, berdasarkan data yang disampaikan Kementerian Pertanian, kebutuhan hewan ternak untuk kurban mencapai 1,72 juta ekor. Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) menyebut potensi ekonomi kurban ini mencapai Rp 24,3 triliun, dari 2,17 juta orang yang melaksanakan kurban.
Tahun ini dapat diprediksi angka tersebut akan meningkat mengingat kondisi ekonomi masyarakat pascapandemi yang telah pulih sepenuhnya.
Tampak di permukaan bahwa ibadah kurban lebih dominan pada ritual keagamaan berbasis sosial-ekonomi. Namun, jika diselisik lebih jauh lagi, akan ditemukan sebuah nilai yang lebih esensial, yakni nilai kosmopolit; bahwa umat manusia—termasuk kaum Muslim di dalamnya—adalah bagian dari komunitas besar yang universal.
Ibadah kurban tidak hanya dilakukan oleh umat Islam. Agama samawi dan beberapa penganut kepercayaan lokal di Indonesia juga memiliki ibadah kurban dengan ritual masing-masing.
Bagi umat beragama, kurban hewan ternak atau sesuatu yang lain memiliki dimensi yang lebih dari sekadar ”mempersembahkan” sesuatu kepada Tuhan. Kurban memiliki dimensi yang lebih kuat pada hubungan horizontal antarmanusia atau hablum minannas.
Bahkan, tanpa dikaitkan dengan dimensi spiritual kepada Tuhan sekalipun, memotong hewan ternak untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama sudah memiliki nilai sosial yang tinggi dan telah berlangsung selama ribuan tahun peradaban manusia.
Dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Lebaran Haji menjadi salah satu agenda keagamaan umat Islam yang terasa kuat atmosfernya secara nasional. Penjual hewan ternak yang ketiban rezeki tentu tidak berasal dari kalangan umat Islam saja.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menjelang bulan puasa Maret lalu, Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 7,8 juta kilogram. Paling banyak berasal dari Australia, lalu sebagian lain dari Brasil, India, Amerika, dan Jepang. Nilai transaksi internasional tersebut tentu bukan angka yang kecil.
Untuk memenuhi kebutuhan akan komoditas daging selama bulan puasa ataupun untuk kurban, Indonesia perlu disokong dengan impor dari beberapa negara.
Pada lingkup lebih sempit, daging hari raya kurban dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat, terlebih masyarakat kurang mampu. Sebagian warga yang jarang merasakan masakan olahan daging karena keterbatasan ekonomi dapat merasakan kenikmatannya pada momen ini.
Daging sebagai representasi dari makanan ”mewah” pun menjelma menjadi makanan yang merakyat. Apa yang semula sulit dijangkau menjadi mudah didapat, dan sejenak apa yang dikonsumsi masyarakat ketika perayaan kurban menjadi kosmopolit, standar rasa universal.
Daging sebagai representasi dari makanan ’mewah’ pun menjelma menjadi makanan yang merakyat.
Nilai kosmopolit ala Sunan Kudus
Bicara tentang ibadah kurban dalam konteks Indonesia, tidak lengkap jika belum menyebut sosok salah satu penyebar agama Islam di tanah Jawa pada akhir abad ke-15, yakni Sunan Kudus.
Salah satu kebijakan yang terkenal dari sosok Sunan Kudus adalah menghindari menyembelih sapi pada hari raya Idul Adha demi menghormati umat Hindu ketika itu.
Kebijakan tersebut lebih dari bentuk toleransi antarumat beragama. Semangat kurban yang memiliki nilai kosmopolit pada pembahasan sebelumnya diaplikasikan secara membumi oleh Sunan Kudus.
Sunan Kudus dikenal sebagai sosok yang sangat tegas menegakkan syariat Islam. Tentu sah saja jika sejak awal Sunan Kudus melakukan kurban dengan menyembelih hewan sapi, sebab sebagai bagian dari masyarakat Jawa pada masa itu, umat Hindu juga memahami perbedaan ajaran Hindu dengan Islam terhadap sapi.
Akan mencederai ajaran Hindu itu sendiri jika seandainya umat Hindu memaksakan penghormatan terhadap sapi kepada masyarakat Jawa.
Pulau Jawa sudah memiliki masyarakat yang sangat majemuk sejak lama. Saling menghormati sudah menjadi urat nadi masyarakatnya sehingga apa yang menjadi perbedaan umat Hindu dan Islam terkait sapi tidak pernah melahirkan pergesekan. Alih-alih menyembelih sapi, Sunan Kudus memilih menganjurkan kerbau untuk disembelih.
Umat Islam adalah bagian dari warga Jawa secara sempit dan bagian dari masyarakat dunia secara luas. Standar moral yang terkandung dalam kosmopolitanisme itu berlaku secara universal.
Jika Islam ingin dianggap sebagai bagian dari moral universal ini, sudah pasti harus menghindari pilihan syariat yang berpotensi bergesekan dengan kelompok sosial di luar Islam.
Apa yang telah dilakukan Sunan Kudus lebih dari sebuah strategi dakwah. Sejak awal, kurban selalu berisi kebebasan, yakni bisa memilih menyembelih unta, sapi, kerbau, kambing, atau domba. Digantinya sapi dengan kerbau menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mengabaikan realitas sosial di sekelilingnya.