Perguruan Tinggi dan Manusia Unggul Indonesia 2030
Perguruan tinggi tengah menghadapi tantangan berat beradaptasi dengan kecepatan perubahan global dan harus mampu bertransformasi dengan baik. Sistem pendidikan apa yang harus disiapkan menghadapi perubahan masa depan ?
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJPN 2025-2045 menegaskan visi Indonesia Negara Nusantara yang Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan. Ini disebut sebagai visi Indonesia Emas 2045.
Sebagai tangga pertama untuk Indonesia Emas itu, diperlukan penjabaran jangka menengah untuk tahun 2030, dengan aspek yang paling penting adalah pembangunan kualitas manusia.
Kita perlu berpikir tentang perwujudan manusia unggul. Mereka yang akan menggerakkan pengelolaan semua potensi bangsa dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Manusia unggul dan tantangannya
Dilihat dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), terdapat modal dasar untuk mengakselerasi perwujudan manusia unggul pada 2030.
Dengan IPM, manusia unggul dilihat dari eksistensinya sebagai manusia yang memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan dan menyuarakan pilihan dalam berbagai aspek dan arena kehidupan.
Baca juga : Dukung Indonesia Emas 2045, Perguruan Tinggi Jadi Sarana Peningkatan SDM
Menurut Badan Pusat Statistik (2023), nilai IPM Indonesia telah meningkat dari 66,53 (2010) menjadi 69,55 (2015), 71,94 (2020) dan 72,91 (2022). Artinya, secara rata-rata, pada 2022 nilai IPM Indonesia sudah berkategori tinggi.
Keunggulan dari segi penguasaan pengetahuan, dengan indikator angka rata-rata lama sekolah, telah mencapai peningkatan dari 7,46 (2010) menjadi 7,84 (2015), 8,48 (2020), dan 8,69 (2022).
Harapan lama sekolah juga telah meningkat dari 11,29 (2010) menjadi 12,55 (2015), 12,98 (2020), dan 13,10 (2022). Dari segi kesehatan dan lama hidup, telah tercapai peningkatan usia harapan hidup, yakni dari 69,81 (2010) menjadi 70,78 (2015), 71,47 (2020), dan 71,85 (2022).
Dimensi ketiga dari IPM adalah standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran riil per kapita. Pengeluaran riil per kapita pada 2010 masih Rp 9.437, naik menjadi Rp 10.150 (2015), Rp 11.013 (2020), dan Rp 11.479 (2022).
Di balik capaian kuantitatif IPM tersebut, beberapa indikator spesifik perlu menjadi perhatian dalam mewujudkan manusia unggul 2030.
Pada aspek penguasaan pengetahuan, bangsa kita masih sangat tertinggal dalam indikator substansi pengetahuan yang menjadi standar internasional, yakni Programme for International Student Assessment (PISA).
Dalam rancangan RPJPN 2025-2045, diproyeksi nilai PISA kita pada tahun 2025 untuk komponen membaca adalah 379, matematika 392, dan sains 401. Pada tahun 2045 ditargetkan nilai PISA untuk membaca pada angka 405, matematika 438, dan sains 416.
Pada aspek kesehatan, bangsa kita juga menghadapi tantangan untuk mengatasi tengkes (stunting). RPJPN 2025-2045 memproyeksi bahwa pada tahun 2025 prevalensi tengkes pada balita masih akan mencapai 13,5 persen, dan pada 2045 ditargetkan menurun hingga 5 persen.
Artinya, di balik pencapaian IPM pada aspek penguasaan pengetahuan dan lama hidup, terdapat substansi masalah spesifik yang bisa menghambat perwujudan manusia unggul di 2030, yakni pengetahuan terkait indikator pada PISA dan kesehatan terkait masalah tengkes pada balita.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (HDI) 2021-2022
Dalam situasi demikian itu, kita meletakkan harapan pada bonus demografi. Bonus demografi adalah sebuah kondisi tentang komposisi umur penduduk, yang menunjukkan persentase penduduk usia produktif lebih besar dari pada persentase penduduk dalam usia tak produktif (anak-anak dan penduduk usia tua).
Menurut BPS, puncak bonus demografi akan didapatkan pada tahun 2025. Setelah itu, pada 2045-2050 bonus demografi akan menurun, dan angka ketergantungan diproyeksi akan kembali meningkat seiring dengan jumlah penduduk usia tua yang semakin besar populasinya.
Oleh karena itu, periode 2025-2030 merupakan periode penting untuk memastikan bahwa isi dari bonus demografi itu adalah manusia unggul yang bisa meningkatkan daya saing bangsa. Termasuk membawa Indonesia keluar dari jebakan sebagai bangsa dengan pendapatan menengah (middle income trap).
Pada tahun 2021, pendapatan nasional bruto (PNB) atau gross national income (GNI) per kapita Indonesia sebesar 4.180 dollar AS, termasuk kategori pendapatan menengah bawah (lower middle income). Visi Indonesia Emas menargetkan bahwa pada 2045 PNB per kapita Indonesia telah setara dengan negara maju, yakni 30.300 dollar AS.
Dengan demikian, menjadi tantangan untuk memanfaatkan puncak bonus demografi pada tahun 2025-2030 yang berisi manusia unggul untuk mentransformasikan perekonomian menuju tercapainya PNB per kapita dengan kategori pendapatan tinggi.
Oleh karena itu, periode 2025-2030 merupakan periode penting untuk memastikan bahwa isi dari bonus demografi itu adalah manusia unggul yang bisa meningkatkan daya saing bangsa.
Peran perguruan tinggi
Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi adalah salah satu pihak yang dituntut berperan dalam melahirkan manusia unggul. Tridarma yang diemban perguruan tinggi memerlukan penajaman fokus untuk berdampak pada lahirnya manusia unggul yang mendukung Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Sivitas akademika dituntut untuk secara kontinu meningkatkan kapasitas individu, organisasi dan sistem yang mendukung perwujudan manusia unggul. Setidaknya peranan perguruan tinggi dalam mewujudkan manusia unggul dapat dikembangkan dalam beberapa poin berikut.
Pertama, peranan dalam melahirkan lulusan unggul. Pada aspek kuantitatif, kehadiran perguruan tinggi diperlukan untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Oleh karena itu, pembukaan perguruan tinggi dan program studi baru tetap diperlukan, terutama pada daerah dengan APK pendidikan tinggi yang rendah.
Bangsa kita memerlukan pemerataan akses pendidikan tinggi agar manusia unggul tersebar relatif merata di semua wilayah Indonesia.
Pada aspek kualitatif, proses pembelajaran di perguruan tinggi memerlukan penyesuaian metode yang radikal di tengah semakin cepatnya Revolusi Industri 4.0 yang membawa pesatnya perkembangan beragam sumber pengetahuan di balik kehadiran media digital.
Pembelajaran dengan metode studi kasus dan pemecahan masalah pada level sarjana perlu semakin diintensifkan guna memberi mereka pengalaman dalam berselancar dalam simulasi realitas.
Filosofi merdeka belajar dan kampus merdeka yang dicanangkan saat ini memerlukan pelembagaan secara kontinu untuk mendukung lahirnya lulusan unggul tersebut.
Kedua, peranan dalam melahirkan inovasi. Tugas penelitian yang diemban dosen dan mahasiswa (terutama mahasiswa pascasarjana) harus terus ditingkatkan kualitasnya agar dapat berkontribusi nyata, tak hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga memberi manfaat dan dampak yang signifikan terhadap perbaikan daya saing bangsa.
Jika jumlah publikasi berdasarkan Scimago Journal and Country Rank dijadikan sebagai gambaran kemajuan riset suatu bangsa, Indonesia saat ini masih di urutan ke-39.
Saat ini Indonesia juga mengalami deindustrialisasi, ditandai oleh stagnannya kontribusi industri manufaktur dalam struktur perekonomian dan meningkatnya nilai impor berbagai produk industri.
Ini memerlukan keunggulan peneliti Indonesia untuk mendorong inovasi-inovasi dan perekayasaan teknologi yang siap untuk diaplikasikan dunia industri. Dalam konteks ini, infrastruktur, pendanaan, iklim dan budaya riset harus terus diperbaiki agar dapat bersaing dan unggul pada level global.
Pada akhirnya, perguruan tinggi saat ini yang tengah menghadapi tantangan berat dalam beradaptasi dengan kecepatan perubahan global harus mampu bertransformasi dengan baik.
Ketiga, peranan dalam mendorong kemaslahatan masyarakat. Hasil-hasil riset dan pemikiran yang berkembang di perguruan tinggi harus terus menjadi bagian dari aplikasi pengetahuan yang berlangsung dalam lingkungan masyarakatnya untuk mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja dan menggairahkan industrialisasi.
Pengabdian masyarakat perlu diorganisasi secara lebih sistematis, misalnya, agar dapat mendorong nilai tambah dan daya saing komoditas tertentu. Dengan demikian, perguruan tinggi berkontribusi langsung terhadap kemajuan teknologi suatu komoditas dan berkembang bersama dengan laju industrialisasi berbasis komoditas tersebut.
Pada akhirnya, perguruan tinggi saat ini yang tengah menghadapi tantangan berat dalam beradaptasi dengan kecepatan perubahan global harus mampu bertransformasi dengan baik. Pertanyaan alamiahnya adalah sistem pendidikan seperti apa yang harus kita siapkan untuk menghadapi perubahan masa depan yang penuh ketidakpastian?
Bagaimana modernisasi pendidikan dan riset unggulan strategis Indonesia yang seyogianya dikembangkan di perguruan tinggi agar relevan untuk 20 tahun atau 50 tahun ke depan?
Manusia unggul yang kita inginkan untuk tahun 2030 atau 2045 tidak terlepas dari cita-cita mulia bangsa Indonesia untuk kelak menjadi bangsa yang adil, makmur, modern, berkelanjutan, berdaulat, dan disegani dunia.
Jamaluddin Jompa Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)