Pemilih Rasional dan Media Sosial
Pemilih rasional ialah mereka yang mampu berjarak dengan perbincangan politik di medsos dan punya kemampuan meneliti, melengkapi dan membandingkan informasi yang berseliweran di medsos sebelum memutuskan pilihan politik.
”Dalam pemilu, kita sesungguhnya tidak memilih yang terbaik, tetapi memastikan yang terburuk tidak terpilih dan berkuasa.” rohaniwan Franz Magnis-Suseno menyampaikan ini dalam artikel berjudul ”Golput” (Kompas, 12/3/2019).
Dalam pandangan Magnis-Suseno, jika kita menolak calon presiden (capres) x karena suatu alasan, semestinya kita mempertimbangkan capres y yang meskipun tidak sempurna, bisa jadi lebih baik. Kalau kita tak ingin capres y menjadi presiden, semestinya kita mempertimbangkan capres x yang meskipun masih jauh dari harapan, barangkali lebih menjanjikan.
Pandangan bercorak minus-malum ini memicu perdebatan hangat tentang fenomena golput menjelang Pilpres 2019.
Namun, pandangan tersebut sesungguhnya bukan hanya penting untuk menyoroti fenomena golput, melainkan juga untuk menjawab pertanyaan, ”Bagaimana sebagai pemegang hak pilih, kita mesti bersikap terhadap calon pemimpin kita?”
Pilihan yang tersedia di sini bukan hanya menjadi golput atau tidak golput, melainkan juga menjadi pemilih fanatik atau pemilih rasional, menjadi pendukung militan atau pendukung yang kritis.
Baca juga : Keadaan Dunia Tak Normal, Presiden: Jangan Salah Pilih Pemimpin
Merujuk pada apa yang lazim dikampanyekan tim sukses para kandidat, kita akan mendapatkan citra calon pemimpin yang sempurna dan tanpa cacat. Namanya juga propaganda politik, pasti memuji-muji seorang kandidat dan menegasikan kandidat yang lain. Namun, jika mampu mencari dan menggali informasi sendiri, yang kita temukan umumnya bukan pemimpin yang sempurna dan tanpa cacat itu.
Bursa calon pemimpin nasional praktis tidak menyediakan figur pemimpin yang demikian. Yang ada adalah calon-calon pemimpin yang kualifikasinya relatif rata-rata dan berimbang dari berbagai segi.
Dalam konteks ini, memang pada tempatnya jika Magnis- Suseno menyarankan ”pilihlah calon pemimpin yang selisih kebaikannya lebih banyak dari calon pemimpin yang lain, serta yang selisih keburukannya lebih sedikit atau lebih bisa ditoleransi daripada calon pemimpin yang lain!”.
Saran ini tentu hanya relevan untuk mereka yang ingin berpartisipasi dalam pemilu, dan sebaliknya kurang relevan untuk mereka yang karena alasan tertentu memutuskan tak memakai hak suara di pemilu.
Ruang publik baru
Persoalannya kemudian, bagaimana mengetahui atau mengukur selisih kebaikan dan keburukan tiap-tiap calon pemimpin? Apakah semua orang mampu melakukannya?
Di sini kita perlu membahas pentingnya pemilih yang rasional dan kritis. Pemilih yang menentukan pilihan politik berdasarkan informasi memadai tentang kemampuan, prestasi, dan integritas setiap kandidat. Pemilih yang memiliki catatan kritis tentang para kandidat dan mampu merumuskan tuntutan-tuntutan yang masuk akal. Pemilih yang tahu kelemahan dan kelebihan tiap kandidat dan memilih yang lebih baik.
Kualitas pemilu turut ditentukan oleh keberadaan pemilih yang rasional itu. Mereka tak mudah terpengaruh propaganda politik dan secara aktif memburu rekam jejak kandidat sebelum menentukan pilihan. Pemilih yang demikian ini merupakan landasan penting agar calon pemimpin lebih bertanggung jawab dan realistis dalam menyusun program kerja.
Sebaliknya, pemilih fanatik yang menentukan pilihan politik tak berdasarkan pertimbangan rasional kurang mendorong kandidat bersikap realistis dan bertanggung jawab.
Basis pendukung yang memilih karena semangat primordial, kedekatan kultural, atau favoritisme personal, tanpa memperhitungkan benar kelebihan dan kelemahan kandidat, akan membuka jalan bagi praktik politisasi identitas dan membuat calon pemimpin mengabaikan program yang sungguh-sungguh menjawab persoalan riil masyarakat.
Bertolak dari pandangan di atas, fondasi yang mutlak dibutuhkan untuk membangun kualitas partisipasi politik adalah 1) tersedianya informasi yang memadai dan obyektif tentang calon pemimpin; 2) tersedianya forum-forum yang membantu masyarakat mempelajari dan mendiskusikan kebenaran informasi-informasi.
Kualitas pemilu turut ditentukan oleh keberadaan pemilih yang rasional itu.
Dalam konteks ini, mau tak mau kita mesti membicarakan peran media sosial (medsos). Hari ini, medsos telah menjadi gerbang utama bagi masyarakat untuk memperoleh informasi.
Namun, sayangnya, terkait isu pemilu, medsos belakangan lebih banyak menghadirkan cerita yang kurang menggembirakan. Medsos begitu identik dengan persebaran hoaks, berita bohong, ujaran kebencian yang memecah belah masyarakat.
Merujuk pengalaman pemilu AS, Brasil, India, Filipina, Malaysia, Belanda, Perancis, Jerman, referendum Brexit, dan lainnya, termasuk Indonesia, medsos melahirkan keadaan yang justru bertolak belakang dengan tatanan dan kultur demokrasi.
Dalam konteks inilah, medsos sebagai gerbang utama informasi justru perlu diwaspadai. Medsos memungkinkan semua orang bebas berbicara dan berekspresi tanpa terkendala hierarki. Hak untuk beropini dan berwacana tak lagi jadi privilese orang-orang ternama, para pakar, tokoh publik, dan pemimpin formal. Persoalannya, praktis tak ada proses moderasi dan verifikasi atas konten secara terstruktur seperti terjadi dalam konteks media massa.
Maka, konten apa pun, dengan tujuan apa pun, dan milik siapa pun bisa menyebar dan viral melalui medsos. Tanpa terkecuali konten yang sesungguhnya tak layak dikonsumsi publik: mengandung ujaran kebencian, berbau SARA, dan lain-lain. Sejauh menarik minat banyak orang dan menciptakan kerumunan, konten apa pun memperoleh tempat. Shareability menjadi paradigma.
Maka, sebagai ruang publik baru, medsos memfasilitasi penyebaran informasi sekaligus disinformasi, kebenaran ataupun kepalsuan, kejujuran ataupun kebohongan. Semuanya bercampur baur di sana.
Tidak ada mekanisme yang memadai untuk menyortir konten bermuatan permusuhan, kebencian, dan semacamnya. Kalaupun ada mekanisme itu, sifatnya masih eksperimental atau kuratif. Medsos kemudian menjadi sangat operasional untuk propaganda politik sebagai proses transmisi pesan yang searah dan sepihak.
Dan, ketika propaganda dijalankan, publik niscaya disuguhi pemujaan berlebihan tentang keunggulan seorang pemimpin dan sebaliknya penyangkalan berlebihan atas kualitas pemimpin lain. Surplus sekaligus defisit fakta terjadi sedemikian rupa.
Untuk menjadi pemilih yang rasional dalam konteks ini, kita mesti berjarak dengan apa pun yang mengemuka di dunia maya. Kemampuan menyeleksi dan menguji informasi mesti dimiliki semua orang. Semakin aktif kita berinternet, semakin tinggi kebutuhan untuk bersikap selidik dan selektif terhadap konten, ujaran atau unggahan yang bernada bombastis, kontroversial atau yang menggiring pada suatu pilihan.
Menutup diri dari arus informasi di medsos tentu tak masuk akal. Namun, menentukan pilihan politik semata berdasar apa yang kita dapatkan di sana pertanda kita telah menjadi korban agitasi politik.
Dan ketika propaganda dijalankan, publik niscaya disuguhi pemujaan berlebihan tentang keunggulan seorang pemimpin dan sebaliknya penyangkalan berlebihan atas kualitas pemimpin lain.
Kurasi algoritma
Satu hal yang juga perlu ditegaskan di sini adalah jagat informatif pengguna internet bukanlah jagat yang alamiah.
Dalam buku berjudul Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), Cass Sunstein menjelaskannya dengan istilah daily me, yakni jagat informatif yang hanya merefleksikan minat, selera, dan kecenderungan orang per orang pengguna internet.
Pada newsfeed medsos atau hasil pencarian search engine, yang kita temukan notabene kumpulan konten terpersonalisasi yang diseleksi berdasarkan prediksi tentang minat atau kecenderungan kita. Maka, jagat informatif ini sesungguhnya tak menggambarkan pluralitas dan kompleksitas informasi, opini, pemikiran, dan wacana yang tersedia di ruang publik.
Orang yang meminati sepak bola akan terus disuguhi informasi tentang sepak bola seakan-akan tak butuh informasi lain. Mereka yang secara digital sedang menggeluti spiritualitas, akan senantiasa disuguhi wacana spiritualitas seakan-akan tak perlu wacana lain.
Mereka yang secara digital menunjukkan ketertarikan ke capres tertentu, akan senantiasa disuguhi konten-konten yang mendukung capres itu seakan-akan dia tidak memerlukan konten yang sebaliknya.
Kebebasan informasi di sini terwujud dalam batas-batas yang ditentukan secara algoritmis oleh platform digital.
Dalam konteks ini, daily me mengintensifkan polarisasi sosial melalui dua tahap. Pertama, pengguna medsos cenderung mencari informasi yang menguatkan keyakinannya sendiri. Seperti dijelaskan Sunstein, kurasi algoritmis secara laten menghindarkan pengguna medsos dari paparan pandangan dan informasi yang tak sejalan dengan keyakinannya.
Akibatnya, tanpa sadar kita kian hari kian fanatik dan mengabaikan pentingnya mempertimbangkan pandangan-pandangan yang lain. Kedua, pengguna medsos tanpa sadar mengelompok dengan orang-orang yang berpandangan serupa (like minded people). Dalam kelompok ini, opini dan sudut pandang cenderung terseragamkan, dan setiap individu terdorong memisahkan diri secara politis dari kelompok lain.
Baca juga : Pola Manipulasi Opini Publik di Media Sosial
Dengan menciptakan apa yang disebut sebagai filter bubble effect, algoritma platform medsos telah mengintensifkan polarisasi politik. Yang kanan semakin ke kanan, yang kiri semakin ke kiri. Masing-masing kelompok terus berasyik masyuk dengan pilihan, keyakinan, dan prasangkanya sendiri, tak merasa perlu berdialog dengan kelompok lain. Fenomena cebong vs kampret di Pilpres 2019 dengan gamblang menunjukkan hal ini.
Di sini, penting ditekankan agar kita tidak mudah terkecoh oleh pujian, like, jempol atas status kita di medsos. Pujian, like, jempol itu memang datang dari mereka yang sealiran atau sekubu dengan kita sehingga tak bisa jadi parameter untuk menguji kebenaran dan validitas suatu pernyataan.
Kita memerlukan forum yang lebih majemuk dan memungkinkan pertukaran pendapat untuk menguji suatu pernyataan atau sikap politik. Forum ini sulit ditemukan di dunia maya ketika suasana politik telah memanas menjelang pelaksanaan pemilu.
Pemilih rasional sekali lagi adalah mereka yang mampu berjarak dengan perbincangan politik di medsos dan memiliki kemampuan untuk meneliti, melengkapi, dan membandingkan informasi yang berseliweran di medsos sebelum menjadikannya sandaran untuk menentukan pilihan politik.
Agus Sudibyo Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu