Menghadirkan Kembali Intelektual Publik
Meninggalnya Mochtar Pabottingi menambah dukacita mendalam bagi bangsa. Sebagaimana ketika Buya Ahmad Syafii Maarif dan Azyumardi Azra. Mereka merepresentasikan golongan intelektual publik yang independen dan kritis.
Berbagai ucapan belasungkawa mengalir menyertai wafatnya intelektual publik yang dikenal sangat berintegritas, Mochtar Pabottingi.
Harian Kompas edisi 5 Juni 2023 memuat tulisan Yudi Latif berupa obituari mengenai sosok ini, yang dinilainya ”tegas dalam prinsip etik, ramah dalam tata krama, kosmopolitan tanpa melupakan ’rumah’, logis-teoretis tanpa kehilangan estetis; mendukung dan mengapresiasi seseorang/sesuatu tanpa sungkan melancarkan sikap kritis; kaya ilmu namun sederhana dalam kehidupan”.
Penilaian tersebut obyektif dan tidak berlebihan. Mochtar memiliki karakter yang demikian sebagai intelektual publik.
Meninggalnya Mochtar Pabottingi menambah dukacita mendalam bagi bangsa. Sebagaimana juga ketika Buya Ahmad Syafii Maarif dan Azyumardi Azra mendahului berpulang. Mereka merepresentasikan golongan intelektual publik yang independen dan kritis. Kini, di tengah gegap gempita masalah sosial dan politik mutakhir, mengemuka pertanyaan yang cukup menggelisahkan, di mana suara intelektual publik?
Pertanyaan itu pun seiring sejalan dengan pertanyaan sejenis lainnya, di mana suara akademisi di kampus-kampus?
Mengapa suara mereka hampir tak terdengar? Benarkah daya tonjok intelektual mereka mengalami kemerosotan signifikan di tengah arus deras pragmatisme hidup? Pertanyaan seperti itu sesungguhnya juga merupakan sebentuk ekspresi kegelisahan publik yang merasakan nyaris oleh ketidakterwakilan intelektual mereka.
Baca juga : Mochtar Pabottingi dan Kerinduan Kepulangan
Golongan intelektual, bagaimanapun, merupakan entitas tersendiri dalam kajian kekuatan politik, selain partai politik, militer atau kepolisian, birokrasi, pemuda atau mahasiswa, pebisnis, seniman-budayawan, dan sebagainya.
Kajian kekuatan politik di Indonesia prakemerdekaan dan pascakemerdekaan telah menunjukkan perkembangannya. Pada prakemerdekaan, sejak era politik etis kolonialis Belanda, golongan terpelajar menempati posisi sangat strategis dalam menghela perubahan.
Pascakemerdekaan hingga pertengahan 1960-an, yang dominan partai-partai politik. Pas- ca-1965, militerlah kekuatan politik dominan kendati kehadirannya tak luput dari peran pemuda dan mahasiswa. Namun, rezim Orde Baru pun jatuh karena tekanan mereka, dalam bingkai menguatnya masyarakat madani (civil society).
Lantas, partai-partai politik merebut panggung dominasi politik hingga dewasa ini. Namun, lanskap kepolitikan Indonesia mutakhir diwarnai pula entitas-entitas baru yang secara kelembagaan hadir institusi-institusi berpengaruh, seperti terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Reformasi hubungan sipil militer juga berdampak pada kehadiran institusi kepolisian yang menguat pengaruh politiknya.
Media, pebisnis, dan masyarakat sipil juga entitas kekuatan politik. Sudah menjadi ragam kajian akademis, masyarakat sipil cenderung paling tertinggal dalam kontestasi antarkekuatan politik mutakhir.
Dalam konteks ini, di manakah letak golongan intelektual? Sesungguhnya mereka ada di mana-mana. Mereka juga ada di partai politik dan yang lainnya, sebagai kuasi-intelektual. Namun, searas dengan karakter akademisnya, tentu lembaga yang memayunginya secara formal ialah lembaga pendidikan tinggi atau kampus-kampus.
Deintelektualisasi
Golongan intelektual kini tengah mengalami deintelektualisasi di kampus-kampus dan di partai-partai politik. Mandeknya penguatan kelembagaan partai yang mempersyaratkan demokratisasi internalnya membuat personalisasi menonjol, dan arah subyektivitas politik sering kali mengabaikan dimensi intelektualitas.
Golongan intelektual di parpol tampaknya selalu dalam posisi tersisih, kalau bukan tertindas, oleh doktrin, kepentingan, dan subyektivitas personal puncak elitenya. Yang tak kalah menggelisahkan adalah fenomena deintelektualisasi di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sejatinya bekerja dalam koridor kebebasan akademis.
Sudah banyak kajian mengapa intelektualisasi merosot dan tak dapat berkembang optimal di kandang sendiri, kampus-kampus. Penyebabnya, antara lain, birokratisasi yang berlebihan dan kultur neofeodal yang dibiarkan berkembang di dunia pendidikan tinggi.
Golongan intelektual kini tengah mengalami deintelektualisasi di kampus-kampus dan di partai-partai politik.
Kebijakan yang terlampau menekankan dominasi rezim administrasi ketimbang akademik cukup fatal. Para dosen dan sivitas akademika disibukkan oleh berbagai aturan administrasi, yang membuat konsentrasi akademis mereka terkacaukan. Hingga kini masih belum ada jalan keluar yang elegan mengenai debirokratisasi kampus-kampus.
Depolitisasi kampus tampaknya malah lebih efektif sekarang ketimbang semasa Orde Baru. Semasa itu, kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) memutus mahasiswa dari sikap kritisnya dengan realitas sosial. Kepada para mahasiswa saja ruang kritis di batasi, apalagi terhadap para dosennya.
Intinya, kebebasan akademis dan mimbar akademis ditutup sehingga suara kampus harus selaras dengan kepentingan teknokratisasi pembangunan ala Orde Baru. Kendati demikian, ketika itu intelektual publik dari kampus-kampus tetap hadir meski berada di koridor sempit kebebasan akademis.
Ranah kecendekiawanan mereka berpadu dengan para seniman dan budayawan yang merdeka dalam berpikir dan berekspresi kritis. Tangan-tangan kekuasaan biasanya sinis mengecap sebagai ”hanya bisa bicara tanpa solusi”.
Namun, tudingan ini terpatahkan ketika asosiasi-asosiasi cendekiawan hadir dan memberi masukan-masukan kritis atas jalannya pembangunan yang tak selaras dengan cita-cita pendiri bangsa.
Tantangan
Mengapa intelektual publik kurang menonjol sekarang?
Di era ketika media konvensional tergeser oleh media sosial, semua orang bisa unjuk pendapat. Suara intelektual publik mudah tenggelam oleh hal-hal yang viral di media sosial. Hoaks dan penyesatan informasi mudah terjadi.
Meskipun ruang terbuka lebar dan peluang intelektual publik hadir kembali begitu besar di era digital, mereka mudah tenggelam oleh propaganda kekuatan politik dan ekonomi atau oligarki yang lebih gencar.
Media massa dan masyarakat sipil secara umum relatif masih memberi ruang yang lebar bagi intelektual publik angkat bicara di tengah ketatnya kontestasi pendapat di era digital dewasa ini. Mereka bergerak melalui kelembagaan masyarakat sipil, baik organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) maupun LSM, yang secara sistematis melakukan kajian akademis dan pembelaan terhadap yang tertindas dan tersingkir oleh kebijakan politik yang tidak adil.
Media massa dan masyarakat sipil secara umum relatif masih memberi ruang yang lebar bagi intelektual publik angkat bicara di tengah ketatnya kontestasi pendapat di era digital dewasa ini.
Pragmatisme negara dalam melejitkan pembangunan dengan rumus baku pertumbuhan ekonomi yang tidak bertumpu pembangunan manusia pada praktiknya berdampak pada berbagai kondisi yang memprihatinkan, dari kerusakan lingkungan hingga ketimpangan.
Represivitas negara masih sering terjadi pada masyarakat yang kritis. Para pemegang kunci kekuasaan harus menyadari bahwa mereka diberi amanah untuk membangun negeri selaras dengan pikiran kebangsaan pendiri bangsa.
Mereka tidak boleh lupa sejarah dan kurang pandai menerjemahkan intisari pokok-pokok tujuan kebangsaan kita. Dalam konteks inilah, suara-suara jernih dan obyektif cendekiawan publik perlu terus hadir dan digemakan.
M Alfan Alfian Dosen magister Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta