Faktor Kedekatan dengan Jokowi?
Nasib elektoral para kandidat capres bukan hanya ditentukan seberapa sering mereka mengunjungi Istana Bogor, memasang baliho, atau mengunggah ”reels”. Kerja kolektif mereka sebagai pejabat dan tokoh publik adalah kunci.
Sebagian orang beranggapan bahwa nasib elektoral para kandidat calon presiden (capres) tak hanya terletak pada sejauh mana publik mendapatkan eksposur tentang para kandidat, tetapi juga sejauh mana kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski demikian, ”kedekatan” di sini tak mempunyai kejelasan konseptual yang memadai: apakah kedekatan secara personal, profesional, atau sosial. Tulisan ini mencoba menjernihkan bahwa kedekatan profesional dengan Jokowi menjadi faktor penting sekaligus dinamis bagi kemenangan (atau kekalahan) para capres, dengan kedekatan sosialnya sebagai basis dukungan politik.
Akar teoretik
Ketiga jenis kedekatan dengan presiden petahana tersebut memiliki akar teoretik dan aplikasi praktis yang sama sekali berbeda. Kedekatan personal dijelaskan dengan sejauh mana seseorang (tokoh politik) mempunyai relasi kekerabatan dengan Jokowi sebagai the sitting president.
Kedekatan personal juga bermakna sejauh mana kandidat mempunyai personalitas (personality) yang mirip dengan Jokowi, seperti gaya memimpin atau komunikasi publiknya. Beberapa teoretikus coattail effect klasik seperti Ferejohn (1984) menggunakan mekanisme kedekatan personal ini untuk menjelaskan efek presiden petahana terhadap dukungan publik bagi kandidat penerus.
Meski demikian, kita semua tahu bahwa Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto—yang dianggap menjadi penerus Jokowi dan memperoleh limpahan pemilih Jokowi—mempunyai gaya dan kepribadian yang tidak sama, atau bahkan sama sekali berbeda dengan Jokowi.
Kedekatan sosial bisa jadi cukup meyakinkan sebagai penjelas ”efek Jokowi” bagi para kandidat capres. Kedekatan sosial dijelaskan oleh sejauh mana para kandidat capres dianggap mewakili kelompok pemilih yang sama dengan Jokowi, misalnya kelompok pemilih nasionalis dan kelas menengah-bawah.
Lebih dari setengah abad lalu, Lazarsfeld dan para kolega dari sociological school di Columbia University berpendapat bahwa pemilih akan memilih kandidat yang mewakili kelompok sosialnya. Jika pembilahan sosial di Indonesia dijelaskan oleh kelompok Islamis dan nasionalis—dibandingkan kelompok kiri dan kanan sebagaimana jamak ditemukan di Barat—maka benar adanya jika Ganjar dan Prabowo punya kedekatan sosial dengan Jokowi.
Sementara itu, Anies praktis secara sosial berjarak dengan Jokowi. Sebagian orang berpendapat ini alasan stagnasi tingkat keterpilihan Anies. Jika kedekatan sosial memiliki kekuatan prediktif yang cukup mapan, Prabowo dan Ganjar praktis harus berbagi arah dukungan kelompok pemilih yang sama dari Jokowi.
Meski demikian, Prabowo mendapatkan insentif tambahan dari kelompok yang berjarak dengan Jokowi. Walau sebagian besar terakomodasi oleh Anies, kelompok ini sepertinya berusaha terus dirawat sejak 2014 saat Prabowo melawan Jokowi.
Jika kedekatan sosial dengan petahana cenderung mapan, maka kedekatan profesional lah yang menjadi penentu di balik ”faktor Jokowi”, baik penentu kemenangan maupun kekalahan para kandidat capres.
Kedekatan sosial bisa jadi cukup meyakinkan sebagai penjelas ”efek Jokowi ” bagi para kandidat capres.
Kedekatan profesional, hemat penulis, bukan hanya terletak pada sejauh mana para kandidat cepres dianggap mau dan mampu melanjutkan program Jokowi sebagai presiden petahana yang sering dijadikan basis argumen di balik tingginya elektabilitas Ganjar dan Prabowo. Kedekatan profesional adalah terminologi sederhana yang saya gunakan untuk menjelaskan teori perilaku pemilih rational-economic voting.
Dalam pandangan Fiorina dan beberapa sarjana economic school lain, seperti Kramer, Kinder, dan Kiwier pada akhir 1970-an, performa ekonomi petahana menjadi penentu bagi siapa pun yang dianggap dekat dan menjadi penerusnya.
Artinya, performa pemerintahan Jokowi-lah yang memberikan efek elektoral kepada para kandidat capres, terutama Ganjar dan Prabowo, bukan kemiripan personal dan basis sosial Jokowi. Nasib mereka lebih ditentukan oleh sejauh mana publik puas dengan Jokowi dan performa pemerintahannya.
Kedekatan profesional bisa jadi relevan untuk menjelaskan tingkat keterpilihan para kandidat capres, terutama Ganjar dan Prabowo, yang dianggap jadi penerus platform ekonomi dan pembangunan Jokowi.
Misalnya, survei yang dilakukan Poltracking merekam tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi cenderung tinggi, bahkan mempunyai kecenderungan naik, yaitu antara 71 persen hingga 75 persen pada akhir tahun lalu hingga April 2023. Penjelasannya sederhana. Karena ilmuwan politik telah lama mengajukan beberapa mekanisme penting tentang bagaimana publik mengevaluasi kinerja pemerintah dan menggunakan evaluasi ini sebagai basis pilihan politiknya.
Berdasarkan scope-nya, mekanisme perilaku memilih rasional yang agak populer adalah egotropic atau sering disebut pocketbook, yaitu publik bisa saja cukup melihat kondisi pendapatan atau kesejahteraan rumah tangganya apakah membaik atau memburuk. Ilmuwan lain mengajukan teori pengukuran sociotropic di mana pilihan politik publik lebih didasarkan pada evaluasi sederhana pada kondisi ekonomi sekitar atau informasi yang mereka terima perihal ekonomi nasional dan kinerja pemerintahan.
Secara temporal, evaluasi retrospective—yaitu evaluasi tentang apa yang sudah dilakukan pemerintah atau dirasakan publik—adalah yang paling jamak dianggap menjadi mekanisme umum bagi khalayak dalam memberikan pilihan politiknya berdasarkan performa petahana, dibandingkan evaluasi prospective—tentang apa yang akan terjadi.
Kerja kolektif
Keempat mekanisme ini mempunyai hasil yang sama: jika menurut mereka kondisi kesejahteraan membaik (atau akan membaik), maka pilihan politik akan dijatuhkan pada siapa pun yang dianggap bisa mewariskan-meneruskan pemerintahan yang sedang berjalan.
Sebaliknya, jika pemerintah dianggap gagal dalam menjamin kesejahteraan, maka mereka akan memilih pemimpin alternatif yang akan mengganti rezim. Meskipun pada awalnya keempat mekanisme di atas ”hanya” bicara persoalan bagaimana ilmuwan politik dan lembaga survei mengukur economic judgment yang dilakukan oleh publik, beberapa studi terbaru, termasuk yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa evaluasi secara retrospectif dan sociotropic lebih jamak dilakukan oleh pemilih.
Pada sisi lain, bulan-bulan terakhir menjelang hari pemungutan suara—terutama 3-6 bulan terakhir—adalah periode krusial bagi ”faktor Jokowi ” berdasarkan kedekatan profesional.
Literatur economic voting telah cukup banyak mengelaborasi tesis tentang rationalitas pemilih baik di negara demokrasi maju maupun berkembang. Salah satu temuan penting yang harus dicatat adalah terjadinya myopic judgment di hampir semua populasi pemilih.
Yaitu, pemilih hanya mampu mengevaluasi performa petahana di akhir periode jabatannya, seperti enam bulan atau satu tahun terakhir pemerintahan, sebagai basis memutuskan pilihan. Artinya, pemilih pada satu sisi mempunyai kapasitas mengevaluasi pemerintahan yang sedang berjalan dan menggunakan evaluasinya dalam menentukan pilihan elektoral. Pada sisi lain, bulan-bulan terakhir menjelang hari pemungutan suara—terutama 3-6 bulan terakhir—adalah periode krusial bagi ”faktor Jokowi” berdasarkan kedekatan profesional.
Tentu terdapat komplikasi lain terkait basis evaluasi publik ketika problema clarity of responsibility (White and Powell 1994) mengaburkan public judgment karena keberhasilan pemerintah di dalam model pemerintahan koalisi bisa saja dilihat sebagai hasil kerja kolektif anggota koalisi.
Singkatnya, pesan penting tulisan ini adalah: nasib elektoral para kandidat capres bukan hanya ditentukan seberapa sering mereka mengunjungi Istana Bogor, memasang baliho, atau mengunggah reels. Kerja kolektif mereka sebagai pejabat dan tokoh publik adalah kunci.
Arya Budi,Direktur Riset Poltracking Indonesia, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM