Menghadapi Perlambatan Ekonomi
Momentum pemilu dan pemilihan presiden tidak terlihat berpengaruh negatif terhadap perekonomian. Stabilitas politik dan perkiraan siapa yang akan memenangi pilpres tidak mendatangkan kekhawatiran.
Ekonomi negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa, dan China, mengalami pelambatan secara berarti. Bahkan, beberapa negara, seperti Jerman, mengalami pertumbuhan negatif atau resesi.
Inflasi sebenarnya sudah turun di bawah 5 persen di AS, 6 persen di Eropa, tetapi masih jauh di atas target 2 persen yang ingin dicapai.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Oleh karena itu, bank sentral juga masih akan menaikkan suku bunga sekalipun bank sentral AS, The Fed, jeda dari kenaikan pada Juni ini.
Hanya bank sentral Jepang yang tetap bertahan tidak menaikkan suku bunga dan bank sentral China yang mulai menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi.
Sementara itu, ketegangan geopolitik masih tinggi dengan berlanjut dan memanasnya perang Rusia-Ukraina. Pertentangan investasi dan dagang AS dan China juga meninggi, dengan larangan ekspor teknologi tinggi, khususnya cip, ke China. Dalam situasi ini sangat sulit bagi suatu negara untuk tetap netral secara politik berkaitan dengan kebijakan ekonominya.
Perlambatan ekonomi ibarat pesawat terbang yang mengalami penurunan kecepatan jelajah dan ketinggiannya. Beberapa pesawat harus mendarat sementara untuk perbaikan teknis dan perawatannya.
Pesawat lain berusaha mempertahankan kecepatan jelajah dan ketinggian yang optimal dengan menginjeksi tambahan bahan bakarnya. Sementara itu, keadaan cuaca masih berawan cukup tebal dengan masih terjadi turbulensi di sekitarnya.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh Positif, tetapi Belum Pulih
Pengaruh pada Indonesia
Keadaan ini berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia dengan menurunnya harga komoditas dan melemahnya ekspor sehingga surplus neraca perdagangan pun menurun.
Sementara itu, konsumsi juga memperlihatkan pelemahan. Investasi masih meningkat berkaitan dengan pertambangan, dan pelarangan ekspor bahan mentah untuk pengembangan industri pemrosesan.
Pertumbuhan kredit juga mengalami pelambatan menjadi sekitar 8 persen. Kredit investasi masih tumbuh sekitar 10 persen, tetapi kredit modal kerja melambat ke sekitar 6 persen. Untuk ekonomi tumbuh 5 persen, membutuhkan pertumbuhan kredit paling tidak sekitar 10 persen.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) melemah ke tingkat 50,3 sekalipun di atas 50 masih mengalami perkembangan. Perusahaan padat karya tertentu harus mengurangi pekerja karena pemesanan dan penjualan yang menurun. Karena itu, banyak yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi melambat di bawah 5 persen.
Menghadapi perlambatan
Bagaimana Indonesia menghadapi perlambatan ekonomi menjadi menentukan dalam menjaga momentum perkembangan ekonomi dari masa pemulihan pada keberlanjutan pertumbuhan. Sekalipun inflasi relatif terkendali, stimulasi ekonomi—dengan menurunkan suku bunga—belum dapat dilakukan.
Dengan kemungkinan The Fed masih akan menaikkan suku bunga, kemungkinan dua kali lagi, nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan. Tampaknya untuk penurunan suku bunga, Bank Indonesia cenderung menunggu The Fed menurunkan suku bunga terlebih dahulu. Untuk itu, kemungkinan baru terjadi di 2024 dan ke depan.
Apa yang bisa dilakukan adalah terus memperbaiki lingkungan kegiatan bisnis dan ekonomi. Pertentangan dengan negara-negara importir dan investor harus diselesaikan dengan pragmatisme ekonomi daripada politik itu sendiri.
Pertentangan ini biasanya berkaitan dengan pelarangan ekspor bahan mentah, lingkungan, dan divestasi.
Terkait ketegangan geopolitik yang relatif tinggi, partisipasi dalam upaya mempertahankan kerja sama dan perdamaian harus terus dilakukan untuk menghindari berlanjutnya pelemahan ekonomi. Sesuai asas bebas aktif, Indonesia tak dapat memihak salah satu pihak yang bertikai tetapi lebih berperan dalam mediasi demi kerja sama dan pemulihan ekonomi, baik itu berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina maupun perselisihan investasi dan perdagangan AS-China yang meninggi.
Pelaku ekonomi kelihatannya juga menunggu keadaan yang lebih kondusif untuk mengembangkan lebih luas kegiatan bisnisnya.
Pelaku ekonomi kelihatannya juga menunggu keadaan yang lebih kondusif untuk mengembangkan lebih luas kegiatan bisnisnya. Mereka cenderung defensif sebagaimana terlihat dari perlambatan pertumbuhan kredit modal kerja.
Sementara itu, konsumen masih mempunyai optimisme yang tinggi sebagaimana diperlihatkan oleh peningkatan indeks kepercayaan konsumen. Namun, dalam kenyataannya, penjualan ritel hampir tak tumbuh atau relatif tetap. Untuk itu, diperlukan insentif bagi konsumen untuk meningkatkan pengeluarannya. Penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa menjadi salah satu pilihannya.
Menghadapi pemilu dan pilpres
Momentum pemilu dan pemilihan presiden tidak terlihat berpengaruh negatif terhadap perekonomian. Dari pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pilpres sebelumnya—tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014—pertumbuhan ekonomi justru mengalami perbaikan.
Stabilitas politik dan perkiraan siapa yang akan memenangi pilpres tidak mendatangkan kekhawatiran, bahkan memberikan tingkatan tertentu kepastian. Calon presiden yang kemungkinan bersaing adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan yang sudah diketahui pada umumnya bersifat positif terhadap perekonomian.
Lebih baik lagi jika parpol dan capres lebih banyak mengampanyekan bagaimana mengembangkan perekonomian yang berkelanjutan.
Menuju 2024, pemerintah menurunkan batas bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi ke 5,1 persen. Hal ini dimengerti dengan masih tidak pastinya kondisi ekonomi global ke depan. Dengan melihat perkembangan ekonomi domestik dan kemampuan mengantisipasi ketidakpastian global, masih dimungkinkan pertumbuhan ekonomi pada 2023 dan 2024 sekitar 5 persen.
Tentu saja kita menginginkan pertumbuhan lebih tinggi. Namun, angka pertumbuhan sekitar 5 persen sudah cukup baik dalam masa ketidakpastian tinggi sekarang ini.
Umar Juoro, Senior Fellow The Habibie Center