Kecerdasan Artifisial Generatif Menentang Hukum Hak Cipta
Kehadiran kecerdasan artifisial generatif mempertanyakan daya cipta yang selama ini kita anggap eksklusif hanya bagi manusia dan menentang justifikasi manusia biologis yang selama ini berlaku dalam hukum hak cipta.
Oleh
GHAZALI HASAN NASAKTI
·4 menit baca
Kita umat manusia (Homo sapiens) sepanjang sejarah menganggap hanya diri kita sendiri yang mampu menciptakan suatu kreasi kreatif-orisinal. Kita menganggap tidak ada dan tampaknya tidak akan pernah ada entitas lain non-manusia baik yang hidup, tersusun dari komposisi materi biologis (seperti hewan), atau yang tidak hidup (seperti komputer atau robot) yang mampu menciptakan suatu kreasi kreatif-orisinal sebaik kita.
Oleh karena itu, wajar didapati dalam rezim hak cipta di banyak negara mensyaratkan bahwa hak cipta—yaitu hak eksklusif yang umumnya terdiri dari hak moral dan hak ekonomi yang dengan sendirinya timbul dan melekat kepada yang menciptakan suatu kreasi kreatif-orisinal—hanya dapat diberikan kepada manusia dalam makna manusia biologis (Bingbin Lu, 2021). Indonesia termasuk negara yang mensyaratkan hal tersebut.
Bahasa hukum di Indonesia menggunakan nomenklatur ”ciptaan” untuk merujuk kepada suatu kreasi kreatif-orisinal tersebut. Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menyatakan bahwa ”Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata”.
Pasal 1 ayat (2) menyatakan dengan jelas bahwa yang dimaksud ‘pencipta’ atas suatu ciptaan adalah “seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”. ”Seseorang” atau ”beberapa orang” di sini adalah manusia dalam arti manusia biologis, bukan manusia fiksi seperti badan hukum yang dipersonifikasi sebagai manusia atau personhood dalam hukum (Ramli et al, 2023).
Dapat dipahami bahwa hukum hak cipta di Indonesia tidak mengantisipasi jika di kemudian hari ada pencipta yang bukan manusia atau keberadaan entitas lain non-manusia yang secara mandiri mampu menghasilkan suatu ciptaan sebaik manusia, atau yang sudah tidak dapat dibedakan dari ciptaan manusia. Kenyataannya, entitas non-manusia tersebut sekarang sudah hadir dan kehadirannya bersifat global, ada di mana-mana di waktu yang bersamaan, entitas non-manusia tersebut dikategorikan sebagai kecerdasan artifisial generatif (generative artificial intelligence/GAI).
Beberapa contoh GAI yang sudah disebutkan dan GAI yang akan bermunculan ke depan memiliki kemampuan mencipta.
Contoh GAI adalah ChatGPT dan Bing AI yang sudah mampu menghasilkan ciptaan apa pun berbasis teks (seperti esai non-fiksi, cerita fiksi, naskah film, puisi, dan lirik lagu). Selain itu, ada juga DALL-E dan Midjourney yang sudah mampu menghasilkan ciptaan berupa visual statis yang menggambarkan obyek apa pun dengan gaya artistik apapun selama bisa kita bayangkan yang sering kali sudah tidak bisa dibedakan dari karya visual yang dibuat oleh manusia sendiri.
Jika kita coba telusuri di mesin pencari (googling), akan kita temui banyak sekali contoh GAI lain yang sudah mampu membuat ciptaan selain yang berbasis teks dan visual. Perlu digarisbawahi bahwa beberapa contoh GAI yang sudah disebutkan dan GAI yang akan bermunculan ke depan memiliki kemampuan mencipta yang pada dasarnya dapat terus berkembang dan kita tidak tahu batas akhir daya cipta GAI tersebut—itu pun jika batas akhir itu ada.
MIDJOURNEY/KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Visual ini dihasilkan Midjourney dengan mengolah foto asli yang diunggah ke Midjourney untuk di-generate dengan menambahkan perintah; foggy arround the temple, morning lighting, high angle from hills, misty, tropical forest.
Lebih dari sekadar alat teknis
GAI tidak lagi tepat dipahami sebagai teknologi dalam makna teknologi tradisional selayaknya kamera, microphone, perekam suara, program pengolah kata Microsoft Word, atau artefak teknologi lainnya yang sekadar alat teknis (atau obyek pasif) yang digunakan manusia. Sebab, GAI dibangun dengan fondasi algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) yang secara kasar meniru cara neuron beroperasi di otak dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan yang berlapis-lapis. Hal itu membuat GAI mampu belajar secara langsung dari data yang tidak terstruktur seperti halnya manusia belajar.
Seorang anak kecil mempelajari bahasa terutama dengan cara mendengarkan orangtua mereka bicara (data berupa bunyi yang tidak terstruktur), lama-lama mereka memahami struktur bahasa dan dapat berbahasa dengan sendirinya. GAI menjalankan skema sebagaimana anak kecil dengan orangtua tersebut, dengan sejumlah detail teknis tambahan. GAI seperti ChatGPT dan Bing AI lama-lama dapat mengenali struktur bahasa dan mahir memproduksi kalimat yang masuk akal dan menyakinkan dengan sendirinya—lewat jutaan atau miliaran data berbasis teks dari berbagai sumber seperti internet sebagai set data pelatihannya—alih-alih lewat tuturan-tuturan bahasa sebagaimana orangtua kepada anak.
Dengan skenario seperti itu, tetapi mengganti set data pelatihan berbasis teks menjadi berbasis piksel (gambar), atau berbasis bunyi (audio), GAI model lain seperti Midjourney dan Voicify dapat belajar dan menghasilkan output berbasis visual atau audio secara mandiri, meskipun mungkin teks masukan awal (prompt) berasal dari manusia.
Dengan kata lain, GAI memiliki karakteristik yang berbeda dari teknologi tradisional, yaitu kemampuan membangun konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan baru di atas konsep dan keterampilan sebelumnya. Karakteristik tersebut menjustifikasi bahwa GAI memenuhi kriteria sebagai entitas yang memiliki ”kecerdasan” berdasarkan pada uji kecerdasan universal yang diusulkan oleh José Hernández-Orallo untuk menilai apakah suatu entitas baik hidup maupun tidak hidup memiliki kecerdasan atau tidak (Hernández-Orallo, 2017).
MIDJOURNEY/KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Visual yang dihasilkan oleh Midjourney dengan memasukkan perintah "beautiful girl wearing casual dress reading the newspaper "Kompas" on the beach under a coconut tree with the headline AI in the Visual World, realistic, beautiful scenery, 4K, mini table with coffe and bread, breakfast, sharp --ar 4:3".
Dikotomi ide dan ekspresi
Selain dari segi internal GAI, ada satu peristiwa menarik yang menegaskan bahwa GAI tidak masuk akal dianggap sebagai sekedar alat teknis di mata hukum. Melansir dari Reuters (23/2/2023), kantor Hak Cipta Amerika Serikat menolak memberikan hak cipta atas gambar-gambar dalam karya buku komik berjudul Zarya of the Dawn yang diajukan oleh Kris Kashtanova karena dibuat menggunakan Midjourney dan oleh karena itu Kashtanova bukanlah ”pencipta” di balik gambar-gambar itu sendiri.
Kantor Hak Cipta AS hanya akan memberikan perlindungan hak cipta untuk teks-teks pada buku tersebut serta pemilihan dan penyusunan elemen-elemennya yang memang hasil perbuatan Kashtanova sendiri. Kantor Hak Cipta AS menambahkan bahwa hasil gambar spesifik Midjourney tidak dapat diprediksi oleh pengguna dan sebab itu Midjourney berbeda dengan alat-alat lain yang digunakan oleh seniman.
Hukum hak cipta AS mensyaratkan bahwa suatu ciptaan harus merupakan ekspresi konkret dari manusia biologis untuk dapat diberikan perlindungan hak cipta. Hal tersebut sama halnya dengan hukum hak cipta Indonesia, Pasal 1 Ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan, ”Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata ….” Perlu digaris bawahi bahwa agar suatu ciptaan dapat diberikan hak cipta, ciptaan tersebut harus dalam bentuk nyata atau ekspresi konkret dan bukan sekadar ide abstrak penciptanya, hal ini dikenal juga sebagai dikotomi ide dan ekspresi.
Meskipun gambar-gambar dalam buku komik Zarya of the Dawn tercipta berdasarkan prompt yang ditulis oleh Kashtanova, tetapi prompt tersebut hanyalah ide abstrak dan ekspresi konkret dari ide itu sendiri dihasilkan oleh Midjourney dengan kecerdasannya yang berdiri sendiri sebagai kecerdasan yang terpisah dari Kashtanova sebagai manusia. Kita dapat menggunakan analogi bahwa jika Kashtanova menulis prompt tersebut di aplikasi Microsoft Word, prompt tersebut sekadar ide abstrak dan tidak akan menjadi suatu karya visual yang konkret.
Sementara jika prompt tersebut ditulis di Midjourney, Midjourney akan mengekspresikan secara konkret ide abstrak dari prompt tersebut. Maka dari itu ekspresi konkret yang menjadi subyek pelindungan hukum hak cipta dihasilkan oleh Midjourney dan bukan oleh Kashtanova. Namun, Midjourney tidak memenuhi kriteria, yaitu manusia biologis yang berhak mendapatkan hak cipta atas ekspresi konkretnya.
Kehadiran GAI mempertanyakan daya cipta yang selama ini kita anggap eksklusif hanya bagi manusia dan menentang justifikasi manusia biologis yang selama ini berlaku dalam hukum hak cipta di banyak negara. Interaksi nyata baru antara manusia dan GAI dalam aktivitas membuat suatu karya cipta menjadi urgensi tersendiri untuk diidentifikasi lebih jauh dan bagaimana prospek hukum hak cipta ke depan dalam merespon fenomena ini.