Sekitar tahun 1992-1995, ketika bekerja di pabrik pensil Indomulti, di Jalan Raya Serang Km 12 Tangerang, saya pernah ditugasi pemilik pabrik untuk meminta bantuan ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Pabrik kami perlu teknologi terapan untuk mengatasi limbah ampas kayu hasil serutan mesin pembuat bentuk pensil, baik yang bulat maupun persegi. Sejak pabrik tersebut berdiri, ampas serutan kayu tersebut hanya dibakar di tungku pembakaran pabrik di belakang. Jadi ada sumber pencemaran udara di situ.
Berbekal surat pengantar dari pemilik, saya mengunjungi gedung LIPI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Setelah sampai di gedung itu dan bertanya sana-sini, saya dipertemukan dengan seseorang yang menggeluti bidang ilmu terapan di ruang kerjanya.
Di akhir diskusi kami, tidak ada solusi, apalagi tindak lanjut terhadap masalah yang terjadi di pabrik pensil kami. Lebih karena belum ada teknologi atau solusi untuk pemanfaatan serbuk kayu tersebut.
Namun, bukannya sang peneliti antusias mencarikan jalan keluar dan membuatkan risetnya untuk memecahkan masalah sesuai dengan profesinya, ia hanya menyerah dan berkata memang belum ada solusinya.
Ilustrasi cerita di atas untuk menanggapi foto utama Kompas (Selasa, 30/5/2023) berjudul ”17 Tahun Semburan Lumpur Lapindo”. Ada permasalahan di situ dan
sekarang kita mempunyai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengelola semua lembaga penelitian di Indonesia.
Selama 17 tahun apakah tidak ada peneliti Indonesia yang mampu meneliti agar lumpur Lapindo bisa dikelola sehingga mempunyai nilai ekonomis? Dulu pernah ada usaha untuk membuat batu bata dari lumpur Lapindo, tetapi kelanjutannya tidak saya dengar lagi.
Beberapa waktu lalu saya mendengar berita lumpur Lapindo mengandung unsur logam tanah jarang, tetapi juga tidak ada kelanjutannya. Sepertinya saya cuma membaca berita hoaks saja.
Kemarin saya mendapatkan tanggapan Ibu Susi Pudjiastuti terhadap penambangan pasir laut untuk diekspor. Kalau kita googling, kandungan pasir laut paling penting adalah silika (SiO2) yang merupakan bahan dasar untuk semikonduktor.
Kegunaan selanjutnya sebagai campuran beton. Pembuatan kaca juga membutuhkan bahan dasar pasir silika. Terlihat jelas kita masih sangat jauh dari penguasaan teknologi dan pemberdayaan sumber alam seperti perlakuan kita pada nikel.
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Berkedok Menolong
Ojek online menunggu orderan penumpang di muka Stasiun palmerah, Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Pada 16 Februari 2023 saya dan beberapa teman berkumpul di rumah Saudara AS. Ia teman kami, sesama pengemudi ojek daring. Kami berkumpul di Gang Kamboja RT 004 RW 004 Kedungwaringin, Tanah Sareal, Kota Bogor, karena mendapat informasi ada orang yang mau membantu menutup utang kami di paylater ataupun pinjaman online.
Seseorang yang mengaku bernama RG dan berjanji menyelesaikan utang kami meminta identitas kami. Katanya guna didaftarkan di beberapa aplikasi pinjaman online dengan memakai ponsel kami.
Lalu RG membuat pinjaman online di beberapa aplikasi tersebut. Kami mendapat transferan uang ke rekening masing-masing dengan kisaran Rp 1 juta-Rp 37 juta. Namun, kami masing-masing harus transfer biaya administrasi Rp 550.000-Rp 13,7 juta ke rekening S. Kata RG, tidak akan ada tagihan pada kami.
Ternyata identitas kami digunakan untuk pinjaman dan belanja online (paylater). Ada beberapa tagihan dari pinjaman online dan paylater yang tidak kami ketahui, dan uangnya tidak masuk ke rekening kami.
Akibatnya, kami harus membayar tagihan Rp 4,5 juta- Rp 60 juta. Setelah dua bulan, banyak debt collector datang ke rumah kami menagih utang. Sementara RG sudah tidak bisa kami hubungi lagi. Rupanya ia bekerja sama dengan S, SM, dan RDG.
Kasus ini sudah kami laporkan ke Bareskrim Polresta Bogor pada 27 April 2023. Hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari Polresta Bogor walaupun jumlah korban sudah banyak. Kami mohon kasus ini bisa diproses secepatnya. Terima kasih.
Nuryati TjiongPerwakilan Pengemudi Ojek Online Korban Penipuan RG dan Tim, Jl Cimanggu Wates, Sukadamai, Tanah Sareal, Kota Bogor