Bahasa Indonesia cukup banyak menyerap kata dari bahasa Hokkian, seperti ”angpau” dan ”bakpao”. Namun, ada beberapa kata yang diserap secara kurang pas.
Oleh
Yanwardi
·2 menit baca
Sistem ejaan bahasa Indonesia menyiratkan ”apa yang ditulis itulah yang dilafalkan”. Jadi, /a/ dibaca (a), /b/ dibaca (be); /c/ dibaca (ce), dan seterusnya. Namun, fenomena itu tidak berarti bahwa penyerapan kata, misalnya, harus bertolak dari ejaan (tulisan) atau sebaliknya. Kedua unsur itu intinya harus serentak sinkron.
Tambahan pula, dalam konteks penyerapan kata, data umumnya berdasarkan bahasa yang dilafalkan. Sebab itu, tidak mengherankan jika /mall/ dengan lafal [mol], umpamanya, yang ejaannya diserap menjadi /mal/ oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terasa artifisial oleh penutur bahasa. Jika sudah demikian, akan terjadi perbedaan dan resistansi di antara penutur bahasa Indonesia.
Tulisan ini akan membahas topik yang khusus berkaitan dengan penyerapan kata dari bahasa Hokkian, yakni /angpao/ dan /bakpao/. KBBI menyerap kedua kata yang setipe itu dengan ejaan berbeda: /angpau/ dan /bakpao/. Untuk kedua kata serapan tersebut, akan diberi catatan dan masukan, bagaimana sebaiknya kedua kata itu diserap. Pada gilirannya akan diberikan masukan pula bagaimana dasarnya jika menyerap kata dari bahasa asing.
Prinsip apa yang ditulis adalah apa yang dilafalkan dan kemiripan fonotaktiknya menjadi sebab kemulusan adaptasi itu.
Menyerap kata dari bahasa asing yang sistem fonotaktik atau urutan bunyinya sama (mirip) dengan bahasa Indonesia tentu lebih mudah menyesuaikannya. Proses penyerapan adaptasinya lebih memungkinkan.
Bahasa kita cukup banyak menyerap kata dari bahasa Hokkian. Meskipun bersistem ejaan tersendiri, yakni bukan berejaan Latin, bahasa Hokkian, salah satu bahasa yang ada di RRC, ini memiliki kemiripan fonotaktik jika ditransliterasi ke dalam sistem fonotaktik ejaan bahasa Indonesia, yang berejaan Latin.
Kata-kata Hokkian, misalnya bakso dan bakpia, dalam urusan pelafalan dan fonotaktik diadaptasi secara mulus oleh penutur bahasa Indonesia. Prinsip apa yang ditulis adalah apa yang dilafalkan dan kemiripan fonotaktiknya menjadi sebab kemulusan adaptasi itu. Namun, tampak ada beberapa kata dari bahasa Hokkian yang diserap KBBI secara kurang pas.
Bakpao, salah satu contohnya. Suku kata bak- tentu tak bermasalah, sebagaimana kata berunsur bak- lainnya, yaitu bakcang, bakpia, bakso, dan bakmi, yang bermakna ’daging’.
Suku kata kedua, yang dalam bahasa asalnya juga sekaligus morfem dan kata, yakni pao ’buntalan’ (seturut sinolog FIB UI Prof Hermina Sutami melalui komunikasi lisan) dilafalkan oleh kita dengan [paw], sama dengan pao dalam [angpau], bukan dengan [pa-o], yang dilafalkan dengan dua suku kata.
KBBI untuk angpau merekamnya secara tepat, sesuai dengan sistem pelafalan dan fonotaktis bahasa Indonesia. Ejaan pau setipe dengan pau dalam lam-pau, yang berada dalam satu suku kata dan dilafalkan bunyi terakhirnya dengan bunyi hampiran [w].
Bunyi [aw] dalam ejaan /au/ biasa dikenal dengan diftong dalam bahasa Indonesia. Dengan melihat etimologi, sistem ejaan, dan fonotaktik bahasa Indonesia, disarankan ejaan bakpao juga diserap dengan /bakpau/ sehingga konsisten pula dengan /angpau/.
Untuk kata serapan Hokkian lainnya, mantau (KBBI), dengan melihat etimologi dan bunyinya, menurut Hermina Sutami, lebih dekat diserap menjadi mantou. Di sisi lain, potensi kekayaan diftong /ou/ atau [ow] bahasa Indonesia juga bisa dimanfaatkan.
Inti dari tulisan ini, penyerapan kata yang berupa adaptasi disesuaikan dengan sistem ejaan dan fonotaktik bahasa Indonesia dengan berdasarkan data. Kelak akan terbentuk pola dalam setiap penyerapan dan pola ini harus diterapkan pada setiap kata serapan bergejala sama demi konsistensi.