Literasi Keuangan sejak Dini dalam Kurikulum Sekolah
Saat muda, kita masih sehat dan punya waktu, tetapi belum punya uang. Saat dewasa dan meniti karier, kita mulai punya uang dan masih sehat, tetapi tidak punya cukup waktu karena pekerjaan. Saat pensiun, sudah tak sehat.
Oleh
RICO USTHAVIA FRANS
·5 menit baca
Sepanjang hidup kita ada tiga hal penting menyertai: waktu, kesehatan, dan uang. Sayangnya, kebanyakan dari kita hanya bisa memiliki dua dari tiga hal itu di setiap fase kehidupan kita. Saat masih muda, kita masih sehat dan memiliki waktu, tetapi belum mempunyai uang.
Saat kita dewasa dan meniti karier, kita mulai memiliki uang dan masih sehat, tetapi tidak mempunyai banyak waktu karena tersedot pekerjaan. Saat pensiun, kita memiliki cukup uang dan waktu, tetapi sudah tak sehat lagi. Agar bisa memiliki ketiganya, kita harus berinvestasi dalam kesehatan, keuangan, juga menjaga keseimbangan waktu untuk kerja, keluarga, dan pribadi.
Mengingat pentingnya pengelolaan waktu, kesehatan, dan uang, pemerintah seyogianya memasukkan pendidikan kesehatan dan keuangan ke dalam kurikulum pendidikan kita.
Saat pensiun, kita memiliki cukup uang dan waktu, tetapi sudah tak sehat lagi. Agar bisa memiliki ketiganya, kita harus berinvestasi dalam kesehatan, keuangan, juga menjaga keseimbangan waktu untuk kerja, keluarga, dan pribadi.
Kurikulum saat ini membekali anak-anak kita dengan berbagai pelajaran, tetapi kedua aspek penting dalam kehidupan nyata itu tak diajarkan dengan memadai. Saat lulus sekolah dan beranjak dewasa, mereka ibaratnya diceburkan ke kolam dunia nyata dan dibiarkan belajar berenang sendiri atau tenggelam.
Sekarang, di sekolah memang sudah ada pendidikan kesehatan jasmani. Akan tetapi, materinya lebih banyak tentang olahraga. Pendidikan untuk membiasakan hidup sehat sejak dini tampaknya masih perlu ditingkatkan, mulai dari kebiasaan menyikat gigi, mandi, berolahraga, sampai menjaga asupan masakan. Tidak hanya berfokus kepada teori, tetapi juga pemahaman dan penerapan hal-hal praktis.
Banyak dari kita, sampai dewasa pun tidak memahami fungsi organ-organ tubuh dengan baik. Pemahaman tentang makanan yang sehat dan yang jahat juga perlu ditingkatkan. Kebanyakan orang tahu tentang bahaya kolesterol, tetapi pemahaman tentang dampak kelebihan karbohidrat dan gula sangatlah minim.
Gaya hidup kita sudah berubah, tidak banyak lagi memerlukan kegiatan fisik, tetapi pola makan tidak disesuaikan dan waktu untuk berolahraga hampir tidak ada. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi obesitas, penyakit gula, dan turunannya. Orang baru mempelajari soal ini setelah terkena penyakit.
Pendidikan kesehatan berikut penerapannya di sekolah sejak dini sebagai bagian dari kurikulum akan sangat membantu untuk mempersiapkan pola pikir dan pola hidup generasi muda yang sehat di masa depan.
Usaha semacam itu bersifat reaktif dan sedikit terlambat. Hal ini ibarat menggelar karpet di seluruh permukaan bumi agar kaki anak-anak kita tidak menginjak duri.
Pendidikan keuangan
Sejalan dengan hal itu, aspek kedua yang sangat perlu masuk ke dalam kurikulum kita adalah pendidikan keuangan. Sebulan lalu, pada seminar teknologi finansial tentang pinjaman antarpihak (peer-to-peer lending), saya ditanya tentang perlunya mitigasi oleh regulator supaya masyarakat tidak terjerat pinjaman daring.
Menurut saya, Otoritas Jasa Keuangan dapat saja (dan memang perlu) mengeluarkan peraturan perlindungan konsumen yang cukup ketat bagi pelaku industri dan bersama dengan mereka melakukan edukasi konsumen.
Meski demikian, usaha semacam itu bersifat reaktif dan sedikit terlambat. Hal ini ibarat menggelar karpet di seluruh permukaan bumi agar kaki anak-anak kita tidak menginjak duri. Cara yang lebih tepat adalah memberikan sandal kepada anak-anak kita sehingga kaki mereka tidak terluka ke mana pun mereka pergi.
Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla berpidato tentang dominasi orang-orang Tionghoa di bidang ekonomi. Terlepas dari polemik dan unsur politis, kenyataannya memang demikian. Kebanyakan warga etnis Tionghoa sejak kecil sudah dididik mengenai uang dan bisnis. Maka, saat dewasa, kemampuan mereka di bidang itu secara umum lebih unggul.
Stereotip serupa melekat pada orang-orang Padang yang umumnya dinilai pandai berdagang. Mereka pandai berdagang bukan karena faktor suku dan genotipe, melainkan karena pola pikir, pola hidup, serta pendidikan yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan sejak dini.
Saya teringat film Trading Places saat Eddie Murphy yang semula gelandangan ”bertukar tempat” masuk ke kalangan elite dan bisa mencetak sukses. Situasi ini menggambarkan bahwa pola pikir dan kesuksesan seseorang bukan ditentukan oleh ras atau faktor genetik, tetapi lebih karena faktor pendidikan dan lingkungan.
Oleh karena itu, jika kita menginginkan generasi penerus yang mampu mengelola keuangan dengan baik, kita harus mulai memberikan pendidikan keuangan sejak dini. Pemerintah bisa merekayasa hal ini dengan cara memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan.
Mereka pandai berdagang bukan karena faktor suku dan genotipe, melainkan karena pola pikir, pola hidup, serta pendidikan yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan sejak dini.
Pendidikan serupa diterapkan di Jepang, misalnya. Anak-anak di Jepang diajari disiplin dan mandiri sejak dini. Anak-anak kita pun sejak sekolah dasar perlu diajari konsep menabung, menghindari utang yang tidak perlu, dan memiliki gaya hidup keuangan yang sehat dengan tidak besar pasak daripada tiang.
Di SMA, pendidikan tentang pengelolaan keuangan dan kewirausahaan bukan hanya untuk siswa jurusan ilmu sosial, tetapi juga untuk siswa semua jurusan. Saat mereka menjadi dokter, insinyur, atau apa pun, mereka akan memerlukan keahlian keuangan dasar tersebut. Secara bertahap, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang investasi, kewirausahaan, dan pentingnya asuransi sebagai bagian dari proteksi masa depan.
Kita sering kali baru sadar berasuransi saat beranjak tua. Padahal, selain lebih mahal, asuransi mungkin saja juga sudah tidak bisa lagi terbeli karena faktor umur atau sudah telanjur terkena penyakit.
Pendidikan keuangan yang dilakukan secara terstruktur sejak dini akan membentuk model mental keuangan yang kuat dan sehat setelah dewasa.
Pendidikan keuangan yang dilakukan secara terstruktur sejak dini akan membentuk model mental keuangan yang kuat dan sehat setelah dewasa. Dengan demikian, kasus seperti dialami mahasiswa di Bogor yang beberapa waktu lalu terjebak penipuan pinjaman daring atau kasus-kasus terkait skema investasi ponzi ataupun asuransi bodong bisa dihindari.
Memasukkan aspek pendidikan kesehatan praktis dan pengelolaan keuangan ke dalam kurikulum memerlukan kemauan politik. Jika tantangannya adalah biaya, selain dari anggaran negara, industri kesehatan dan keuangan juga bisa membantu sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka. Kalau perlu, pemerintah dan regulator terkait dapat menerapkan kewajiban bagi mereka untuk menyisihkan dana bagi program pendidikan di dua aspek tersebut sebagai bagian dari cost of doing business.
Pendidikan dini tentang kesehatan dan keuangan penting. Seperti kata Konfusius, ”If your plan is for one year, plant rice. If your plan is for ten years, plant trees. If your plan is for one hundred years, educate children.”
*Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society