Penetapan kebijakan pelarangan penggunaan plastik penuh tarik ulur, sama halnya pengurangan rokok, dan korporasi bermain di balik itu dengan kekuasaan uangnya.
Oleh
Sumantoro Martowijoyo
·3 menit baca
Pencemaran plastik menjadi momok di seluruh dunia, demikian pembuka artikel ”Terobosan Pengolahan Sampah Plastik” (Kompas, 5/6/2023).
Disebutkan di situ bahwa pada 2016, jumlah plastik yang mencemari laut mencapai 19-23 juta metrik ton. Limbah plastik telah membunuh 1 juta burung laut serta 100.000 mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan dalam jumlah besar setiap tahun.
Kenyataan di Indonesia, penyebaran plastik justru semakin marak. Kemasan plastik dalam segala bentuk dan ukuran ditemukan di hampir semua toko dan rumah, dan kita pun terbiasa menggunakannya untuk segala keperluan. Tak pernah lagi ditemui orang pulang selamatan membawa besek bambu, melainkan besek styrofoam dengan sekat-sekat plastik di dalamnya.
Di banyak tempat di Jabodetabek, tas keresek tidak lagi disediakan oleh supermarket, tetapi ditawarkan tas belanja yang ramah lingkungan seharga Rp 2.000 yang masih dianggap agak mahal. Di beberapa kota di luar Jabodetabek kantong plastik masih ditawarkan dengan membayar ekstra hanya Rp 200.
Bagi pembeli yang terbiasa menggunakan untuk membuang sampah, jumlah itu tidak berarti. Bukan pelarangan plastik yang terjadi, melainkan justru penyebaran plus rezeki ekstra bagi supermarket! Penetapan kebijakan pelarangan penggunaan plastik penuh tarik ulur, sama halnya pengurangan rokok, dan korporasi bermain di balik itu dengan kekuasaan uangnya.
Pada masa penulis belajar S-2 di kota Tucson, Arizona, AS, 1982-1984, tidak ada tas keresek di supermarket. Semua menggunakan brown-bags (kantong kertas berwarna coklat) sehingga kita harus memeluknya jika belanjaan cukup banyak. Kenapa pemerintah tidak mendorong pabrik-pabrik kertas memproduksi brown-bags dan mengharuskan semua toko menggunakannya?
Tucson pula yang memelopori daur ulang plastik dengan teknologi yang cukup sederhana: menggunakan kompresor dan uap untuk memadatkan sampah plastik dan mencetaknya menjadi bata (Kompas, op cit). Pagar bata pun menghias banyak gedung, termasuk Universitas Arizona, kampus di padang pasir itu!
Pesawat Air Asia mendarat di Bandara Juanda, 16-06-2006
Karena pembatalan penerbangan akibat pandemi Covid-19, tiket yang sudah saya beli diubah menjadi saldo kredit (credit account) di aplikasi AirAsia pada 20 Mei 2020 sekitar Rp 28 juta.
Saya pernah menggunakan saldo tersebut pada 23 Maret 2022 sebesar Rp 11 juta. Sisa saldo sekitar Rp 16 juta.
Ketika saya periksa pada hari Sabtu, 10 Juni 2023, ternyata secara sepihak dinyatakan kedaluwarsa pada 20 Mei 2023. Tidak bisa saya gunakan. AirAsia telah merampas uang konsumen yang dititipkan dalam bentuk saldo kredit tanpa pemberitahuan.
Saldo kredit berbeda dengan poin hadiah (reward point). Saldo kredit adalah uang milik konsumen, sementara poin hadiah adalah bonus atau insentif dari perusahaan kepada konsumen. Perusahaan berhak menetapkan kedaluwarsa pada poin hadiah, tetapi tidak untuk saldo kredit.
Tindakan AirAsia merampas uang konsumen (dalam kasus saya mencapai belasan juta rupiah) tersebut tidak etis dan berpotensi melanggar hukum. Saya telah mencoba menghubungi saluran layanan konsumen AirAsia di Twitter dan Whatsapp, tetapi hanya bertemu robot yang menjawab sesuai template.
Saya menunggu itikad baik AirAsia untuk menyelesaikan masalah ini.
Artikel ”Buaya Keroncong”-nya Guntur (Kompas, 15/6/2023) menunjukkan kejujurannya dalam berkisah tentang ayahnya.
Namun, apakah ia tidak salah mengatakan bahwa Nabi Musa dengan tongkatnya dan atas mukjizat Allah membelah Laut Hitam? Yang memisahkan Mesir dengan Gurun Sinai kan Laut Merah? Guru katekismus kami dulu menyebutnya Laut Tengah (Middellandsche Zee). Mana yang benar?