Siapkan Dana Pensiun lewat Investasi Jangka Panjang
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mendapatkan dana Rp 8 miliar? Salah satu caranya dengan membeli saham secara konsisten. Tentu saja saham yang dibeli harus berkinerja baik dan memberikan imbal hasil yang bagus.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·4 menit baca
Hingga Mei 2023, jumlah investor di pasar modal mencapai 11 juta orang. Jumlah ini meningkat 7 persen dibandingkan pada awal tahun 2023 yang sebanyak 10,3 juta orang.
Jumlah investor saham dan surat berharga lainnya naik 7,12 persen menjadi 4,75 juta dibandingkan awal tahun. Jika dihitung mundur ke tahun 2020, jumlah investor saham dan investor surat berharga lainnya naik tiga kali lipat. Tiga tahun lalu jumlahnya masih 1,69 juta investor.
Sayangnya, walaupun jumlah investor sudah bertambah banyak, pemahaman tentang investasi dan pasar modal tidak cukup bertambah. Hal ini terlihat dari survei Otoritas Jasa Keuangan, yakni tingkat pemahaman menurun tipis dari 4,92 persen menjadi 4,11 persen.
Jika investor ritel ’angkatan korona’ ini masih ingin mendapat manfaat dari perdagangan saham, mereka harus mengubah strateginya.
Selain itu, situasi pandemi yang sudah berangsur pulih membuat investor yang sebagian besar merupakan pengusaha, pegawai negeri dan swasta, serta guru, mulai sibuk dengan kegiatan sehari-hari.
Mereka mulai mengenal perdagangan saham pada masa pandemi dan melakukan jual beli saham di sela pekerjaan utama. Dengan mulai kembali bekerja penuh di kantor, hal itu sulit untuk dilakukan.
Jika investor ritel ”angkatan korona” ini masih ingin mendapat manfaat dari perdagangan saham, mereka harus mengubah strateginya. Salah satu caranya, dengan melakukan investasi jangka panjang. Misalnya, untuk tujuan persiapan dana pensiun.
Katakanlah, seorang investor saat ini berusia 28 tahun dan memerlukan dana pensiun bulanan sebesar Rp 10 juta saat usianya 60 tahun kelak. Terlebih dulu ia harus menghitung nilai Rp 10 juta pada 32 tahun mendatang.
Inflasi merupakan faktor yang mengikis nilai uang. Dengan asumsi rerata inflasi 5 persen per tahun, dana Rp 10 juta saat ini akan setara dengan Rp 46,7 juta pada 32 tahun mendatang. Dengan demikian, untuk kebutuhan satu tahun diperlukan dana 12 x Rp 46,7 juta = Rp 560 juta.
Dengan asumsi tingkat inflasi 5 persen per tahun, instrumen investasi yang digunakan harus memberikan imbal hasil di atas 5 persen, bahkan sebaiknya minimal 7 persen per tahun agar daya beli tetap terjaga.
Untuk mendapatkan imbal hasil Rp 560 juta per tahun, dibutuhkan modal Rp 8 miliar dengan imbal hasil 7 persen per tahun. Barulah target dana pensiun dapat dikatakan aman.
Namun, angka Rp 8 miliar bagi seorang anak muda berusia 28 tahun tampaknya menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Sebenarnya dengan asumsi si anak muda memiliki waktu 32 tahun untuk menabung, maka kebutuhan Rp 8 miliar tersebut bukanlah hal yang mustahil. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mendapatkan dana Rp 8 miliar tersebut?
Salah satu caranya adalah dengan membeli saham secara konsisten. Tentu saja saham yang dibeli harus merupakan saham dengan kinerja bagus dan memberikan imbal hasil yang bagus pula. Agar tampak nyata ambil contoh saham Bank BRI.
Melihat data yang ada, pada lima tahun terakhir saham BRI memberi imbal hasil hingga 52 persen atau sekitar 10 persen per tahun. Jika target dana Rp 8 miliar, tiap bulan investor harus menyisihkan dana Rp 2,8 juta.
Contoh lain saham Bank BCA yang dalam lima tahun terakhir memberikan imbal hasil 92,55 persen.
Apakah harus banget menabung Rp 2,8 juta sebulan? Bagaimana kalau gaji hanya Rp 8 juta per bulan? Kuncinya adalah memulai sejak dini. Misalnya, dari gaji Rp 8 juta per bulan dapat disisihkan 10 persennya atau Rp 800.000 per bulan. Ini sudah merupakan awal yang baik. Jumlah investasi ini dapat ditingkatkan seiring pertambahan penghasilan.
Investasi jangka panjang
Dari sudut lain, kalau dihitung mundur, harga saham BRI ketika pertama kali masuk bursa tahun 2003 sebesar Rp 875 per saham. Ketika itu, minimal pembelian sebanyak 1.000 lembar saham. Jika seorang investor ingin membeli saham tersebut dengan modal minimal, berarti dana yang harus dikeluarkan sebesar Rp 875 x 1.000 = Rp 875.000.
Hingga saat ini, BRI sudah dua kali memecah saham, yakni pada tahun 2011 dengan rasio 1:2 dan tahun 2017 dengan rasio 1:5. Dengan demikian, jumlah lembar saham sang investor menjadi 2 x 1.000 = 2.000 unit dan lalu menjadi 2.000 x 5 = 10.000 unit saat pemecahan kedua kali.
Harga saham BRI saat penutupan perdagangan saham akhir pekan lalu sebesar Rp 5.550 sehingga nilai pasar saham sang investor kini menjadi 10.000 x Rp 5.550 = Rp 55,5 juta dari modal awal Rp 875.000 dalam jangka waktu 20 tahun.
Nilai tersebut belum memperhitungkan dividen yang diberikan oleh BRI. Dihitung-hitung, investasi jangka panjang ini sudah berkembang sekitar 6.500 kali lipat. Tentu saja, kinerja masa lalu belum tentu mencerminkan kinerja di masa depan.
Contoh lain saham BCA yang masuk bursa pada tahun 2000 dengan harga Rp 1.400 per saham. Jika diasumsikan seorang investor membeli 1.000 saham BCA, modal yang harus ia keluarkan sebesar Rp 1,4 juta.
Pemecahan saham BCA sudah dilakukan empat kali. Dengan begitu, dari jumlah saham awal 1.000 unit akan menjadi 40.000 unit setelah pemecahan saham yang terakhir.
Pada akhir pekan lalu harga saham BCA Rp 9.050 per saham. Dengan demikian, nilai pasar saham milik sang investor menjadi 40.000 x Rp 9.050 = Rp 362 juta dari investasi awal Rp 1,4 juta pada tahun 2000.
Selama 23 tahun, investasi jangka panjang ini telah bertumbuh 26.000 kali. Perhitungan ini masih belum memasukkan penerimaan dari dividen setiap tahunnya.
Jelaslah, melalui instrumen investasi yang tepat, target mendapatkan dana pensiun Rp 8 miliar bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai.