”Memule” Mochtar Pabottingi Amalia: Berilmu dan Beramal
Mochtar Pabottingi teladan bagi generasi masa depan. Ia berilmu dan beramal, memiliki komitmen pada kejujuran kritis, seorang Muslim moderat dan tidak terbeli, serta prototipe intelektual dengan laku asketisme.
Artikel kenangan atas kepergian Mochtar Pabottingi—yang berpulang pada 4 Juni lalu—ini terpicu oleh dua Surat kepada Redaksi Kompas, 9 Juni 2023. Keduanya berjudul sama, ”Mochtar Pabottingi”.
Dua hal diingatkan, keteladanan asketisme intelektual dan ilmuwan-cendekiawan yang dengan itu beramal bagi publik. Amalia, artinya berilmu dan beramal, nama yang diberikan Mochtar Pabottingi (MP) untuk anak perempuan Eduard Lukman.
Memule (mengenang yang sudah meninggal) menegaskan keteladanan seorang MP dengan merunut jejak perjalanan hidupnya, seorang anak Bugis mengindonesia. Menyampaikan jatuh-bangun MP dalam pencarian diri, dari seorang lulusan sekolah menengah kejuruan di Makassar.
Setahun kuliah sosial politik, hijrah ke sarjana sastra Inggris di perguruan tinggi yang sama, Universitas Hassanudin, hingga sarjana muda. Lalu hijrah ke sastra Inggris di UGM; studi doktoral ilmu politik dari Universitas Hawaii.
Baca juga: Panggilan Kerinduan
Aktivis-intelektual
Awalnya dikenal sebagai penyair, penulis cerpen, wartawan, demonstran semasa mahasiswa di UGM melawan pemerintahan Soeharto; pada akhirnya dikenal luas sebagai peneliti, ilmuwan-cendekiawan dengan komitmen kebangsaan, demokratisasi dan menginsinuasi orang berpikir waras dan jujur. Kepindahan ke UGM dan studi lanjut berikutnya, sampai doktor, semua berkat beasiswa karena prestasi akademik.
Dengan wilayah penjelajahan yang beragam, dengan lingkungan kerja yang konstruktif (LIPI, sekarang di bawah BRIN), MP sampai meninggal aktif berkarya, eksis dengan komitmennya sejak mahasiswa.
Berani, jujur, berilmu tetapi rendah hati, tidak pernah terlibat dalam politik praktis, tetap hidup sederhana bersama keluarganya. Sebagai peneliti dengan jabatan struktural terakhir Kepala Pusat Litbang Politik dan Kewilayahan LIPI sejak 1994, gelar Peneliti Ahli (profesor) diperoleh tahun 2000.
Menghidupi laku aktivisme-intelektual, seperti dicontohkan beberapa cendekiawan-ilmuwan Indonesia. Berilmu+beramal=amalia.
Dari gagasan-gagasan inspiratif yang disampaikan tertulis dalam ratusan—mungkin ribuan—artikel sejak remaja hingga meninggalnya, dari buku-buku yang ditulis dan makalah ceramah dalam berbagai kesempatan, mengenai rekam jejak MP ada dua sumber pokok yang komplementer.
Baca juga: Pengkhianatan, Kegelisahan Mochtar
Dua sumber itu menyampaikan secara jujur, jernih, menarik, komitmennya pada kebangsaan dan demokratisasi; perjuangan seorang pemikir kritis. Keduanya bukan memoar, melainkan otobiografi disertai sikap jujur dan tidak naif.
Ditulis dengan diksi dan nuansa sastrawi penuh suspensi yang bisa membuat pembaca terhenyak, tergelak, dan terenyuh. Dua sumber itu, buku kisah sejati berjudul Burung Burung Cakrawala (Gramedia Pustaka Utama, 2013); dan artikel berjudul ”Dari Rumah, Karakter, Dari Buku, Cakrawala…” yang terhimpun dalam bunga rampai Bukuku Kakiku (Penerbit Buku Kompas, 2004).
Sebuah artikel yang dia sebut miniatur otobiografi dan kemudian sebagian besar isinya menjadi bahan kisah sejati. Keduanya narasi diri penjelajahan diri menembus cakrawala lewat kegelisahan yang selalu dia refleksikan dengan payung kecintaan pada Tanah Air.
Rumah, pengalaman, buku
Kedua sumber tertulis pokok itu menyampaikan secara jujur, jernih, detail disertai diksi-diksi yang kreatif. Kisahnya merupakan pembentukan/pengembangan diri seorang bocah Bugis kelahiran Bulukumba, Berreba, Sulsel—tempat pinisi dibuat—dalam jalinan tiga internalisasi yang terus berevolusi sepanjang hidup.
Tiga internalisasi itu ialah rumah, lingkungan-pengalaman, dan buku. Lingkungan pengalaman pertama adalah keluarga yang membentuk karakter MP di kemudian hari. Cakrawala lebih terbuka lewat Bahasaku, buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah rakyat waktu itu, tahun 1950-an. Cerita-cerita tentang Indonesia membuka cakrawala bahwa Indonesia bukan Bulukumba, bahasa komunikasi yang dipakai bukan bahasa Bugis, melainkan bahasa Indonesia.
Menulis dan membaca buku menjadi kegemaran, pemerkayaan dan pendalaman masalah.
Gaya berkisah yang penuh suspensi (kejutan) seperti novel, sarat terbaca di dalamnya, selain juga referensi dari puluhan buku karya para penulis besar tingkat dunia. Taruh contoh tentang Nahdia, salah satu peserta kursus bahasa Inggris di IEC di samping Lapangan Gambir, di mana MP mengajar.
Dia menaruh simpati pada MP dengan dalih meminjamkan payung selagi hujan (hlm 135). Di kemudian hari, Nahdia menjadi pendamping hidup MP (hlm 141), ibu keempat anak mereka. Dalam perjalanan hidup kemudian, MP terkesan dan terharu dengan beberapa peristiwa dengan kemuliaan dan keluhuran Nahdia yang asli Sumatera Barat itu.
Kejujuran dalam menolak secara halus ajakan ”laku lepas” dia kisahkan terbuka. Di antaranya ketika diajak seorang mahasiswi cantik dan aktivis di Yogyakarta untuk menginap di Kaliurang, MP menolak secara halus dan elegan diajak teman sesama mahasiswa untuk ”laku lepas” (istilah MP).
Menolak halus ketika ada rekan mahasiswi sesama penerima beasiswa dari Alaska, malam-malam seusia pesta Halloween mengetuk pintu kamarnya untuk tidur bareng. Bisa saja orang menganggap munafik atau naif, tetapi bagi MP itu adalah pilihan. Dan, ia lulus, terbantu ketika istri dan ketiga anaknya tinggal bersama di AS.
Sebuah kisah sejati, narasi diri yang sekaligus menunjukkan kekayaan bacaan yang pernah dilahapnya sejak mahasiswa sampai meninggal. Begitu melankolis-romantis ia melukiskan kemuliaan hati istri dan keempat anaknya dengan kalimat-kalimat reperkusif ”sambil menitikkan air mata”.
Di antaranya ketika bertemu pertama kali Nahdia dan ketiga anak mereka setelah empat bulan mengikuti research intern di East West Centre, Honolulu, tahun 1978, MP menulis, ”Yang kupeluk paling lama adalah Nahdia, istriku. Ketika itu tubuhnya sangat kurus. Berat badannya hanya sekitar 45 kilo…. Ketika mendekap tubuhnya yang kurus baru kusadari bahwa secara tak langsung andilku pun tak kurang dalam membuatnya demikian (hlm 169).”
MP mengakui Kota Makassar adalah kota tempatnya bertumbuh remaja dan dewasa. Di sana cakrawala dan imaginasinya pertama tersingkap serentak.
Menulis dan membaca buku menjadi kegemaran, pemerkayaan dan pendalaman masalah. Makassar dia sebut sebagai kembang api cakrawala (Bukuku Kakiku, hlm 206). Sementara Yogyakarta, kota berikutnya, membuat cakrawala semakin terbuka. Enam tahun tinggal di Yogyakarta sebagai mahasiswa UGM, MP menggumuli dunia romantisisme mahasiswa: penulis, pemain teater, pemburu buku-buku di loakan, dan aktivis plus demonstran.
Di Yogyakarta pula, awal kariernya sebagai penulis yang kritis mulai berkembang. MP mengakui media Kompas, Budaya Djaja, Tempo, dan Basis yang hampir bersamaan mengangkatnya sebagai penulis tingkat nasional (hlm 99).
Sementara ketika di Jakarta, terutama sebelum bekerja di LIPI, mencari bahan bacaan, pendalaman masalah dan pengembangan wawasan, di samping sudah ada buku-buku ilmiah karya para penulis besar, MP bolak-balik antara kantor Titian, Prisma, Perpustakaan MAWI (kini KWI), dan Taman Ismail Marzuki (hlm 146).
Senyampang itu, dengan Yogyakarta dalam dirinya kemudian tersedia seperangkat nilai Jawa untuk menjadi cermin atau timbangan bagi sistem nilai Bugis yang menghunjam sebelumnya. Berkat adonan kimiawi dan akumulasi pengalaman serta pemahaman kultural intelektual, MP merasa semakin bangga menjadi putra Tanah Air, Indonesia (Burung Burung Cakrawala, hlm 128).
Burung yang menembus cakrawala itu tetap setia kembali ke sarang. Tinggal di AS bersama keluarga memang membuat cakrawala bagi MP terbuka luas dan menjadi salah satu cendekiawan sosial politik yang disegani, jujur, kritis tidak terbeli oleh kekuasaan, tetapi selalu menyampaikan harapan bagi masa depan Indonesia (Penghargaan Kompas, Cendekiawan Berdedikasi 2008-2016, Penerbit Buku Kompas, 2016, hlm 119-123).
Rumah yang membentuk awal karakter, lingkungan pengalaman kehidupan dan buku-buku merupakan jalinan internalisasi Mochtar Pabottingi.
"Kejutan" yang gagal
Dalam reriungan rapat organ yayasan Pustaka Obor Indonesia, 6 Juni 2023, Taufik Abdullah—seniornya di Leknas-LIPI—panjang lebar bercerita tentang MP. Di antaranya kisah tentang MP yang hijrah dari sastra ke bidang politik.
Ketika di LIPI, awalnya di Leknas, kemudian sekembali dari Hawaii di bidang sosial politik. Kartini Nurdin—ketua pengurus yayasan—memberi informasi, sebenarnya ada rencana dari staf MP memberi surprise (kejutan).
Bukan sebagai penugasan, Elisabeth dan kawan-kawan staf MP di LIPI diam-diam menerjemahkan disertasi MP di Universitas Hawaii. Terjemahan sudah selesai, diserahkan ke MP dimaksudkan sebagai ”kejutan” sekaligus permintaan mengedit dan mengizinkan diterbitkan sebagai buku. Rupanya MP merasa kurang sreg. Naskah terjemahan sudah dua tahun di tangan MP sampai meninggalnya.
Judul disertasi setebal 529 halaman itu Nationalism and Egalitarianism in Indonesia, 1908-1980. Probing the Problems of Discontinuity in Indonesian Political Discourses and Practices. Terdiri atas empat bagian besar dalam 11 bab.
Pada April 1989, selesai ujian disertasi di depan empat penguji serta belasan rekan mahasiswa sarjana Indonesia di Honolulu, MP dinyatakan lulus doktor dengan judiciummagna cum laude, setingkat lebih tinggi dari cum laude (dengan pujian) (hlm 313).
Untuk bahan belajar yang inspiratif, dalam dunia yang semakin paperless, alih-alih terjemahan itu bisa dalam e-book. Dengan demikian, penjelajahan menembus cakrawala, kegelisahan, komitmen pada kejujuran kritis, seorang Muslim moderat dan tidak terbeli, menjadi lebih terbuka dan lestari, prototipe laku asketisme intelektual, dan tidak berakhir di kolong tanah.
Menjadi teladan bagi generasi Indonesia masa depan. Membenarkan makna amalia, yang artinya berilmu dan beramal.
Pak Mochtar, terima kasih.
St Sularto,Wartawan Senior