Timur Tengah, Agama, dan Religiositas
Kenapa sebagian masyarakat Timteng menjadi ateis? Fenomena ateisme di Timteng sebetulnya sama dengan fenomena teisme di AS. Keduanya tak ada yang aneh karena sama-sama sebuah fenomena sosial yang lumrah.
Jagat maya belakangan ramai membicarakan fenomena ateisme di Timur Tengah, khususnya di negara-negara Arab. Hal ini menyusul laporan sebuah media yang mengutip hasil jajak pendapat, survei, dan laporan sejumlah lembaga tentang fenomena menurunnya populasi umat beragama di satu sisi, serta tren berkembangnya kelompok ateisme, agnotisisme, atau non-agama di pihak lain.
Ramainya respons publik itu tak lepas dari asumsi bahwa Timteng merupakan ”kawasan Islam” dan penghuninya merupakan pengikut agama yang taat dan bahkan fanatik.
Meskipun tentu saja ada banyak warga Timteng yang religius, mengidentikkan mereka dengan kesalehan dan ketaatan beragama tak selamanya akurat karena ada banyak warga yang tidak menjalankan ajaran agama secara ketat.
Pula, mengidentikkan mereka dengan Islam saja juga tidak akurat karena ada jutaan pengikut agama selain Islam, termasuk umat Kristiani. Timteng juga bukan hanya rumah bagi suku bangsa Arab, melainkan juga suku bangsa lain, seperti Persi, Kurdi, Yazidi, Druze, Yahudi, dan Amazigh.
Baca juga: Budaya di Timur Tengah, Agama di Indonesia
Temuan survei
Dari 40.000 responden penduduk Iran yang disurvei The Group for Analyzing and Measuring in Iran tahun 2020, 47 persen menyatakan telah beralih dari beragama ke ateis (atau minimal tak beragama).
Hasil survei BBC International (2019) menunjukkan tren serupa, yakni peningkatan persentase umat non-agama di Timteng secara umum dari 8 persen (2013) menjadi 13 persen (2019). Temuan International Religious Freedom Reports (2022) yang dirilis Pemerintah AS juga menunjukkan tren peningkatan persentase umat non-agama, khususnya di kalangan masyarakat Arab.
Dalam laporan yang dikeluarkan The Arab Barometer, sebuah lembaga jajak pendapat ternama di Lebanon, dari survei terhadap 25.000 warga setempat, 43 persen menyatakan mengalami ”kemerosotan kesalehan individu” alias merasa tak religius lagi.
Pada 2012, WIN/Gallup International juga mengeluarkan laporan mengejutkan: dari 500-an warga Arab Saudi yang disurvei dan diwawancarai, 19 persen menyatakan ”tidak religius” dan 5 persen menyatakan sebagai ateis.
Laporan ini menimbulkan respons beragam dari pemerintah dan juga tokoh masyarakat. Ada yang menyamakan ateisme dengan terorisme yang harus dihukum berat.
Namun, ada pula yang menawarkan jalan dialog, misalnya Profesor Yusuf al-Ghamdi dari Universitas Umm al-Qura, karena menganggap ateisme sebagai ”fenomena intelektual”, bukan ”fenomena perilaku” seperti radikalisme, sehingga perlu dihadapi secara intelektual.
Guna merespons fenomena munculnya ateisme, Universitas Islam Madinah dikabarkan pernah membuat lembaga atau pusat konsultasi yang khusus menangani masyarakat yang ragu terhadap agama mereka.
Sejumlah faktor
Kenapa sebagian masyarakat Timteng menjadi ateis? Pertanyaan ini sebetulnya cukup aneh karena ateisme, sebagaimana teisme, sejatinya merupakan fenomena universal yang bisa terjadi pada siapa saja dan etnik mana saja di dunia ini.
Fenomena ateisme di Timteng sebetulnya sama dengan fenomena teisme di AS. Keduanya tak ada yang aneh karena sama-sama sebuah fenomena sosial yang lumrah, selain sebagai bagian dari proses perubahan individu yang biasa dan bisa terjadi pada siapa saja.
Brian Whitaker dalam bukunya, Arabs Without God: Atheism and Freedom of Belief in the Middle East, mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya ateisme di Timteng (dan Afrika Utara). Faktor itu antara lain (1) ketidaksinkronan antara ajaran normatif agama dan praktik pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari; (2) kekerasan dan pelanggaran hak-hak sipil yang marak di masyarakat; (3) proses modernisasi dan sekularisasi yang merambah kawasan Timteng/Afrika Utara sejak beberapa dekade silam.
Selain itu, (4) teknologi internet dan media sosial memudahkan masyarakat mencari berbagai sumber informasi dari mana saja tanpa censorship dari pemerintah ataupun kelompok agama, sekaligus berinteraksi dengan siapa saja tanpa batas negara, etnik, dan agama.
Temuan International Religious Freedom Reports (2022) yang dirilis Pemerintah AS juga menunjukkan tren peningkatan persentase umat non-agama, khususnya di kalangan masyarakat Arab.
Sebagian menuding pembaratan dan demokrasi sebagai penyebab munculnya ateisme dan menurunnya religiositas masyarakat. Yang lain mengarahkan jari telunjuk ke dunia pendidikan Barat yang telah mendidik masyarakat Timteng menjadi liberal-sekuler.
Proses perubahan atau transformasi dari teisme ke ateisme bisa karena hilangnya kepercayaan (trust) terhadap agama setelah melihat berbagai tindakan buruk dan tak manusiawi yang dilakukan (sebagian) kelompok agama (radikalisme, terorisme, vandalisme, dehumanisme, dan sebagainya).
Namun, bisa juga karena proses intelektualisasi dan rasionalisasi atas teks, ajaran, doktrin, dan diskursus agama yang dipandang tak sesuai (atau bertentangan) dengan spirit sains, common sense, pengetahuan, kemodernan, dan perubahan zaman. Kejenuhan dalam menjalankan tumpukan dogma agama yang tidak berbanding lurus dengan nasib dan pengalaman hidup juga bisa menjadi penyebab munculnya ateisme.
Akar sejarah
Jika melihat sejarah Timteng, ateisme sebetulnya bukan sesuatu yang baru yang muncul belakangan akibat infiltrasi (penyusupan) atau penyerbuan budaya asing (Barat) melalui proyek demokrasi, modernisasi, atau sekularisasi seperti dituduhkan sejumlah pihak.
Fenomena ilhad yang bisa dimaknai sebagai ateisme, apostasi (pemurtadan), atau zindik sudah sangat tua dalam sejarah Timteng. Sarah Stroumsa dalam Freethinkers of Medieval Islam menulis bahwa pada abad ke-9 ada seorang teolog Syiah Zaidiyah dari Semenanjung Arab, Al-Qasim bin Ibrahim al-Rassi, yang menulis sebuah karya (Radd ’ala al-Mulhid) yang menyerang kelompok kontra-agama, yakni ateis, non-teis, dan zindik (heretics).
Dua sarjana Timteng masa lampau (abad ke-9/10) yang sering dikaitkan dengan gagasan ateisme adalah Ibnu al-Rawandi dan Abu Bakar al-Razi. Keduanya dikenal sebagai pengkritik ”nomor wahid” doktrin-doktrin keagamaan, konsep wahyu, atau gagasan kenabian (prophecy) seraya menganjurkan optimalisasi akal-pikiran dalam memahami fenomena sosial-kultural di sekeliling kita.
Meski mendapat tantangan sana-sini dari berbagai kelompok agama dan politik, gagasan dan praktik ateisme terus berlanjut di era modern Timteng. Misalnya, pada 1930-an, Mesir pernah dikejutkan dengan munculnya Ismail Adham yang menulis buku Limadza ana Mulhid (Mengapa Saya Ateis?). Tak pelak buku ini menggegerkan publik dan memunculkan reaksi panas dari berbagai kelompok agama.
Sementara itu, publik Arab Saudi juga dikejutkan dengan munculnya Abdullah al-Qassimi (1907-1996), salah satu penulis-intelektual kontroversial dan pembela gigih ateisme, yang menariknya lahir di Buraidah, salah satu pusat (sarang) kelompok Wahabi. Sebelum pindah haluan menjadi ateis, ia pernah menjadi advokat Salafisme paling getol.
Meski mendapat tantangan sana-sini dari berbagai kelompok agama dan politik, gagasan dan praktik ateisme terus berlanjut di era modern Timteng.
Prospek masa depan
Apakah ateisme di Timteng akan terus eksis di masa depan? Sebagai bagian dari dinamika individual, proses intelektual, dan perubahan sosial umat manusia, ateisme (sebagaimana teisme) akan selalu ada di tengah masyarakat. Ateisme tak akan mati meski kelompok teis berusaha membunuh dan menguburnya. Demikian pula sebaliknya, teisme tak akan punah meski kelompok ateis berusaha menyerang dan melumatkan.
Teisme-ateisme akan selalu hadir di masyarakat mana pun, termasuk Timteng, meski relasi keduanya jarang harmonis dan sering main ”petak umpet”.
Di masyarakat yang didominasi kaum teis (seperti Timteng dan Indonesia), banyak kelompok ateis yang menyembunyikan identitas mereka karena, jika tidak, akan mendapat hukuman serius dari penguasa politik dan agama. Sebaliknya, di masyarakat yang didominasi kelompok ateis, kaum teis biasanya juga tidak menunjukkan identitas mereka secara vulgar di ruang publik.
Mampukah di masa depan keduanya hidup berdampingan secara damai dan harmonis penuh respek dan toleransi tanpa diiringi rasa takut dan curiga atau saling menegasikan? Bisa, jika negara mengadopsi prinsip sekularisme yang tak mempermasalahkan kelompok agama maupun non-agama atau teisme dan ateisme. Alternatif lain, atas dasar perikemanusiaan, negara memberikan jaminan/perlindungan politik dan hukum terhadap kelompok ateis/teis. Namun, dalam konteks Timteng, sepertinya ini sulit terwujud.
Sumanto Al Qurtuby,Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals