Polemik Jalur Sepeda
Badan jalan semakin sempit karena sebagian jalan dibagi dengan jalur khusus bus Transjakarta, jalur khusus sepeda, dan termakan trotoar yang diperlebar. Hasilnya adalah kemacetan arus lalu lintas.
Sulit menepis adanya polemik keberadaan jalur khusus sepeda di DKI Jakarta saat ini. Kontroversi muncul karena proyek beranggaran besar itu faktanya tak banyak bermanfaat.
Penghargaan datang dari komunitas pesepeda, karena jalur sepeda mendorong orang bersepeda dengan aman, hemat bahan bakar, dan bersahabat dengan lingkungan. Namun, lebih banyak lagi yang mengkritik karena jalur sepeda memakan badan jalan, ada pembatas sehingga tidak bisa dilewati kendaraan lain, dan mubazir karena nyaris tidak pernah dilewati pengendara sepeda.
Adakah kajian yang menyimpulkan Jakarta perlu jalur sepeda sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membuat jalur khusus sepeda?
Kita jadi ingat saat dulu pernah ada kebijakan di Jakarta bahwa sepeda motor harus lewat jalur lambat! Pada jalan yang ada dipasang pembatas yang memisahkan antara jalur cepat dan lambat, pengendara sepeda motor yang masuk jalur cepat dinyatakan melanggar dan bisa langsung ditilang oleh polisi.
Jadi jalur cepat, khususnya jalan protokol, hanya diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat ke atas. Untuk sepeda motor atau angkutan umum jenis IV, seperti bemo, bajaj, helicak, dan mobet, disediakan prasarana di jalur lambat. Khusus sepeda, pada tahun 1970-an rasanya malah tidak pernah disebut-sebut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kini, badan jalan semakin sempit karena sebagian jalan dibagi dengan jalur khusus bus Transjakarta, sebagian lagi untuk jalur khusus sepeda, dan sebagian lagi termakan trotoar yang diperlebar. Hasilnya adalah kemacetan arus lalu lintas yang tidak terhindarkan. Sebab, jalan yang tersedia menjadi semakin sempit.
Kenyataan lain, puluhan sepeda yang disediakan berjajar di Halte Bus Harmoni, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, juga kurang mendapat sambutan. Sepeda-sepeda itu kusam akibat kepanasan dan kehujanan. Nyaris tidak ada warga yang memanfaatkan sepeda bersama ini.
Agaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membuat kajian yang menjadi dasar evaluasi jalur sepeda ini dan membuat kebijakan yang bersifat win-win solution untuk semua pemangku kepentingan.
A RistantoJatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Tes Antigen
Seorang tenaga media meletakkan hasil pengujian sampel warga dalam kegiatan swab antigen gratis di Lapangan drh Soepardi, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jumat (11/2/2022).
Pemerintah telah menghapus aturan wajib protokol kesehatan atau prokes, terutama dengan tidak mewajibkan lagi pemakaian masker berdasarkan surat edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Namun, dalam surat edaran tersebut tidak disebutkan tentang aturan wajib tes antigen/PCR.
Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah tes antigen/ PCR masih diwajibkan? Terlebih saat akan memasuki suatu lingkungan pemerintah seperti Sekretariat Negara (Setneg)?
Hal ini saya pertanyakan karena menurut pengalaman saya saat hendak mencek surat pengaduan yang telah saya kirimkan dua kali kepada Presiden Joko Widodo, saya diwajibkan membawa bukti tes antigen.
Saya mengirim surat pada 11 Mei 2023 dan 15 Mei 2023 tentang masalah kami yang terkatung-katung hingga 1,5 tahun. Petugas pengamanan dalam (pamdal) di pos jaga Setneg mengatakan kepada saya bahwa saya bisa saja masuk ke dalam Setneg untuk mencek surat pengaduan saya asalkan ada surat tes antigen.
Sebenarnya untuk mencek surat pengaduan, bisa juga dengan menelepon nomor telepon yang tertera di drop box. Namun, saat saya menelepon tidak ada yang mengangkat. Saya menelepon berkali-kali hingga Senin, 12 Juni 2023.
Kiranya melalui surat saya, pihak yang berwenang dapat membantu masalah yang dihadapi keluarga kami. Terima kasih atas perhatian dan bantuan semua pihak.
Boyke NainggolanPerumnas Klender, Jakarta Timur 13460
”Artificial Intelligence”
Tulisan William Chang, ”Lika-liku Seorang Penerjemah”, (Kompas, 4/6/2023) berintikan, secanggih apa pun robot buatan manusia, tidak sanggup mengambil alih semua peran dan tugas manusia.
Tulisan Kristi Poerwandari (Kompas, 10/6/23) mengingatkan pembaca untuk terus berempati agar tetap menjadi manusia yang manusiawi di tengah fenomena cancel culture yang sering menghakimi sepihak di media sosial.
Di tengah derasnya arus perkembangan teknologi, kita bersyukur sekaligus waswas. Bersyukur karena kehidupan manusia dipermudah oleh keberadaan teknologi. Di sisi lain ada rasa waswas bahwa suatu saat manusia akan digantikan perannya oleh teknologi.
Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang saat ini menjamur, seperti ChatGPT, Bing, dan Google Bard, akan terus bertambah. Teknologi akan terus diperbarui mendekati sempurna.
Namun, secanggih-canggihnya teknologi, ia tidak berpribadi. Teknologi hanya dapat diprogram untuk merespons interaksi dengan manusia dengan cara tertentu.
Dengan demikian, manusia ditantang untuk lebih mengasah kecerdasan alamiahnya. Begitu banyak potensi manusia, yang asal tekun bisa optimal dikembangkan.
Berbagai ekspresi dan karya manusia adalah berharga. Tidak sepatutnya teknologi malah mendorong manusia untuk menjatuhkan manusia lain. Manusia juga tidak sepatutnya bergantung sepenuhnya pada teknologi. Teknologi diciptakan sebagai alat bantu.
Prajna Delfina DwayneJl Cipaku VI, Petogogan, Jakarta Selatan
Bencana AI
Robot sosial A 'Musio' AI (artificial intelligence) di sebuah jalan di Berlin, Jerman, September 2017 lalu. Robot ini bisa "berkomunikasi" dengan manusia.
Dalam kunjungan ke Uni Emirat Arab belum lama ini, pencipta ChatGPT sekaligus pendiri Open AI, Sam Altman, mengatakan bahwa bahaya AI bisa seperti nuklir. Risikonya sangat besar bila disalahgunakan, bisa menghancurkan kehidupan umat manusia.
Siapa menduga, kota Nagasaki dan Hiroshima di Jepang luluh lantak akibat bom nuklir yang dijatuhan AS dalam Perang Dunia II. Regulasi tentang nuklir saat itu belum dibuat sehingga mitigasi risiko terhadap penyalahgunaannya pun tidak dipersiapkan sebaik-baiknya. Ini adalah ilustrasi nyata dahsyatnya nuklir.
Peringatan Sam Altman sangat beralasan. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang begitu pesat tanpa diimbangi regulasi dan mitigasi membuat AI menjadi petaka.
Teknologi AI telah menciptakan mesin-mesin dengan kebisaan seperti manusia. AI ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, bisa mendatangkan manfaat dan mudarat, atau berkah dan musibah.
Teknologi AI saat ini telah memiliki pengguna lebih dari 100 juta orang. Angka ini dipastikan membengkak dalam beberapa bulan ke depan.
Penggunaan AI pun sudah merambah Indonesia dan mulai masif digunakan masyarakat luas. Platform ChatGPT, Google Bard, dan ChatBing sudah banyak dikenal dan digunakan masyarakat.
Ancaman terbesar sebuah produk teknologi adalah penyalahgunaan, bukan sekadar kemanfaatan yang didapat. Demikian pula dengan AI.
Lembaga internasional yang mengawasi dan mengendalikan penggunaan AI belum ada, sedangkan AI sudah beredar luas ke seluruh dunia.
Maka, tidak salah bila Italia dengan sigap melarang penggunaan produk kecerdasan buatan, minimal untuk enam bulan ke depan. Kekhawatiran rasional dan bisa dipahami.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita harus bergegas pula, bukan karena latah, menyiapkan antisipasi dan mitigasi risiko terhadap penggunaan AI. Sekecil apa pun regulasi yang mampu kita susun, bisa dipastikan bakal memberi manfaat besar dalam melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan dengan AI.
Budi Sartono SoetiardjoCilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung
Loper ”Kompas”
Keluhan pembaca mengenai kedatangan Kompas, yang biasanya pukul 06.30 menjadi 07.30 (Kompas, 12/6/2023) tentu ditindaklanjuti.
Cukup dengan meminta agen untuk memperbaiki pelayanan. Agen bisa menegur atau mengganti loper, maka selesailah persoalan.
Namun, yang perlu kita tahu lebih lanjut, apa di balik peristiwa itu. Loper bukanlah pekerja Kompas, melainkan mengabdi pada agen koran. Hidup matinya tergantung pada agen, bukan pada Kompas.
Maka, jika Kompas datangnya lebih siang daripada biasanya, tentu ada masalah yang tidak bisa diatasi loper. Misalnya harus merawat keluarga yang sakit atau mengantar anak ke sekolah lebih dahulu.
Bila sudah mengetahui sebab musababnya, semoga kita bisa memaklumi kendala yang dihadapi loper, rela membaca Kompas sedikit lebih siang.
A Agoes SoediamhadiLangenarjan Yogyakarta
Sekolah Negeri
Setiap kali penerimaan peserta didik baru (PPDB), khususnya sekolah negeri, muncul persoalan klasik: ketidakadilan. Siswa tidak bebas memilih sekolah karena terhambat jalur zonasi atau kebijakan lain.
Beberapa tahun lalu, ada surat keterangan tidak mampu (SKTM). Kebijakan ini disalahgunakan: orang kaya mengaku miskin, yang miskin jadi sulit mengakses pendidikan.
Sejak sekolah negeri gratis, masyarakat berbondong-bondong menyerbu sekolah negeri. Berbagai cara ditempuh asalkan anaknya diterima. Proses PPDB yang tidak transparan memperbesar ketidakadilan.
Seorang teman bercerita, anaknya diterima SMA negeri karena membayar Rp 15 juta kepada oknum sekolah. Ada calon siswa mendadak alamatnya pindah ke dekat sekolah negeri demi syarat zonasi.
Dari semua fenomena ini, kita bertanya, ada apa dengan sekolah negeri? Apakah alumni sekolah negeri menjanjikan segalanya? Apa tujuan sekolah?
Kita harus berbesar hati mengakui, tidak ada nilai rapor atau NEM sekolah negeri berangka rendah. Semua anak yang sekolah di negeri nilainya tinggi meski tak sesuai kompetensi. Ini guna menaikkan citra sekolah, bahkan diklaim termasuk prestasi kepala daerah.
Banyak sekolah swasta dengan integritas baik dalam hal akademik dan non-akademik. Mereka mandiri, tidak ada intervensi dan tidak membebani keuangan negara.
Jangan memaksa masuk sekolah negeri demi alasan jangka pendek. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Bila untuk sekolah saja masyarakat sadar melakukan kecurangan, bagaimana dengan karakter anak didiknya?
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung 40616