Dalam pergaulan virtual ini banyak sekali teman yang dulu kita kenal sebagai pendiam, kini bertransformasi menjadi sangat ceriwis, ahli segala rupa hal tanpa spesialisasi pada satu hal.
Oleh
Bre Redana
·4 menit baca
Kami tak pernah benar-benar tahu dari mana dia berasal. Di kota kecil kami pada masa sekolah dasar dulu, ia datang sebagai murid baru duduk di kelas enam. Pindahan dari sebuah kota besar, ia ikut famili di kompleks perwira militer. Hubungan di luar sekolah menjadi terbatas karena sebagian besar dari kami jengah kluyuran di kompleks militer yang dihuni para perwira menengah itu.
Murid baru, artinya murid yang pindah dari sekolah atau kota lain bisa dihitung dengan jari. Dari semula kemunculannya pun beda dari rata-rata kami. Kami semua tanpa alas kaki, dia bersepatu.
Kami semua berangkat dari awal yang sama, kelas satu, belajar baca, tulis, berhitung, berikut kegembiraan bersekolah—yang bagi saya satu-satunya kegembiraan hanya ketika guru mendongeng. Semua naik dalam satu gerbong sejak stasiun awal kecuali murid baru tadi yang naik menjelang stasiun akhir berupa masa kelulusan.
Dari segi kepandaian, dia tidak terlalu mengesankan. Untuk pertanyaan lisan yang dilemparkan guru di mana beberapa murid adu cepat mengangkat telunjuk, ia tak ikut partisipasi. Kadang guru langsung meminta dia untuk menjawab. Ia terdiam lama, sampai guru kemudian mengalihkan pertanyaan ke murid lain.
Waktu itu ujian SD bersifat nasional, yang diujikan hanya tiga mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Berhitung, Pengetahuan Umum. Kami tahu siapa murid terpandai, mendapat nilai untuk masing-masing mata pelajaran 10 sehingga total nilai 30. Murid pindahan tadi entah dapat nilai berapa, yang jelas ikut lulus.
Setelah itu dia meninggalkan kota kami. Katanya ada pesta perpisahan di rumah famili yang dihuninya, tapi tak semua dari teman sekolah diundang. Selanjutnya ia hilang dari orbit.
Lalu tibalah era medsos. Out of the blue dari masa yang telah hampir masuk kubur kenangan dia tergabung dalam grup Whatsapp orang-orang kota lama kami yang tentunya sekarang semua telah gaek, meski ada pula yang 10-20 tahun lebih muda dari kami.
”Lho dia kan teman SD kita, anak baru yang masuk kelas enam dulu. Kamu lupa?” seorang teman lama mengingatkan saya.
Saya kaget.
Dia sangat aktif menyuarakan diri di grup. Selalu memposting foto diri, kadang dengan istri, memamerkan hidupnya yang sangat makmur.
”Wajahnya beda. Seingat saya dulu dia pendiam,” komentar saya.
”Dia sekarang telah jadi politikus,” ucap teman SD ini.
”Ooh….”
Banyak keajaiban di era medsos. Entah berapa banyak kasus melalui sistem jaringan dengan berbagai aplikasinya tertemukan kembali makhluk-makhluk yang nyaris hilang tertelan zaman. Manusia terhubung kembali dengan masa lalu, teman-teman lama, orang tak dikenal, reuni setiap waktu dengan berbagai gang lama, dan lain-lain.
Dalam pergaulan virtual ini banyak sekali teman yang dulu kita kenal sebagai pendiam, kini bertransformasi menjadi sangat ceriwis, ahli segala rupa hal tanpa spesialisasi pada satu hal. Ada teman perempuan yang dulu saya kesankan sebagai pendiam, kini untuk mengucapkan ulang tahun kepada teman di grup pun memakai kata-kata bijak amat panjang berbuih-buih. Mengagumkan.
Menurut teman yang memberi tahu tentang dia tadi, ia kini sedang menyiapkan diri menjadi anggota parlemen. Daerah pemilihannya nantinya, katanya, tak lain tak bukan kota lama kami. Ia telah menjanjikan akan membangun rumah ibadah, atau entah apa lagi yang saya kurang mengerti.
Setahu saya di kota kami sudah banyak tempat ibadah, tapi entahlah, soalnya politikus memang manusia yang beda.
Selain beda, umumnya mereka suka bohong.
Tidak ada manusia sempurna, kita memilih yang terbaik dari yang ada, kata orang-orang yang terperangkap dalam kondisi yang serba tak menentu.
”Kamu tidak pernah ikut kumpul-kumpul, sih,” lanjut teman ini. ”Ia sering pidato kalau pas kumpul-kumpul. Pidatonya menyihir, lho.”
Dia mengajak saya untuk sesekali datang.
Saya katakan padanya bahwa saya kurang tertarik mendengar orang pidato. Lebih tertarik mendengar orang menyanyi, terlebih jika yang menyanyi—entah dia paham atau tidak—adalah Astrud Gilberto yang tutup usia belum lama ini.
Sangat merasa kehilangan. Suara bening dan lirih bossa nova Astrud mungkin memang harus berakhir dilindas zaman yang gaduh. ”The Girl from Ipanema”benar-benar lewat dan berlalu.
Ah…
Pada teman tadi saya mengucapkan selamat menikmati pidatonya.
Selain itu juga semoga cepat terlepas dari pengaruh sihir dan segera siuman kembali.