Narasi ”Awan Gelap”, Riwayatmu Kini
Gejolak perekonomian global tak lantas mendatangkan resesi di tingkat domestik. ”Awan gelap” ekonomi global dapat bermetaforfosis menjadi ”awan terang” dengan mitigasi risiko yang ketat untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Dogma kemunculan awan gelap yang mencuat di awal 2023 sempat membuat optimisme pertumbuhan ekonomi domestik kian pengap, mulai dari ramalan resesi hingga stagflasi yang berkepanjangan. Semua pihak sibuk memupuk amunisi ekstra guna menyiapkan serangkaian langkah mitigasi.
Namun, seperti kata pepatah, mendung tak selalu hujan, gejolak perekonomian global nyatanya tak lantas mendatangkan resesi di domestik. Premis ini bisa jadi masih terlalu prematur mengingat kita masih berdiri di medio pertama 2023.
Lantas, bagaimana jejak (tracking) terkini dari potret perekonomian domestik 2023 ke depan? Sejumlah indikator hingga kini lebih banyak memberikan sinyal bahwa perahu ekonomi domestik mulai menuju keseimbangan baru yang lebih optimistis.
Pencabutan status pandemi Covid-19 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak Maret 2023 menjadi tonggak penting. Status endemi yang didahului dengan pencabutan PPKM oleh Presiden Jokowi sejak akhir 2022 tersebut sewajarnya akan meningkatkan mobilitas dan selanjutnya berpotensi mendorong inflasi.
Baca juga: Metafora Ekonomi
Namun, kausalitas tersebut rupanya tidak serta-merta terjadi. Gradasi risiko terjadinya stagflasi juga mulai menurun seiring capaian inflasi yang lebih rendah dari perkiraan. Hal ini salah satunya berkat penyesuaian harga komoditas dan pengetatan kebijakan moneter.
Hal yang patut disyukuri adalah capaian inflasi bulan April 2023 yang rendah. Sebuah anomali positif, di mana secara historis riak-riak inflasi biasanya bergelinjang di periode Ramadhan dan Idul Fitri. Teranyar, rilis inflasi bulan Mei 2023 oleh Badan Pusat Statistik juga memberikan angin segar.
Untuk pertama kali sejak Mei 2022, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berhasil kembali ke rentang sasaran 3+1 persen atau lebih tepatnya 4 persen secara tahunan. Terlebih, penurunan inflasi IHK tersebut dipengaruhi oleh penurunan inflasi inti yang notabene dijadikan salah satu barometer dalam formulasi kebijakan moneter Bank Indonesia dewasa ini.
Rapor hijau inflasi tersebut tentu tidak terlepas dari racikan kolaborasi yang apik dari seluruh pihak dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID), termasuk melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di sejumlah daerah. BI sebagai penjaga pilar moneter juga turut menjinakkan inflasi melalui respons kebijakan moneter yang pre-emptive dan forward looking.

Meski begitu, kita harus lantang mengakui bahwa dampak luka memar yang ditimbulkan oleh krisis akibat pandemi belum sembuh benar. Inflasi komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) saat ini masih di luar posisi (offside). Publik masih menanti kehadiran bulan September 2023 seraya berharap lonjakan inflasi yang diakibatkan kebijakan kenaikan tarif BBM sejak September 2022 dapat ternormalisasi.
Terlepas dari itu, upaya menjaga inflasi tak ubahnya seperti dinamika tanpa ujung. Akan selalu berubah dan dipengaruhi oleh faktor multidimensi. Hal ini mengingat kestabilan harga selalu dipengaruhi oleh relasi antara penawaran dan permintaan.
Tidak hanya inflasi, kejutan positif lainnya juga datang dari pertumbuhan ekonomi kuartal I-2023 yang lebih tinggi ketimbang perkiraan. Hal ini lantas mendegradasi kekhawatiran terjadinya resesi. Terlebih, survei Bloomberg mengatakan bahwa probabilitas resesi untuk Indonesia hanya 2 persen. Rilis data Composite Leading Indicator Indonesia oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) per Mei 2023 yang meningkat dibandingkan bulan sebelumnya juga mengonfirmasi hal tersebut. Dari sini, setidaknya kita masih bisa menikmati secangkir kopi dengan nikmat, tidak seperti Eropa dan Jerman yang saat ini tengah dirundung resesi.
Kejutan positif lainnya juga datang dari pertumbuhan ekonomi kuartal I-2023 yang lebih tinggi ketimbang perkiraan. Hal ini lantas mendegradasi kekhawatiran terjadinya resesi.
Namun harus diakui, laju pertumbuhan tersebut belum ”memadai” jika disejajarkan dengan mimpi Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Untuk mencapai mimpi besar tersebut, merujuk data Bappenas, Indonesia setidaknya perlu menggenjot perekonomian dengan tumbuh rata-rata 7 persen pada tahun 2025-2045.
Baru-baru ini Menteri Keuangan menyebut Indonesia, China, dan India memiliki potensi menjadi negara maju. Namun masih jauh panggang dari api, pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun baru 5,4 persen. Sementara China dan India masing-masing 7,7 persen dan 7 persen.
Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir 2023 masih berpotensi menghadapi beberapa turbulensi. Berdasarkan laporan ADB’s Asian Development Outlook April 2023, PDB nasional tahun 2023 diproyeksikan 4,8 persen. Angka itu lebih rendah dari tahun 2022 yang meraih level 5,3 persen. Hal ini seiring dengan melemahnya lonjakan komoditas.
Dari sekian negara dalam laporan tersebut, hanya ada dua negara yang outlook ekonomi 2023 lebih tinggi dari 2022, satu di antaranya China. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk membuktikan bahwa Indonesia juga memiliki kemampuan untuk mendobrak kondisi saat ini dan membawa ekonomi tahun ini ke level yang melampaui 2022.

Untuk mengejawantahkan misi tersebut, setidaknya ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu menjadi fokus bersama. Pertama, perlu waspada terhadap ancaman deindustrialisasi. Pangsa sektor industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun mengalami perlambatan di beberapa daerah. Meskipun, perlambatan ini boleh jadi karena ekonomi yang belum pulih benar pascagejolak global yang terjadi seperti pandemi Covid-19 dan tensi geopolitik Rusia-Ukraina.
Barangkali kekhawatiran ini juga yang mendorong semangat hilirisasi sumber daya alam termasuk hilirisasi pangan yang akhi-akhir ini diserukan pemerintah. Berkah komoditas yang melimpah jangan sampai meningkatkan ketergantungan kepada ekonomi ekstraktif dan melupakan mimpi peningkatan nilai tambah melalui kanal hilirisasi.
Kedua, akselerasi ekonomi digital. Nilai ekonomi digital Indonesia pada 2021 sebesar 70 miliar dollar AS. Angka ini diprediksi meningkat dua kali lipat dengan pada 2025 atau sebesar 164 miliar dollar AS. Indonesia perlu bekerja keras untuk memonetisasi potensi ekonomi digital tersebut. Jika tidak, keunggulan tersebut hanya akan berhenti di tataran potensi.
Perlu waspada terhadap ancaman deindustrialisasi. Pangsa sektor industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun mengalami perlambatan di beberapa daerah.
Manajemen risiko
Narasi ”awan gelap” sejatinya dapat dipandang sebagai bagian dari strategi manajemen risiko publik. Dalam menghadapi gejolak global yang berpotensi mengarah kepada krisis ekonomi, memang sebaiknya mengambil langkah konservatif dengan menyibukkan diri dengan berbagai macam proteksi dan langkah mitigasi.
Hal ini mengingat biaya mitigasi risiko jamaknya lebih kecil dibandingkan biaya pemulihan akibat krisis. Kita tentu masih ingat biaya penanganan krisis untuk bailout perbankan saat krisis moneter tahun 1998 mencapai 70 persen dari PDB. Sebuah harga yang amat mahal dan bahkan menjadi salah satu biaya penanganan krisis yang tertinggi di dunia.
Baca juga: Ekonomi Lato-lato
Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, dengan memegang payung, seseorang menjadi tidak terbebani dengan kekhawatiran terkena hujan. Mazhab mitigasi risiko ketat betapapun perlu menjadi menu wajib dalam menjaga stabilitas ekonomi. Namun, kekhawatiran terjadinya resesi atau bahkan krisis jangan sampai menjadi faktor pemberat. Dengan begitu, ”awan gelap” dapat bermetaforfosis menjadi ”awan terang” dan kemudian membawa gerbong perekonomian melaju lebih cepat.
Aris Rudianto, Analis di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat