Semana Santa, Sebuah Ruang Kebersamaan di Larantuka
Tradisi Semana Santa di Larantuka adalah satu sarana rohani, yang juga memiliki nilai budaya, untuk dikembangkan dalam kehidupan bersama yang rukun dan damai.
Tak terasa dua bulan berlalu sejak saya datang di Larantuka bulan April 2023 yang lalu untuk membuat video dokumentasi tradisi Semana Santa. Banyak hal yang membuat tak mudah melupakan tradisi unik ini.
Lagu Signor Deo baru saja dilantunkan oleh umat Katolik di Gereja Katedral Reinha Rosari di kota Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kidung jemaat membahana membelah keheningan malam, lalu dilanjutkan dengan Berkat Penutup, Rabu (5/4/2023). Tak lama kemudian, terdengar suara bising di sisi luar. Tampak ratusan orang—tua dan muda—menyeret lempengan seng di jalanan beraspal.
Bunyi-bunyian semakin menggaduh, karena mereka juga memukul seng seraya berulang kali berseru, ”Trewa!” Kegaduhan ini bukan huru-hara, melainkan bagian dari devosi Lamentasi Rabu Trewa untuk mengenang penangkapan Yesus, salah satu kegiatan Semana Santa, tradisi yang sudah mengakar di ibu kota kabupaten Flores Timur, sejak berabad silam.
Ini merupakan kesekian kali saya menjejakkan kaki di Larantuka. Yang pertama, boleh dikatakan istimewa, karena bertepatan dengan Perayaan 500 tahun Semana Santa, pada 2010. Tahun ini, terhitung 13 tahun kemudian, saya mendapat penugasan dari Balai Media Kebudayaan (BMK) Kemendikbudristek RI untuk membuat video dokumentasi Perayaan Semana Santa ke-513 setelah tiga tahun absen akibat pandemi Covid-19.
”Sejarah Semana Santa sangat menyatu dengan patung Tuan Ma yang menjadi ikon di Larantuka,” tutur Mgr Fransiskus Kopong Kung, yang saya temui di kantor pusat Keuskupan Larantuka, di San Domingo, Selasa (4/4/2023). Tuan adalah sebutan warga setempat untuk Tuhan, dan Ma tak lain Bunda Maria atau Mater Dolorosa.
Alkisah, pada suatu malam terdengar suara perempuan meratap pilu di tepi pantai. Warga pun mencari arah suara, tetapi tidak mendapati sosok perempuan, melainkan patung. ”Hadirnya patung Tuan Ma di Larantuka sudah sangat lama, sekitar 1510,” kata sang Uskup Larantuka. ”Pada masa itu belum ada kekristenan, kekatolikan.”
Hingga pada suatu masa, bangsa Portugis datang di Larantuka untuk berdagang rempah-rempah. Lalu, misionaris dari negara di Eropa Selatan ini melihat patung perempuan berwajah sendu yang disimpan sebagai benda sakral di sebuah rumah adat untuk pemujaan (korke). Barulah diketahui dan disadari itu patung Bunda Maria. Di dekat lokasi korke yang sekarang sudah tidak ada itu kini dibangun Bukit Fatima untuk para peziarah yang ingin berdoa di sana.
Baca juga: Mengurus Sensor Film Kekinian
”Masyarakat meyakini ada penjelmaan: dari seorang perempuan, seorang ibu, menjelma menjadi patung,” kata sang Uskup. ”Kenapa harus datang ke Larantuka, tidak ke tempat lain? Di sini, kami membaca Larantuka tempat yang penting. Larantuka itu indah.” Tak dimungkiri, ibu kota kabupaten Flores Timur ini memang strategis dan indah.
Pengaruh Portugis kian lekat. Sekitar akhir 1640-an, Raja Larantuka Olla Adobala dibaptis menjadi penganut Katolik dan menyandang nama Diaz Vieira Godinho (DVG). Tongkat kerajaan pun diserahkan kepada (patung) Bunda Maria. Resmilah kota dan kerajaan Larantuka dipimpin Bunda Maria, dan Raja tunduk sebagai abdinya.
Kian hari hubungan spiritual masyarakat Larantuka—yang telah menganut Katolik—dengan Bunda Maria kian menguat. Adanya kegiatan perarakan patung Tuan Ma keliling kota Larantuka, dikatakan Mgr Fransiskus Kopong Kung, tak terlepas dari peleburan yang harmonis antara aspek sejarah, budaya, rohani, dan tradisi setempat.
Ini senada penjelasan dari Bernardus Tukan, Direktur SimpaSio Institute, yang saya temui di kesempatan berbeda di kediamannya di Sarotari, Larantuka. ”Ketika patung [Tuan Ma] itu datang, dia masuk ke dalam budaya dan struktur sosial, dia diterima oleh budaya lokal,” kata penulis yang juga dikenal sebagai pemerhati budaya.
Sosok Bunda Maria mendapat tempat di hati masyarakat, menurut Bernardus Tukan, karena sejalan dengan budaya Lamaholot—salah satu suku bangsa asal yang bermukim di Flores Timur, NTT—yang memandang perempuan sebagai sumber kehidupan. ”Perempuan dalam budaya Lamaholot itu dikatakan kayo puken wai matan,” katanya.
Lebih jauh, Bernardus Tukan menerangkan, ”Kayo puken itu artinya pokok pohon yang melahirkan tunas-tunas baru, wai matan itu sumber air. Jadi dia—perempuan—adalah sumber kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri ada pada perempuan.” Saya terharu mendengarnya, betapa luhur cara orang Lamaholot memuliakan perempuan.
Tak beda dengan Bernardus Tukan, budayawan Lamaholot, Silvester Petara Hulit menyampaikan pandangannya: “Tuan Ma itu kan digambarkan dari laut. Laut itu dalam budaya Lamaholot simbol kesuburan, kesejahteraan.”
Konsep Tuan Ma yang dari manusia berubah menjadi patung juga dekat dengan budaya Lamaholot. ”Pandangan orang Lamaholot, disebut tue' kulit balik kamak, alih rupa. Sang dewi jadi padi leluhurnya menjelmakan diri menjadi benda-benda pusaka. Tradisi serupa itu sudah ada, sudah tumbuh di sini,” runutnya.
Dalam tradisi Lamaholot terdapat mitos seorang dewi Tanuwujo. Ia merupakan anak bungsu raja dan putri satu-satunya yang rela mengorbankan diri demi rakyatnya agar tak kelaparan saat paceklik. Saat ia mati jasadnya menjelma menjadi padi, jagung, sorgum, jewawut dan ragam tanaman pangan lainnya.
Semana Santa dibuka kembali
Semana Santa tak terlepas dari budaya Portugis. Kata ini sendiri masing-masing bermakna pekan atau minggu dan suci atau kudus. Selama tujuh hari berturut-turut, dari Minggu Palma hingga Minggu Paskah, umat Katolik mengikuti perayaan keagamaan terbesar di Larantuka yang juga disebut Pekan Suci Paskah atau Hari Bae.
Sedikit mengilas balik, beberapa pekan sebelum Hari Bae, terlebih dahulu saya melakukan pendaftaran secara online. Hal yang sama dilakukan oleh penduduk Flores Timur dan pendatang dari luar kota maupun luar negeri. Pendataan ini penting dilakukan oleh panitia untuk membatasi jumlah peserta kegiatan Semana Santa ke-513.
”Kondisi [pascapandemi Covid-19] memang sudah membaik, maka sekarang [perayaan Semana Santa] kita buka kembali. Namun saya tetap memberi awasan dalam perayaan kali ini,” kata Mgr Fransiskus Kopong Kung. Selain pembatasan tersebut, panitia juga mensyaratkan setiap peserta sudah mendapatkan vaksin 3 (booster).
Uskup Larantuka menyadari, umat Katolik sudah sangat rindu, ingin kembali melaksanakan tradisi devosional Semana Santa setelah tiga tahun absen akibat pandemi. ”Dengan kesepakatan bersama, pada Januari [2023], saya keluarkan surat resmi sebagai Uskup, mengumumkan bahwa tahun ini... jadi!”
Putusan Uskup Larantuka tentu saja membahagiakan segenap umat Katolik, tak terkecuali Rosalina Kalumata, yang bertugas sebagai panitia Semana Santa 2023. ”Suatu kebahagiaan yang sangat besar untuk kami, Bapa Uskup memberikan kesempatan untuk boleh menjalankan tradisi kami, perayaan Semana Santa, secara terbuka.”
Kegembiraan juga dirasakan oleh Haryanto, peziarah asal Maumere yang mengaku baru pertama kali mengikuti Semana Santa, ”Ya, saya pengen tahu saja seperti apa.” Yang pasti, menurut Yohannes Fernandez Ekoli, warga Larantuka, ”Umat seluruhnya menyambut baik, penuh antusias, untuk [Semana Santa 2023] ini.”
Semana Santa ke-513 telah dibuka pada awal April 2023. Mgr Fransiskus Kopong Kung berharap, perayaan ini membawa spirit baru yang membangkitkan kehidupan umat dari sisi rohani maupun sosial kemasyarakatannya. Asa yang sama juga disampaikan oleh Bernardus Tukan, ”Semana Santa hari ini harus lain dari sebelum tahun 2020.”
Devosi jelang Tri Hari Suci
Memasuki awal Pekan Suci Paskah, vibes-nya makin terasa. Jalanan lengang karena akses di sejumlah ruas jalan ditutup untuk meminimalkan arus kendaraan bermotor. Selain itu, juga untuk memudahkan warga membangun tikam turo atau pagar kayu di kedua sisi bahu jalan di sepanjang jalur prosesi Semana Santa.
Berbeda dengan kampung-kampung lain di Larantuka yang membangun tikam turo, pada Selasa (4/4/2023), para warga kampung Lohayong baru mendirikan pagar kayu yang terbuat dari jenis kayu kukung dan tali gebang dari lontar ini di sepanjang Jalan Don Lorenzo atas dan bawah, pada keesokan hari Rabu (5/4/2023) yang bertepatan dengan Rabu Trewa.
”Mulai Rabu ada kesibukan-kesibukan: mereka mulai memasang turo,” kata Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung seraya menambahkan, ”turo adalah tiang-tiang kecil, kayu-kayu, untuk rute prosesi, yang akan dipasangi lilin-lilin kecil di sepanjang jalan, untuk menerangi jalannya prosesi. Itu juga bagian dari tata cara adat.”
”Itu tradisi kami dari dulu, tidak bisa diganggu gugat,” kata Bapak Adat Mater Dolorosa Lohayong Yosep Gregorius BL de Rozary. ”Kami sudah dipesan secara turun-temurun, sejak [zaman] nenek moyang kami yang mempunyai Kapela [Tuan Ana] ini: tikam turo untuk Kampung Lohayong Mater Dolorosa selalu hari Rabu, tidak bisa hari lain.”
Usai pemasangan tikam turo, selanjutnya warga Lohayong berkumpul di tepi pantai untuk bersantap bersama. Menu yang disajikan, antara lain, sayur rumpu rampe, ubu kuko, bose, RW, ikan bumbu kuning, acar balik, jagung titih, dan arak merah. Yosep Gregorius BL de Rozary menyebut tujuan acara ini untuk saling silaturahmi.
Berikutnya, pada malam hari, usai Nyanyian Lamentasi di Gereja Katedral Reinha Rosari (juga Kapela), warga membuat bunyi-bunyian gaduh dengan memukul dan menyeret lempeng seng seraya berseru, ”Trewa!” Devosi yang menggambarkan kesengsaraan Yesus saat dibelenggu ini menandai masuknya perkabungan selama Tri Hari Suci.
Devosi adalah kegiatan di luar liturgi atau di luar ritual umum gereja, tetapi tetap menjadi bagian dari praktik-praktik kerohanian umat Katolik.
Usai pemberkatan jalur prosesi, suasana perkampungan tepi pantai pun kembali normal. ”Besok, Kamis Putih,” kata Yosep Gregorius BL de Rozary. ”Saya sebagai Bapak Adat, juga pemilik ini Kapela [Tuan Ana], berhak untuk membuka pintu sekitar pukul 12 siang. Banyak peziarah berbondong-bondong masuk untuk mencium patung Tuan Ana.”
Rindu dalam lantunan doa
Kamis (6/4) pagi selepas pukul enam, saya memacu langkah menuju Kapela Tuan Ma. Cukup jauh jarak yang saya tempuh, karena jalanan—yang merupakan jalur prosesi—sudah steril dari arus kendaraan bermotor. Tiba di Kapela, antrean sudah mengular. Tampak di bagian terdepan barisan Confreria mendaraskan doa, diikuti umat.
Tak disangka, saya berjumpa Raja Larantuka Don Andre Martinus DVG di teras kapela. Saya menyapa beliau dan disambut ramah. Dengan wajah semringah, beliau mengungkapkan sukacitanya, ”Kami merasa bersyukur atas tuntunan Tuhan dan Bunda Maria, tahun ini kami laksanakan [Semana Santa] supaya kerinduan umat bisa terobati.”
Ya, tiga tahun tanpa Semana Santa tentu saja menimbulkan kerinduan di hati umat. Rafael Fernandez, Ketua Suku Semana, yang saya jumpai di teras Kapela menyatakan keharuan. ”Kali ini, baru dia [patung Tuan Ma] keluar, dan kami rasa senang, juga rasa sedih karena kami sangat merindukan,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dalam pandangan Rafael Fernandez, dibukanya kembali Semana Santa merupakan pertanda baik. ”Kami yakin dan percaya, tahun ini bila dia [patung Tuan Ma] sudah keluar dan terus tiap tahun akan keluar dan tidak mungkin dia terhambat lagi.” Jelang siang, Kapela dibuka, saatnya bagi umat untuk melepas rindu dalam lantunan doa.
Pada waktu hampir berbarengan, Kapela Tuan Ana (Yesus Kristus), yang berlokasi tidak jauh dari Kapela Tuan Ma (Bunda Maria), juga membuka pintu untuk umum. Setelah mengantre cukup lama, satu per satu umat berjalan dengan bertumpu pada lutut menuju sangtuari untuk mendaraskan doa dan mencium patung Tuan Ana.
”Saya bahagia juga bisa terlibat secara langsung dalam devosi, dalam pelayanan ini,” kata Gabriel de Santo, warga Larantuka yang terlibat dalam kepanitiaan. ”Kita melayani, tugas kita adalah melayani semua kegiatan yang ada di kapela, di gereja.” Kamis Putih menjadi saksi luapan kebahagiaan dan keharuan yang melebur jadi satu.
Namun, di kesempatan terpisah, Bernardus Tukan mengingatkan umat untuk mengambil hikmah di balik tiga tahun absennya Semana Santa. ”Supaya kita tidak terjebak dalam rutinitas, kita tidak terjebak dalam formalitas tanpa pemaknaan yang lebih murni,” kata sang budayawan. ”Hikmah. Saya melihat hikmah.”
Kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita, diyakini Bernardus Tukan, bukan karena sekian banyak persembahan yang kita berikan atau sekian banyak ritual yang kita lakukan. ”Hadirnya memang hakikat,” katanya. ”Selama tiga tahun senyap itu inspirasi dan motivasi untuk kita: apa yang sesungguhnya mau kita capai lewat perayaan ini.”
Prosesi di darat dan laut
Hari berganti, lelah sisa kemarin belum habis. Tetapi, saya harus menyiapkan stamina semaksimal mungkin untuk kegiatan devosi pada Jumat Agung yang berlangsung sejak pagi hingga malam melalui jalur darat dan laut. Utamanya, prosesi laut Tuan Meninu dan prosesi Jumat Agung mengelilingi kota Larantuka.
”Hari Jumat juga ada prosesi laut, itu juga bagian dari tradisi sejarah,” kata Mgr Fransiskus Kopong Kung. Kegiatan yang dimaksud sang Uskup Larantuka adalah Prosesi Laut Tuan Meninu dari Kapela ke Pante Kuce-Pohon Sirih. Perahu yang membawa patung Tuan Meninu melaju paling depan, diikuti perahu-perahu warga.
”Adanya perarakan laut, darat ini, saya pikir, memang tradisi yang dibawa oleh orang Katolik, dari Malaka, dari Portugis, ke sini. Tapi, sebenarnya dia diterima dan menjadi tradisi karena dia menjejak pada apa yang sudah ada di sini,” kata Silvester Petara Hurit, budayawan Lamaholot, yang saya temui di lain kesempatan di kota Larantuka.
Lebih lanjut, Kepala Bidang Pengembangan Seni dan Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur ini menerangkan bahwa esensi pengorbanan dalam ritus lokal Lamaholot sejalan dengan ritus pengorbanan dalam tradisi Katolik, Nasrani. ”Kalau masyarakat merasa dia berjarak dan jauh, pasti ditolak.”
Benar saja, antusiasme masyarakat membuktikan pandangan tersebut. Mereka menyemut di sepanjang bibir pantai menyaksikan prosesi laut. Mereka juga menaiki perahu-perahu besar dan kecil yang melaju bagai berkejaran, dengan diiringi doa dan nyanyian yang dilantunkan oleh para suster PRR di salah satu perahu.
Lalu, setibanya patung Tuan Meninu di daratan, lantas dibawa menuju Gereja Katedral Reinha Rosari. Sejurus itu dilaksanakan beberapa prosesi lain di daratan, salah satunya prosesi menghantar Patung Tuan Ma dan Tuan Ana dari Kapela ke Gereja Katedral Reinha Rosari, diseling persinggahan di sembilan armida.
”Jumat Agung ini kita mengenang wafatnya Tuhan Yesus,” kata Helena Veronica Diaz, warga Larantuka. ”Setelah dari gereja, kita datang untuk berziarah ke makam keluarga. Kita mengenang kematian mereka. Kita percaya, mereka juga bangkit bersama Yesus di hari Minggu. Kita yakin, mereka selalu melindungi kita ke mana saja kita pergi.”
Usai berziarah, Helena Veronica Diaz dan segenap umat kembali menuju Gereja Katedral Reinha Rosari, yang berjarak dekat dengan permakaman, untuk mengikuti Lamentasi dan Prosesi Jumad Agung. ”Ini tradisi devosional yang dari tahun ke tahun diterima, dihidupkan, dihayati,” kata Mgr Fransiskus Kopong Kung.
Dalam tradisi, dikatakan oleh Mgr Fransiskus Kopong Kung, ada aspek sosial budaya dan aspek rohani yang terwujud, dari kostum sampai tata cara prosesi yang merupakan warisan masa lalu. Aneka kostum dan ornamen tersebut—baik simbol-simbol, mahkota duri, paku, dan lain-lain—diarak untuk memperingati penderitaan Yesus saat ditangkap.
Dalam Prosesi Jumat Agung mengelilingi kota Larantuka ini juga ada kelompok-kelompok yang berpakaian khusus, yaitu Confreria serta Lakademu, yang memikul patung Tuan Ma. Lakademu mengenakan busana dan topi khusus. Wajah mereka sama sekali tidak terlihat, karena tertutup kain putih dengan celah hanya segaris.
”Orang tidak tahu siapa yang bertugas itu,” sang Uskup Larantuka menambahkan. ”Mereka [Lakademu] tidak bisa melihat karena matanya ditutup, tapi mereka ikut mengusung patung [Tuan Ma] itu. Mereka sudah dilatih, supaya jangan terantuk. Semua diatur dengan tata cara yang diwarisi sejak zaman dahulu seperti itu.”
Di antara barisan umat yang mengikuti prosesi mengelilingi kota Larantuka, menurut sang Uskup Larantuka, juga ada keluarga kerajaan dan penghuni istana. ”Sebab, di sini, raja adalah presidenti. Presidenti berarti pemimpin di dalam tradisi itu, bagian dari budaya kerajaan, sekaligus juga warisan rohani dan warisan budaya di sini.”
Iring-iringan umat terus mengular hingga lepas tengah malam, sampai Patung Tua Ma dan Tuan Ana tiba di Gereja Katedral Reinha Rosari. Doa dan nyanyian yang dilantunkan semalaman selama prosesi Jumat Agung—dari Gereja Katedral, mengelilingi kota (jalur prosesi), dan kembali ke Gereja Katedral—seolah menyucikan kota Larantuka.
Perarakan darat ini dari kacamata Silvester Petara Hurit, budayawan Lamaholot, merupakan hal yang telah berakar di masyarakat.
”Patung dibawa keliling kota, itu di sini (tradisi Lamaholot) ketika padi itu setelah dipanen diarak masuk kampung. Diterima, disambut dengan tradisi yang namanya dokang gurun (prosesi inti benih). Waktu prosesi inti benih dan rombongan juga disambut dalam perhentian-perhentian, semacam armida-armida dalam prosesi Semana Santa. Selama di jalan ada nyanyian-nyanyian pula. Sampai di sana masuk rumah adat, segala kesalahan dimurnikan. Lalu masuk ke lumbung adat, sepanjang malam dinyanyikan. Menceritakan kisah suci Sang Tonu Wujo, Sang Dewi Padi sampai pagi,” paparnya.
Liturgi dan devosi di Minggu Paskah
Hari telah berganti, memasuki Sabtu Santo (8/4/2023). Pada pagi hari diadakan prosesi mengantar patung Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Katedral kembali ke Kapela, diikuti prosesi lain, termasuk prosesi mengantar Tuan Meninu lewat jalur laut. Lalu, pada malam hari, diadakan Perayaan Malam Paskah di Gereja Katedral Reinha Rosari.
Keesokan hari, Minggu Paskah (9/4) atau disebut juga Minggu Haleluya, diadakan kegiatan liturgi Perayaan Misa Kebangkitan Tuhan di Gereja Katedral, juga kapela, sejak pagi hingga sore. Selain itu, juga digelar beberapa kegiatan devosi, salah satunya prosesi menghantar Patung Maria Alleluya dari Gereja Katedral ke Kapela Tuan Ma.
Ada pula kegiatan devosi Penyerahan Punto Dama—penyerahan tugas mardomu dari yang lama (2023) kepada yang baru (2024)—di Kapela Tuan Ana pada pagi hari, dan di Kapela Tuan Ma, pada malam hari. Mardomu tak lain adalah orang yang bertugas mempersiapkan, mengatur, dan melaksanakan prosesi Semana Santa.
Bagi mereka yang menerima amanat tersebut, Raja Larantuka Don Andre Martinus DVG menyampaikan pesannya, ”Pasti ke depan, berdatangan lagi para peziarah. Jelas, kami sebagai orang Nagi harus menunjukkan jati diri kami sebagai orang Nagi: harus melayani dengan hati, harus juga memberikan yang terbaik buat para peziarah yang datang.”
Orang Nagi yang dimaksud adalah orang lokal Flores. Dengan pelayanan yang baik, Don Andre Martinus DVG yakin, para peziarah akan mendapatkan kesan yang baik, dan itu akan mengangkat nama Larantuka. ”Itulah tugas putra-putri Maria atau putra-putri Reinha untuk menunjukkan jati dirinya yang baik sebagai tuan rumah Semana Santa.”
Agaknya siapa pun yang pernah mengikuti Semana Santa punya keinginan untuk kembali ke Larantuka, sebagaimana halnya Ina, peziarah dari Bandung, Jawa Barat. ”Saya pribadi memang punya keinginan untuk kembali ke tempat ini, mengucapkan syukur atas doa-doa saya yang terkabul dari awal pertama datang ke tempat ini.”
Mgr Fransiskus Kopong Kung berharap, tradisi ini bukan semata ritual yang berulang setiap tahun, melainkan juga membawa nilai-nilai kehidupan, baik nilai rohani maupun nilai kebersamaan. ”Hidup bersama yang rukun dengan semua, siapa saja, sebagai warga masyarakat sebangsa se-Tanah Air, kita satu keluarga besar.”
Untuk itu, Mgr Fransiskus Kopong Kung selaku Uskup Larantuka bertekad untuk terus mendorong tradisi ini menjadi satu kesempatan untuk membangun kebersamaan. Semana Santa adalah satu sarana rohani, yang juga memiliki nilai budaya, untuk kita kembangkan dalam kehidupan bersama yang rukun dan damai.
”Nah, itulah yang sering saya katakan, saya ingin Larantuka menjadi satu contoh untuk kehidupan bersama,” kata sang Uskup. ”Perbedaan memang ada. Tetapi, kita jangan melihat perbedaan. Justru perbedaan itu adalah kekayaan yang harus kita kembangkan dalam hidup bersama yang baik, dan Semana Santa satu ruang untuk itu.”
Feri Latief, Jurnalis Foto, Tinggal di Cibubur