Kata ”toleransi” di Indonesia nyatanya memang hanya mudah diucapkan tetapi sangat sulit diterapkan. Barangkali saja orang yang mengucapkan hanya sekadar ikut-ikutan tanpa memahami maknanya. Sekadar terlihat kekinian?
Oleh
Samesto Nitisastro
·3 menit baca
Akhir-akhir ini ada satu kata yang sangat populer, begitu sering diucapkan orang-orang. Dari yang tidak berpendidikan sampai yang mempunyai gelar berderet. Kata tersebut adalah toleransi.
Kata ”toleransi” sangat indah dan merdu untuk diucapkan dan didengar. Namun, butuh kesungguhan untuk mempraktikkannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk melihat apa sebenarnya makna kata ”toleransi”. Menurut KBBI, toleransi adalah sifat atau sikap toleran. Kata ”toleran”, masih menurut KBBI, bermakna; ”bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya), yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.
Kata ”toleransi” di Indonesia nyatanya memang hanya mudah diucapkan tetapi sangat sulit diterapkan. Barangkali saja orang yang mengucapkan hanya sekadar ikut-ikutan tanpa memahami maknanya. Atau hanya supaya terlihat kekinian?
Bisa juga yang mengucapkan pura-pura tidak tahu artinya karena akan melakukan pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, ”toleransi” dimaknai sekehendak mereka sendiri. Apalagi oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kebiasaan memaksakan kehendak.
Sebagai bangsa yang bermartabat, kita harus betul-betul memaknai dan menjiwai arti ”toleransi” dengan sepenuh hati. Tentunya harus tecermin juga dari sikap dan perilaku sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita baru saja memperingati Hari Lahir Ke-78 Pancasila pada 1 Juni 2023. Namun, sampai sekarang sebagian besar bangsa Indonesia belum bisa memaknai dan menjiwai Pancasila dengan baik dan benar. Bukan hanya hafal setiap sila, melainkan seharusnya menerapkan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh dan bukti paling nyata adalah sikap ”intoleran” yang masih sering dipertontonkan individu ataupun kelompok-kelompok tertentu terhadap agama, kepercayaan, dan kebudayaan pihak lain.
Yang paling memprihatinkan, kerap terjadi pembiaran atas sikap ”intoleran” tersebut oleh yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.
Pemilihan Umum 2024 adalah waktu yang tepat bagi para calon anggota DPR, DPRD, dan DPD memasukkan ”toleransi” sebagai salah satu bahan kampanye dan sekaligus memberikan keteladanan bagaimana menerapkan ”toleransi” sebagai anggota di parlemen.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023).
Saya lahir dan tinggal di Jawa, sangat paham arti kata cawe-cawe. Ini merupakan bentuk kepedulian, berlanjut dengan campur tangan.
Jika Presiden Jokowi akan cawe-cawe tentang Pilpres 2024, diartikan akan campur tangan, ya monggo saja, silakan ditafsirkan sendiri.
Toh ketika kalimat presiden akan cawe-cawe menjadi perdebatan publik, berduyun-duyun orang membela dengan penafsiran masing-masing. Ah, sudahlah. Saya enggak mau cawe-cawe yang itu.
Sebagai warga negara yang sah, saya tentu boleh cawe-cawe sebagai bentuk kepedulian dan sumbang saran untuk bangsa ini. Tetapi sebagai rakyat biasa, cawe-cawe saya tidak sampai campur tangan.
Tersenyum pahit membaca tulisan Budiman Tanuredjo ”Di Persimpangan Jalan” (Kompas, 27/5/2023)? Berarti Anda paham kondisi bangsa.
Sri HandokoTugurejo, Semarang
Keluarga
Presiden Joko Widodo menyalami Olly Dondokambey Ketua Forum Komunikasi Pria Kaum Bapak PGI seusai meresmikan pembukaan Konsultasi Nasional VIII Forum Komunikasi Pria Kaum Bapak Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2019 di Solo, Jumat (6/9/2019). Dalam acara tersebut, Presiden mengingatkan kasih sayang dalam keluarga menjadi modal awal untuk menghadapi perubahan.
Dalam rubrik Surat Kepada Redaksi (Kompas, 6/3/2023), ada dua surat yang menyentuh kehidupan kita. Pertama soal mustahil basmi rasuah dan kedua tentang keluarga Bung Hatta dan Jenderal Hoegeng yang layak menjadi teladan.
Hingga detik ini virus rasuah masih merajalela. Hukum mandul pada koruptor dan hanya jadi olok-olok.
Sebaliknya, Bung Hatta mengajarkan bahwa etika universal harus dijaga, terlebih dengan jabatan publik yang gajinya dari rakyat. Beliau bahkan sering menunda membeli barang pribadi karena mendahulukan kepentingan lain.
Pak Hoegeng tidak bersedia membuat surat katebelece agar anak-anaknya dapat diterima di sekolah favorit.
Kalau pendidikan yang baik dalam keluarga berlaku di seluruh negeri, insya Allah virus rasuah di NKRI akan lenyap.