Sejak parlemen dibubarkan, banyak yang pesimistis tentang masa depan demokrasi di Tunisia. Banyak pengamat menyebut demokrasi di Tunisia telah mati atau dibunuh oleh Presiden Kais Saied.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI TUNIS, TUNISIA
·3 menit baca
KOMPAS/SALOMO
Musthafa Abd Rahman
Tunisia, negara Arab kecil di Afrika utara dengan penduduk hanya kurang dari 12 juta jiwa. Negara itu masih menjadi harapan satu-satunya negara Arab yang akan berhasil membangun sistem demokrasi dari sekian banyak negara Arab yang dilanda musim semi Arab pada tahun 2010-2011.
Sejak saya tiba di Tunisia pada hari Minggu (4/6/2023), satu pertanyaan yang muncul ke kepala dan ingin segera diketahui jawabannya adalah bagaimana masa depan demokrasi di Tunisia pasca-krisis politik yang melanda negeri itu sejak pertengahan tahun 2021.
Seperti diketahui, Presiden Tunisia Kais Saied pada 25 Juli 2021 membubarkan parlemen dan mengambil alih seluruh kekuasaan di tangannya. Langkah itu diambil setelah sekian lama terjadi hubungan tegang antara Saied dan partai-partai politik yang menguasai parlemen.
Saied saat itu menuduh parlemen membatasi dan bahkan membelenggu gerak presiden sehingga presiden nyaris seperti simbol saja tanpa bisa menjalankan wewenangnya. Padahal, Saied meraih suara lebih dari 70 persen pada pemilu presiden tahun 2019. Sebagai catatan, Saied datang dari jalur independen, tetapi mendapat mandat dari mayoritas besar rakyat Tunisia.
Tindakan Saied tersebut mendapat cukup dukungan rakyat. Rakyat Tunisia mencatat, partai-partai politik yang menguasai parlemen itu dikenal korup dan tidak berbuat apa-apa ketika berkuasa pasca-revolusi tahun 2011. Kemenangan Saied dari jalur independen dengan dukungan cukup besar dalam pemilu presiden tahun 2019 tak ubahnya seperti aksi rakyat Tunisia untuk menghukum partai-partai yang dianggap tidak becus mengurus negara ketika mereka berkuasa.
MUSTHAFA ABD RAHMAN
Pemandangan pusat jual suvenir khas Tunisia di kota Tunis, Tunisa, yang selama ramai pengunjung setiap hari, seperti terlihat pada Selasa, 6 Juni 2023.
Namun, sejak Saied membubarkan parlemen, banyak yang pesimis tentang masa depan demokrasi di Tunisia. Bahkan, banyak pengamat menyebut, demokrasi di Tunisia telah mati atau dibunuh oleh Presiden Saied. Tunisia pun diperkirakan akan mengikuti jejak negara-negara Arab lain yang dilanda musim semi Arab, tetapi gagal membangun negara demokrasi, seperti Suriah, Yaman, Libya, dan Mesir.
Krisis politik di Tunisia terus berlanjut sampai saat ini. Pemilu parlemen bulan Desember 2022 hanya diikuti partisipan dengan persentase yang rendah, yakni sekitar 11 persen. Penyebabnya, antara lain, boikot oleh kekuatan-kekuatan politik dan sipil di Tunisia.
Krisis politik berkepanjangan di Tunisia akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi yang turut memburuk. Tunisia saat ini sedang berunding dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam upaya mendapatkan pinjaman 1 miliar dollar AS untuk dana pemulihan ekonomi yang cukup lesu saat ini.
Ada secercah harapan yang masih menumbuhkan optimisme di Tunisia. Di negeri itu, terasa sekali suasana kebebasan menyampaikan pendapat.
Namun, ada secercah harapan yang masih menumbuhkan optimisme di Tunisia. Di negeri itu, terasa sekali suasana kebebasan menyampaikan pendapat. Bahkan, baik perorangan maupun lembaga bebas mengkritik presiden tanpa ada ancaman dipenjara. Warga maupun lembaga bebas menggelar unjuk rasa, entah unjuk rasa tersebut untuk mendukung atau menentang pemerintah.
Di jalanan kota Tunis bisa ditemukan unjuk rasa-unjuk rasa yang mengkritik pemerintah tanpa dibubarkan oleh aparat keamanan. Bahkan, aparat keamanan justru mengawal aksi unjuk rasa tersebut agar tidak sampai menjadi tindakan anarkistis dan mengganggu ketertiban umum.
MUSTHAFA ABD RAHMAN
Pemandangan Jalan Habib Bourguiba di pusat kota Tunis, Tunisia, yang indah dan rindang, seperti terlihat pada Selasa, 6 Juni 2023. Jalan tersebut menjadi pusat tempat santai dan jalan-jalan bagi warga Tunisia.
Kebebasan berpendapat di Tunisia seperti ini tidak ditemukan di negara-negara Arab lain. Media, seperti media cetak, daring, dan stasiun televisi, bebas mengkritik pemerintah dan presiden. Bahkan, koran milik pemerintah di Tunisia, seperti koran al-Sahafa, sering mengkritik kebijakan pemerintah. Para pengamat yang tampil di stasiun televisi pemerintah juga bebas mengkritik pemerintah Presiden Saied.
Semua itu tidak mungkin terjadi di negara-negara Arab lain yang gagal membangun sistem demokrasi pasca-musim semi Arab. Semua media di negara-negara Arab lain pasti satu suara mendukung pemerintah, alias tidak ada media oposisi. Media atau perorangan yang bersikap oposan pasti diganjar dengan penjara atau ditutup.
Dengan adanya kebebasan berpendapat tersebut, bahkan termasuk mengkritik presiden, Tunisia masih layak disebut negara demokrasi.
Namun, di Tunisia suasananya berbeda. Kebebasan sangat terasa. Koran-koran yang mendukung maupun mengecam pemerintah tersedia dan dijual secara bebas serta terbuka di area Jalan Habib Bourguiba. Debat secara terbuka antara pengamat atau politisi pendukung dan oposisi pemerintah bisa ditonton di stasiun televisi atau radio milik pemerintah.
Siklus pemilu demokratis juga masih digelar secara rutin di Tunisia tanpa ada rekayasa atau dikte dari pemerintah. Mengenai pemilu parlemen pada Desember 2022 yang hanya diikuti partisipan dengan persentase yang rendah, yakni sekitar 11 persen saja, itu menunjukkan adanya kebebasan rakyat untuk berpartisipasi atau menolak ikut pemilu.
Rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilu itu juga menunjukkan gagalnya seruan pemerintah agar rakyat berpartisipasi dalam pemilu. Pemerintah juga tidak memanipulasi jumlah rakyat yang ikut pemilu. Pemerintah secara jujur menyampaikan tentang partisipasi yang rendah dalam pemilu. Ini menunjukkan kebebasan masih dijaga dan ditegakkan oleh semua pihak di Tunisia.
AP/TUNISIAN PRESIDENCY/SLIM ABID
Presiden Tunisia Kais Saied (kanan) berbicara dengan Pelaksana Tugas Menteri Dalam Negeri Tunisia Ridha Gharsallaoui seusai upacara pelantikannya di Istana Kepresidenan Carthage, luar Tunis, Tunisia, 29 Junli 2021.
Rakyat Tunisia kini menunggu pemilu presiden tahun 2024. Apakah Presiden Saied, jika mencalonkan lagi, akan terpilih lagi? Para pengamat di Tunisia menyebut, pemilu presiden tahun 2024 akan menjadi semacam referendum rakyat terhadap kebijakan Saied selama ini.
Jika Saied terpilih lagi, hal itu menunjukkan bahwa rakyat mendukung kebijakan Saied selama ini. Sebaliknya, apabila Saied tidak terpilih lagi, berarti rakyat menolak kebijakan Saied.
Karena itu, pemilu presiden tahun 2024 sangat ditunggu-tunggu oleh pendukung maupun oposisi pemerintah. Sejauh ini, Saied masih belum mengumumkan akan mencalonkan atau tidak mencalonkan lagi dalam pilpres Tunisia tahun 2024.
Dengan adanya kebebasan berpendapat tersebut, bahkan termasuk mengkritik presiden, Tunisia masih layak disebut negara demokrasi.