Kekeringan diprediksi melanda wilayah Indonesia. Dampaknya antara lain gagal panen, kebakaran hutan dan lahan, serta memengaruhi kesehatan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Jawa, Nusa Tenggara, sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berisiko mengalami kekeringan dan curah hujan di bawah normal. El Nino dan Indian Ocean Dipole yang muncul bersamaan dan semakin menguat pada semester II-2023 menjadi penyebabnya.
Fenomena suhu muka laut di bagian tengah dan timur Samudra Pasifik yang menghangat ini mesti dihadapi dengan matang dan terkoordinasi. Penurunan produksi pangan, kebakaran hutan dan lahan, pengaruh terhadap kesehatan manusia, dan dampak lainnya mesti diantisipasi.
Terkait kebakaran hutan dan lahan, beberapa daerah sudah menyiagakan personel dan langkah antisipasi. Di Sumatera Selatan, peningkatan jumlah titik panas diantisipasi. Delapan tahun terakhir, jumlah titik panas meningkat mulai April dan memuncak pada Agustus-September (Kompas, 19/5/2023).
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas berusaha memadamkan kebakaran di kawasan hutan jati Kecamatan Kedungjati, Grobogan, Jawa Tengah, Agustus 2020. Risiko kebakaran hutan di kawasan itu meningkat seiring berlangsungnya kemarau.
Kementerian Pertanian menyiapkan antara lain embung, rehabilitasi jaringan irigasi tersier, dan perpipaan. Hal ini berkaitan dengan produksi beras yang bisa terganggu cuaca kering. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, proyeksi produksi beras Indonesia pada Januari-April 2023 sebanyak 13,79 juta ton atau lebih tinggi dibandingkan Januari-April 2022 yang 13,71 juta ton. Namun, proyeksi produksi pada Maret 2023 sebanyak 5,27 juta ton dan April 2023 sebanyak 3,51 juta ton, lebih rendah dibandingkan produksi bulanan pada Maret dan April 2022.
Sejumlah lembaga dunia mengingatkan dampak El Nino. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan, risiko tak hanya dihadapi negara-negara yang mengalami kekeringan, seperti di Asia dan Australia. Risiko juga bisa dihadapi negara-negara yang mengalami curah hujan ekstrem, yakni di Amerika Serikat bagian selatan dan wilayah selatan Amerika Selatan. Akibatnya sama, yakni memengaruhi produksi pangan.
Melalui peringatan dini, negara-negara yang berisiko bisa mengambil langkah awal dan antisipatif. Pada 2015-2016, El Nino berdampak pada sekitar 60 juta orang di 23 negara.
Nmaun, proyeksi produksi pada Maret 2023 sebanyak 5,27 juta ton dan April 2023 sebanyak 3,51 juta ton, lebih rendah dibandingkan produksi bulanan pada Maret dan April 2022.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Dayuna, petani, menunjukkan sawah yang puso akibat kekeringan di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Juli 2018.
Di laman Forum Ekonomi Dunia (WEF) disebutkan, fenomena iklim ini akan berpengaruh signifikan pada keamanan pangan dan pertanian global. Dampak itu bisa jadi tak dirasakan seketika. Dicontohkan, di Indonesia dan Malaysia, produsen 80 persen minyak sawit dunia, kekeringan dialami pada semester II-2023. Namun, dampak kekeringan itu terhadap produksi sawit baru dirasakan pada 2024.
Dalam rilis terbaru, Juni 2023, Bank Dunia menyinggung soal El Nino, dikaitkan dengan iklim sebagai salah satu risiko dalam produksi hasil pertanian. Ketidakamanan pangan merupakan tantangan bagi negara-negara berkembang.
Dengan berbagai masukan dan peringatan itu, tidak ada alasan Indonesia tak bersiap menghadapi El Nino dan dampaknya. Seperti peribahasa, sedia payung sebelum hujan, ada baiknya menyiapkan diri untuk menghadapi hal buruk.