Sogok, suap, atau korupsi telah menjadi isu besar di kalangan perusahaan teknologi. Pengungkapan berbagai kasus memperlihatkan bahwa mereka tidak steril dari upaya-upaya tercela, pun kemungkinan terjadi di Indonesia.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Selama 2022, sejumlah perusahaan teknologi di sejumlah negara harus berhadapan dengan penegak hukum karena masalah pelanggaran kepatuhan tata kelola. Sogok dengan segala variasinya ditemukan di berbagai perusahaan teknologi. Temuan seperti ini juga terjadi di hampir setiap lini dan aktivitas perusahaan, termasuk ketika harus berurusan dengan otoritas saat menjelang penawaran saham perdana (IPO).
Kedengaran seperti aneh dan kadang orang beranggapan bahwa semua itu sangat kecil terjadi. Namun, laporan dari berbagai media menyebutkan, suap dapat muncul dengan cara yang tidak lazim dalam perusahaan teknologi, seperti perekrutan dengan preferensi calon tertentu, pemberian opsi saham menjelang IPO, dan pemberian peluang investasi. Di Indonesia kita sering mendengar pemberian uang untuk pembuat kebijakan, pemberian fasilitas untuk pihak yang berkepentingan secara berlebihan, dan membantu sanak famili dari mereka yang berkepentingan untuk bekerja di salah satu perusahaan.
Perhatian terhadap masalah ini makin menguat karena ditemukan banyak kasus dan juga munculnya beberapa kelemahan dalam penegakan sistem kepatuhan (compliance). Lembaga kepatuhan di perusahaan sering tidak berdaya berhadapan dengan struktur di dalam perusahaan. Belum lagi, untuk membangun fungsi kepatuhan yang benar-benar efektif, perusahaan harus mempertimbangkan dan menangani risiko kepatuhan yang biasanya unik di berbagai lini seperti terkait dengan produk, layanan, dan perjalanan mereka ke pasar finansial.
Awal tahun ini Tencent Holdings mengatakan bahwa mereka memecat lebih dari 100 karyawan karena mereka terlibat dalam kasus penyuapan dan penggelapan uang pada tahun lalu. Mereka juga memblokir 23 perusahaan untuk melakukan bisnis dengan raksasa perusahaan teknologi China tersebut karena diduga terkait dengan masalah penyuapan.
Harian South China Morning Post melaporkan, dari kasus tersebut diketahui bahwa ruang lingkup korupsi internal tampak lebih parah daripada tahun 2021. Pandangan ini muncul karena pada tahun itu baru ditemukan 70 staf dan 13 perusahaan yang termasuk di dalam daftar hitam. Beberapa kasus korupsi tahun lalu di China termasuk karyawan platform dan grup kontennya, yang bertanggung jawab atas portal berita Tencent, dan staf studio gim Timi dan Lightspeed yang merupakan andalan mereka, yang ditemukan telah menerima suap atau mencuri properti milik perusahaan.
Masalah yang sama muncul di India seperti dilaporkan Deloitte. Salah satu penghalang terbesar bagi kenaikan peringkat India di dalam Easy Doing Business adalah lingkungan peraturan yang rumit yang dihadapi oleh perusahaan yang ingin mengakuisisi tanah atau ruang komersial di India. Masalah ini menimpa perusahaan teknologi karena mereka mengembangkan tenaga lokal sehingga membutuhkan ruang kantor yang lebih besar. Mereka sering dihadapkan dengan tuntutan memberi ”hadiah” atau pembayaran gelap untuk hal-hal yang paling sederhana, termasuk bahkan ketika berurusan dengan pemerintahan daerah. Masalah ini menambah tekanan pada perusahaan agar mereka terhindar dari penundaan proyek mereka.
Contohnya, baru-baru ini Badan Pengawas Pasar Modal sedang melakukan penyelidikan internal terhadap sebuah perusahaan teknologi besar mengenai apakah pembayaran tertentu yang berkaitan dengan fasilitasnya di India dilakukan secara tidak benar dan melanggar undang-undang praktik korupsi. Kasus ini tampaknya menjadi kasus pertama yang melibatkan operasi perusahaan teknologi besar di India.
Secara tradisional, ada anggapan bahwa perusahaan teknologi di India kurang rentan terhadap risiko korupsi karena berkurangnya tingkat regulasi di industri dibandingkan dengan sektor-sektor seperti manufaktur dan ritel. Namun, India adalah salah satu penyedia layanan teknologi terbesar di dunia dan beberapa perusahaan teknologi multinasional mempertahankan tenaga kerja yang sangat besar di India dengan operasi di beberapa kota sehingga terkadang mengharuskan perusahaan berinvestasi di ruang kantor atau fasilitas riset mereka sendiri daripada menyewa ruang komersial. Kebutuhan ini membuka peluang sogok dan korupsi agar mendapatkan kemudahan.
Lima tahun lalu Microsoft menjadi salah satu perusahaan ternama yang diselidiki atas tuduhan korupsi dan penyuapan. Departemen Kehakiman AS dan Securities and Exchange Commission (SEC) memeriksa keadaan seputar penjualan perangkat lunak Microsoft ke perusahaan di Hongaria pada 2013 dan 2014. Microsoft diduga telah menjual perangkat lunak, seperti Word dan Excel yang selalu populer, dengan diskon besar kepada perusahaan yang bertindak sebagai perantara. Perusahaan-perusahaan ini kemudian menjual perangkat lunak tersebut ke lembaga pemerintah dengan harga penuh. Investigasi sedang mencoba untuk menentukan apakah uang yang dihasilkan dari penjualan kembali digunakan untuk menyuap pejabat Hongaria.
Waktu itu Wakil Penasihat Umum Microsoft David Howard telah menyatakan bahwa perusahaan bekerja sama dengan pihak berwenang dan mengatakan perusahaan telah bereaksi dengan cepat pada tahun 2014 ketika menyadari potensi kesalahan. Empat orang telah diberhentikan oleh Microsoft atas tuduhan hukum Hongaria dan perusahaan telah mengakhiri sejumlah hubungan bisnis di negara itu karena apa yang dikatakannya sebagai pelanggaran terhadap kebijakan perusahaannya.
Sogok, suap, atau korupsi telah menjadi isu besar di kalangan perusahaan teknologi. Pengungkapan berbagai kasus memperlihatkan bahwa mereka tidak steril dari upaya-upaya tercela, pun kemungkinan terjadi di Indonesia. Pemerintah makin sulit untuk mendeteksi aktivitas curang mereka. Pengaturan oleh pemerintah juga makin sulit dilakukan karena mereka makin membesar. Di Indonesia operasi mereka menggunakan ”tangan-tangan lain” sehingga perusahaan terkesan bersih. Kita tinggal menunggu fenomena ini terungkap.
Semua itu mengingatkan kita pada perkataan mantan Kepala Pelobi Perusahaan Taksi Uber di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Mark MacGann yang membocorkan lebih dari 124.000 dokumen perusahaan ke Guardian tahun ini. Ia mengungkapkan bagaimana perusahaan transportasi daring melanggar hukum, menipu polisi, mengeksploitasi kekerasan terhadap pengemudi, dan diam-diam melobi pemerintah dari tahun 2013 hingga 2017.
MacGann mengatakan, pemerintah di sejumlah negara masih berjuang untuk mengendalikan perusahaan teknologi besar. Pemerintah dan demokrasi sering kalah dalam pertempuran ketika harus mengatur perusahaan teknologi besar. Beberapa perusahaan teknologi ini menjadi terlalu besar untuk diatur, lebih kaya, serta lebih kuat daripada beberapa negara bagian yang mencoba mengaturnya. Peringatan ini menjadi cambuk untuk pemerintah agar tidak kalah dan silau dalam memandang kehadiran perusahaan teknologi.