Harga Telur Naik, Peternakan Modern sebagai Solusi
Penerapan teknologi dalam pengelolaan dan penyediaan bahan pakan serta pengelolaan data base kebutuhan peternak ayam petelur dapat menjadi solusi dalam akar permasalahan yang terjadi di komoditas produk peternakan.
Oleh
SARI PUTRI DEWI
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Produk peternakan sebagai dasar kebutuhan pokok manusia akan terus menjadi topik yang sangat perlu dibahas. Hal tersebut tidak terlepas dari masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Isu yang cukup baru terjadi adalah kenaikan harga telur ayam yang tidak terkendali. Mengapa ini bisa terjadi?
Apabila kita lihat dari sisi kebutuhan peternak dalam memproduksi telur, ada dua hal yang menjadi faktor terjadinya fluktuasi harga telur ras. Pertama, ketersediaan dan harga pakan. Faktor pakan menjadi faktor utama dalam produksi peternakan ayam petelur. Secara umum, pakan menjadi komponen biaya terbesar, sekitar 60-70 persen dari total biaya produksi ayam petelur.
Apabila kita lihat lebih jauh, pakan ayam petelur tersebut berasal dari bahan-bahan impor. Contoh beberapa bahan ransum ayam petelur adalah jagung, kedelai, dedak padi, tepung ikan, tepung tulang, premix vitamin dan mineral, bungkil kacang tanah, dan zat aditif lainnya sesuai kebutuhan. Bahan ransum yang paling tinggi digunakan oleh ayam petelur adalah jagung, rata-rata 50-60 persen dari total bahan pakan untuk ransum ayam petelur.
Indonesia masih mengimpor jagung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor jagung pada Januari 2023 masih meningkat signifikan apabila dibandingkan pada periode Desember 2022, yaitu naik sekitar 76,65 juta kilogram atau sekitar 26,16 persen. Selain itu, kebutuhan jagung di Indonesia bukan hanya untuk bahan pakan ternak, tetapi juga beririsan dengan bahan pangan untuk masyarakat.
Untuk memecahkan masalah ini, perlu ada langkah taktis dan dinamis dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan terkait dari pemerintah, lembaga keilmuan seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan perguruan tinggi, pengusaha, serta peternak. Sinergisitas seluruh pemangku kepentingan tersebut diperlukan dalam mengembangkan bahan pakan yang dapat terbuat dari bahan yang tidak bergantung terhadap bahan pakan impor atau menggunakan hasil ikutan pertanian dan perkebunan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja menjemur biji jagung di Desa Tambak, Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (14/9/2022). Jagung tersebut dikeringkan dengan cara dijemur selama dua hari dan kemudian digunakan untuk pakan ayam.
Penulis melihat ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan menggunakan fiber cracking technology atau teknologi pemecah serat, yaitu metode menggunakan suhu dan tekanan tinggi untuk memecah serat yang ada di dalam hasil ikutan pertanian seperti bungkil jagung agar dapat dikonsumsi ayam petelur. Teknologi ini pernah penulis uji pada saat penelitian doktor penulis untuk membuat ransum ruminansia dari hasil ikutan pertanian dan perkebunan yang melimpah di Indonesia, bersama Prof Anuraga Jayanegara.
Hal tersebut bukan tidak mungkin untuk industri ayam petelur karena hasil ikutan pertanian dan perkebunan masih memiliki kandungan nutrisi yang dapat dimanfaatkan untuk digunakan kembali menjadi ransum ternak. Sentuhan teknologi dan metode yang tepat dapat menyelesaikan isu terkait dengan kebutuhan bahan ransum yang masih memiliki kendala terkait dengan ketersediaan di dalam negeri.
Kementerian Pertanian mendorong pengembangan peternakan modern berbasis teknologi presisi.
Selain faktor pakan, faktor kedua adalah terkait dengan perencanaan yang tidak presisi dari kebutuhan pasar dan produksi yang terjadi. Belum ada sistem yang sinergis dan modern untuk mengukur kebutuhan masyarakat yang presisi. Sesuai arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kementerian Pertanian mendorong pengembangan peternakan modern berbasis teknologi presisi. Artinya, selain tata kelola peternakan yang modern dari hulu, secara hilir pun harus menjadi suatu proses yang memudahkan dalam produksi dan distribusi ke masyarakat.
Contoh kasus yang sering terjadi, harga telur naik pada saat momen momen tertentu seperti Idul Fitri, tahun baru, dan sebagainya. Padahal momen-momen tersebut merupakan momen yang selalu terjadi dan bisa diprediksi. Sehingga, pemerintah bisa bersinergi untuk tetap menjaga ketersediaan untuk menjaga stabilitas harga di pasar.
Sistem teknologi presisi ini mesti dilakukan melalui sistem big data. Untuk ini, pemerintah bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan pelaku peternakan ayam petelur untuk melakukan input berupa data real time mengenai produksi telur serta kondisi terkait isu yang ada di hulu peternak ayam petelur. Input informasi tersebut dapat membantu secara program pemerintah untuk melakukan tindakan yang tepat sasaran dalam mengatasi permasalahan yang terjadi sehingga pada akhirnya menjaga stabilitas harga ayam petelur.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Peternak memanen telur di sebuah peternakan ayam petelur di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/5/2023).
Di era modern saat ini, sistem big data tersebut merupakan sistem yang dapat dilakukan dengan adanya integrasi inputberupa informasi kondisi peternak ayam petelur akan menciptakan output stabilitas harga telur di pasaran selalu stabil. Ditambah dengan adanya teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang sedang berkembang pesat saat ini mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Ahli teknologi informasi perlu dirangkul dalam pengembangan teknologi database ini hingga hal ini akan menjadi sebuah terobosan baru di bidang peternakan khususnya dan umumnya di pertanian.
Dengan merujuk ke obyektif awal penulis mengenai peternakan modern, penulis melihat dua hal di atas, yaitu penerapan teknologi dalam pengelolaan dan penyediaan bahan pakan serta pengelolaan database kebutuhan dan isu peternak ayam petelur, dapat menjadi solusi dalam akar permasalahan yang terjadi dari hampir seluruh komoditas produk peternakan di Indonesia. Konsep ideal ini akan membantu dalam menjalankan peternakan berkelanjutan.
Ke depan, dengan adanya database berupa bahan pakan potential dan kondisi permasalahan yang ada, pemerintah melalui kebijakannya akan dengan mudah menentukan arah kebijakan guna memberikan program bantuan atau intervensi dalam menjalankan roda sektor peternakan yang menjadi akar permasalahan. Selain itu, masyarakat akan mendapatkan keuntungan dengan dapat mendapatkan nutrisi hewani dengan harga yang stabil murah serta dapat memenuhi kebutuhan nutrisi protein hewani yang terjangkau.
Sari Putri Dewi, Dosen Teknologi dan Manajemen Ternak, Sekolah Vokasi IPB University