Dunia Terhindar dari Bencana Keuangan
Kongres AS memberikan persetujuan penangguhan ”debt ceiling” atau batas plafon utang Pemerintah AS. Tanpa ada kelonggaran atau kenaikan plafon utang, dipastikan ekonomi AS akan kolaps karena tidak lagi memiliki uang.

Ilustrasi
Dunia bernapas lega setelah Kongres Amerika Serikat memberikan persetujuan atas penangguhan debt ceiling atau batas plafon utang Pemerintah AS pada 1 Juni 2023 lalu.
Keputusan bersejarah tersebut diambil beberapa hari sebelum 5 Juni 2023, di mana Pemerintah AS akan dinyatakan default alias bangkrut. Penundaan dilakukan sampai dengan 1 Januari 2025 sehingga memberikan keleluasaan kepada Pemerintah AS untuk membuat utang baru guna membiayai kegiatan operasional sehari-hari.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Janet Yellen memberikan peringatan, kegiatan operasional pemerintah hanya bisa bertahan sampai 1 Juni sebelum kehabisan uang. Sesuai dengan konstitusi negara ”Paman Sam”, pemerintah diberi kewenangan meminjam uang dengan mengeluarkan obligasi pemerintah (government bond), dengan batasan yang harus disetujui parlemen.
Masalahnya adalah saat ini utang pemerintah sudah mentok ke batas maksimum 31,4 triliun dollar AS sampai dengan Januari 2023. Tanpa adanya keputusan dari parlemen AS, dipastikan pemerintah akan mengalami gagal bayar sebesar 31,4 triliun dollar AS. Tanpa adanya kelonggaran atau kenaikan plafon utang, dipastikan ekonomi AS akan kolaps karena tidak lagi memiliki uang untuk membiayai kegiatan ekonominya.
Baca juga : Ekonomi Jerman dan AS Krisis, Indonesia Terkendali
Keberhasilan penundaan itu tak lepas dari perjuangan keras pemerintahan Partai Demokrat yang dipimpin Presiden Joe Biden untuk meyakinkan parlemen yang dikuasai Partai Republik sebagai oposisi.
Kedua belah pihak pada akhirnya bersepakat tanpa adanya penundaan ataupun peningkatan plafon utang, bisa dipastikan pemerintah tidak punya likuiditas yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kewajibannya.
Kesepakatan untuk menangguhkan plafon utang tersebut memang disertai dengan berbagai syarat yang ketat, yang bertujuan agar Pemerintah AS tak terjebak dalam jurang utang yang lebih besar lagi.
Rasio utang Pemerintah AS terhadap produk domestik bruto (PDB) per Desember 2022 telah mencapai 123,4 persen. Sebagai perbandingan, rasio utang raksasa ekonomi dunia lainnya, yaitu China, adalah 76,90 persen pada periode yang sama. Sementara Inggris 97,2 persen, Jerman 66,4 persen, dan Perancis 111,06 persen.
Untuk Indonesia, rasio utang terhadap PDB pada akhir 2022 adalah 39,57 persen, turun dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 41 persen.

Potensi dampak buruk
Para ekonom sudah memberikan peringatan keras mengenai berbagai kemungkinan skenario buruk apabila parlemen AS tak sepakat dengan pemerintah mengenai plafon utang tersebut. Termasuk potensi dampak buruknya bagi perekonomian domestik AS.
Setidaknya ada beberapa dampak besar yang akan terjadi apabila tidak ada kesepakatan tersebut. Pertama, pemerintah tak lagi mampu membayar gaji pegawai-pegawai pemerintah untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Kedua, pembayaran dana sosial untuk berbagai kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan keuangan menjadi tertunda, bahkan tidak terbayarkan lagi.
Ketiga, munculnya ketidakpercayaan yang begitu besar dari warga AS terhadap pemerintahannya sendiri, dan ini bisa berakibat pada ketidakstabilan kondisi politik dan ekonomi negara tersebut.
Keempat, menciptakan pengangguran yang lebih besar bagi warga AS karena pemerintah tak lagi memiliki cukup dana untuk membuka lowongan pekerjaan baru. Sebuah analisis yang dilakukan lembaga pemeringkat internasional, Moody’s, bahkan meramalkan akan turunnya PDB negara tersebut, yang diikuti dengan kenaikan pengangguran sebesar 5 persen, dan dua juta orang akan kehilangan pekerjaan.
Para ekonom sudah memberikan peringatan keras mengenai berbagai kemungkinan skenario buruk apabila parlemen AS tak sepakat dengan pemerintah mengenai plafon utang tersebut.
Selain dampak negatif pada perekonomian domestik AS, kegagalan mencapai kesepakatan soal penangguhan plafon utang AS juga akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi dan keuangan global. Konektivitas perekonomian global yang terjadi selama ini memungkinkan terjadinya efek domino.
Adanya krisis di suatu negara bisa menjalar dengan sangat cepat ke negara-negara lain. Pasar keuangan global menjadi salah satu yang sangat terdampak apabila Pemerintah AS mengalami gagal bayar pada 5 Juni 2023. Ditambah posisi kunci ekonomi AS yang masih menjadi motor penggerak ekonomi global menjadikan bangkit atau jatuhnya ekonomi Paman Sam akan berpengaruh terhadap perekonomian global.
Pertama, di satu sisi, gagal bayarnya Pemerintah AS membuat mata uang dollar AS kehilangan kepercayaan di mata para investor sehingga mereka berpotensi beramai-ramai membuang dollar AS. Kondisi tersebut akan membuat nilai tukar dollar AS turun dan mengalami depresiasi terhadap mata uang lainnya.
Di sisi lainnya, mata uang dollar AS masih menjadi bagian penting dari portofolio cadangan devisa di hampir semua negara, termasuk Indonesia sendiri. Jatuhnya nilai dollar AS akan membuat gubernur bank sentral di hampir semua negara mengalami pusing kepala.
Selama ini, dollar AS dianggap sebagai mata uang yang paling tepat sebagai portofolio cadangan devisa ataupun bagian dari portofolio pendapatan korporasi. Dengan turunnya nilai tukar dollar AS, cadangan devisa yang dimiliki hampir semua negara akan mengalami penurunan nilai terhadap mata uang lokalnya.

Kedua, ekonomi AS saat ini juga dalam kondisi tidak baik- baik saja karena masih tingginya ancaman inflasi yang membuat bank sentral AS (The Federal Reserve) menerapkan kebijakan moneter ketat melalui suku bunga tinggi.
Apabila benar-benar pemerintah mengalami gagal bayar, tentunya akan membuat likuiditas yang mengalir ke pasar menjadi semakin sedikit. Kondisi tersebut dapat membuat pasar uang global menjadi panik sehingga harga obligasi berpotensi mengalami penurunan.
Pasar saham diperkirakan ambruk walaupun intensitasnya akan berbeda untuk setiap negara. Dalam jangka pendek, indeks harga saham diperkirakan anjlok sebagai akibat dari ketidakpercayaan investor terhadap prospek perekonomian global.
Ketiga, ekspor global, khususnya dari negara-negara berkembang, sangat bergantung pada pasar AS yang sangat besar. Impor barang dari negara- negara berkembang akan turun sejalan dengan menurunnya permintaan konsumen di AS sehingga memberikan dampak berantai yang signifikan pada pendapatan ekspor negara-negara berkembang.
Keempat, apabila gagal bayar terjadi, peringkat (rating) utang Pemerintah AS akan merosot, bahkan sampai ke level gagal bayar (default). Konsekuensinya, harga obligasi Pemerintah AS, terutama treasury bonds, akan jatuh, dan membuat investor akan beramai-ramai menjualnya.
Apabila benar-benar pemerintah mengalami gagal bayar, tentunya akan membuat likuiditas yang mengalir ke pasar menjadi semakin sedikit.
Di sinilah akan muncul potensi doomsday scenario yang menakutkan bagi pemegang obligasi Pemerintah AS, yaitu pengembalian piutang yang jatuh tempo kemungkinan tidak bisa dibayarkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Bagi Jepang, China, dan Inggris, yang saat ini menguasai sekitar 35 persen dari peredaran treasury bonds, jatuhnya harga obligasi AS akan berdampak langsung terhadap perekonomian mereka. Tak mustahil kondisi itu akan menyeret perekonomian negara-negara tersebut ke arah penurunan.
Pelajaran berharga
Kita bersyukur pada akhirnya kerja sama parlemen dan Pemerintah AS mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cepat sehingga dunia dapat terhindar dari ancaman krisis keuangan global yang belum dapat diprediksi seberapa besar dampaknya.
Untuk sementara, dunia terselamatkan dari potensi ancaman munculnya risiko kredit dan risiko likuiditas yang mungkin sangat parah. Pengaruh kedua risiko tersebut bukan hanya di segmen pemerintahan, melainkan juga berlaku untuk segmen lembaga jasa keuangan maupun investor individual.
Namun, Pemerintah AS hanya diberikan waktu penundaan selama dua tahun, yaitu sampai dengan 1 Januari 2025.
Ancaman untuk jangka pendek untuk sementara dapat diatasi, tetapi kita belum tahu apakah setelah 1 Januari 2025 nanti kondisinya akan lebih baik atau malah memburuk. Di sinilah kita melihat adanya suatu pelajaran berharga yang bisa kita tarik dari kejadian itu.

Pertama, selama ini mata uang dollar AS menjadi semacam safe haven dan aset yang sangat berharga bagi hampir semua pemerintah dan sebagian besar lembaga jasa keuangan sehingga mereka menyimpan mata uang tersebut dalam jumlah besar.
Pada saat ekonomi AS stabil, memang tidak masalah; tetapi dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, akan muncul berbagai masalah. Untuk itulah, perlu mulai dipikirkan diversifikasi terhadap portofolio cadangan devisa ataupun portofolio investasi yang dimiliki korporasi. Tak salah apabila saat ini sudah muncul adanya pergeseran ataupun pengurangan portofolio dollar AS ke mata uang lainnya.
Demikian halnya semakin banyaknya negara ataupun korporasi yang menggunakan mata uang lain sebagai alat perdagangan global. Sudah saatnya mereka melirik mata uang lain yang punya kekuatan ekonomi besar, seperti yuan (renminbi) China, euro, dan yen Jepang, sebagai bagian dari portofolio investasi ataupun alat pembayaran global.
Kedua, jangan menjadikan pasar AS sebagai satu-satunya tujuan ekspor barang komoditas ataupun hasil manufaktur. Memang ukuran ekonomi negara Paman Sam tersebut sangat besar dan menarik, di samping masyarakat AS sendiri dianggap sangat konsumtif. Jumlah penduduk kelas menengah yang besar didukung dengan pengeluaran yang besar menjadikan negara tersebut tujuan ekspor dari banyak negara.
Namun, perlu terus dijajaki diversifikasi tujuan pasar ekspor ke negara-negara lain sehingga apabila terjadi ketidakstabilan di negara itu, masih ada peluang besar di negara lain.
Bahkan, dari berbagai studi dan ramalan, kekuatan ekonomi China tetap menjadi nomor satu dan belum mampu tersaingi dengan kekuatan ekonomi AS.
Ketiga, sudah saatnya setiap negara mengurangi ketergantungan ekonomi kepada AS. Menurut ramalan Lowy Institute Asia Power Index (2023), PDB China akan menjadi yang terbesar di dunia pada 2030, dengan nilai 43,88 triliun dollar AS, diikuti oleh AS dengan nilai PDB sebesar 28,70 triliun dollar AS. Kemudian, India di tempat ketiga 17,95 triliun dollar AS.
Bahkan, dari berbagai studi dan ramalan, kekuatan ekonomi China tetap menjadi nomor satu dan belum mampu tersaingi dengan kekuatan ekonomi AS. India, Indonesia, Brasil, dan Afrika Selatan serta Turki dianggap sebagai kekuatan ekonomi baru dalam jangka panjang sehingga sudah saatnya mengurangi ketergantungan dengan AS dalam beberapa hal.
Agus Sugiarto,Kepala OJK Institute.

Agus Sugiarto