Ikrar NKRI dan Potensi Deradikalisasi Kolektif
Tanggal 1 Juni tahun ini menjadi momen bersejarah bagi 76 narapidana terorisme yang menyatakan ikrar setia kepada NKRI. Bagaimana membaca fenomena ini dan merawat momentum ikrar NKRI agar tidak hanya upacara seremonial?
Perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni tahun ini terasa berbeda. Sebanyak 76 narapidana terorisme menyatakan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dan siap kembali berkarya untuk Indonesia.
”Tanggal 1 Juni ini bukan hanya hari yang bersejarah bagi Indonesia, melainkan juga menjadi momen bersejarah bagi mereka (narapidana terorisme) yang menyatakan ikrar setia kepada NKRI di Lapas ini,” demikian ditegaskan oleh R Andika Dwi Prasetya Andika, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jawa Barat.
Bagaimana membaca fenomena ini? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana merawat momentum ikrar NKRI ini agar tidak hanya berhenti pada ”upacara seremonial” dan menjadikannya sebagai modal sosial yang dapat mendukung proses integrasi sosial dan juga upaya pencegahan.
Baca juga: Sebanyak 76 Napi Teroris Ikrar Setia Kepada NKRI
Baca juga: Ikrar Setia 76 Warga Binaan Terorisme Disambut Skeptis Pengkaji Terorisme
Tiga catatan
Pada pertanyaan pertama, paling tidak ada tiga catatan yang perlu diperhatikan bersama dari peristiwa di atas.
Pertama, para narapidana terorisme ini pada posisi yang ”kalah”, yaitu posisi mereka dipenjara. Secara teoretis, ketika orang berada di penjara, yang terjadi adalah survival mechanism atau mekanisme untuk bisa bertahan hidup. Logikanya, apa pun akan dilakukan oleh siapa pun yang dipenjara untuk bisa meringankan beban hukuman yang diterima.
Kedua, bagaimana mungkin orang yang baru menjalani hukuman di bawah lima tahun tiba-tiba berubah cara pandangnya begitu drastis? Perlu diingat bahwa di antara mereka itu, banyak yang lebih lama berada di dalam tubuh jaringan terorisme dibandingkan dengan di dalam penjara. Dengan kata lain, proses internalisasi nilai-nilai organisasi lama lebih dalam daripada nilai-nilai di luar nilai organisasi, seperti menerima sistem negara Indonesia.
Ketiga, trust atau kepercayaan itu tidak bisa muncul secara tiba-tiba. Dalam bahasa Inggris, kata trust sering dikaitkan dengan kata earn (mendapatkan). Dalam Collins Dictionary dicontohkan, ”If you earn money, you receive money in return for what you do” (Jika kamu mendapat uang, kamu mendapatkan uang dari apa yang kamu kerjakan).
Ini artinya sebuah proses di mana kita harus bekerja keras untuk mendapatkan trust. Sangat sulit mendapatkan trust, tapi sangat mudah menghancurkannya.
Oleh karena itu, para operator di lapangan sering bercanda tentang para eks narapidana terorisme itu dengan istilah ”Belanda, ya, Belanda”. Artinya, meskipun mereka telah berikrar setia kepada NKRI, hal itu tidak menjamin bahwa ideologi mereka telah berubah.
Radikalisme kolektif
Pada pertanyaan kedua, sebagai seorang peneliti isu terorisme, penulis melihat ikrar NKRI tersebut sebagai sebuah proses alami awal keluar dari jaringan terorisme. Secara strategis, oleh karena itu, proses ini dapat dimanfaatkan untuk lahirnya reformasi dalam gerakan bawah tanah, seperti Jamaah Islamiyah (JI), agar menjadi lebih santun dan menanggalkan sayap militernya.
Proses ini bukanlah pula pola baru dalam gerakan terorisme di dunia. Hal yang sama telah terjadi di JI Mesir. Para pemimpin JI di sana melakukan collective deradicalization atau meninggalkan sayap militer mereka berdasarkan kesepakatan bersama para anggotanya.
Dalam tulisan opini di koran The Washington Post bertajuk ”Deradicalization Revisited” (2015), Omar Ashour menulis bahwa ada dua hal penting yang harus dilakukan agar proses deradikalisasi bisa terjadi secara kolektif.
Yang pertama adalah program security sector reform (SSR) atau reformasi sektor keamanan. Ashour menulis bahwa transisi dari kegiatan bersenjata ke kegiatan tak bersenjata cenderung tidak dapat dipertahankan, kecuali ada proses reformasi sektor keamanan yang menyeluruh. Proses reformasi ini harus mencakup perubahan prosedur standar operasi (SOP), kurikulum pelatihan dan pendidikan, kriteria kepemimpinan dan promosi, serta pengawasan dan akuntabilitas oleh lembaga-lembaga terpilih dan peradilan.
Perlu diingat bahwa di antara mereka itu, banyak yang lebih lama berada di dalam tubuh jaringan terorisme dibandingkan dengan di dalam penjara.
Pelanggaran sektor keamanan, dan kurangnya akuntabilitas untuk mengatasi pelanggaran itu, telah menjadi kontributor utama yang memicu dan mempertahankan radikalisasi bersenjata. Pola ini dapat dibaca pada kasus Sayyid Qutb, yang secara signifikan mengubah ideologinya setelah menyaksikan penyiksaan di penjara Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser, pada 1957.
Ideologi jihadisme dan takfirisme lahir di penjara politik Mesir pada 1960-an, ketika penyiksaan menjadi bagian dari praktik sehari-hari yang sistematis.
Dalam konteks Indonesia, Irjen Marthinus Hukom, petinggi Densus 88, berkali-kali menekankan pentingnya dialog dengan tersangka tindak pidana terorisme dalam proses penyidikan.
Namun, ini tidak menjamin bahwa kekerasan tidak terjadi pada tingkat praktik di lapangan, terutama jika tersangka tidak kooperatif, seperti berbohong atau memberikan informasi yang menyesatkan penyidikan.
Syarat kedua adalah perlunya program disarmament, demobilization, and reintegration (DDR) atau pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi.
Politisasi proses tersebut serta kegagalannya di Libya dan Yaman setelah revolusi Libya dan pemberontakan Yaman menyebabkan munculnya beberapa aktor non-negara bersenjata—sebuah fenomena yang bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Aparat masih percaya bahwa tidak semua aset JI, terutama senjata, telah ditemukan dan diserahkan kepada aparat. Itu berarti komunitas ini belum ”ikhlas dan rida” melepaskan aspek militer dalam gerakannya.
Oleh karena itu, dalam kajian terorisme, proses ikrar NKRI ini masih pada tahap disengagement atau ”proses berlepas diri dari penggunaan kekerasan” dalam mencapai tujuan politik. Apakah mereka masih ”radikal” secara pemikiran? Ini di luar kemampuan penulis untuk menilai. Penulis bukan ahli psikologi yang mempunyai alat ukur canggih untuk bisa memahami apakah seseorang itu masih radikal atau tidak.
Namun, penulis yakin bahwa mereka, terutama dari kalangan JI, dari sisi ideologi, masih menginginkan terwujudnya tamkin atau kemenangan hukum Islam di dunia ini. Bagi penulis, hanya waktu, bacaan (ilmu), dan interaksi sosial yang berbedalah yang akan menguji seberapa kuat imajinasi tamkin akan bertahan.
Jika proses ”pencerahan” ini terjadi, mereka berpotensi menjadi credible voice dalam mendorong kerja moderasi pada ekosistem mereka sendiri. Pada saat itulah, negara dan masyarakat harus mendukung karena proses ini tidak mudah.
Kampanye narasi tandingan dan narasi alternatif
Pilihan yang dilakukan negara untuk menghadang narasi kelompok radikal biasanya adalah narasi tandingan (counter-narrative). Narasi tandingan tersebut biasanya berupa rebuttal atau sanggahan yang bersifat ideologis terhadap narasi kelompok radikal.
Narator kampanye ini umumnya tokoh agama. Mereka dianggap mempunyai pemahaman mendalam tentang pandangan teologis di balik ideologi kelompok radikal. Narasi tandingan berupa sanggahan ideologis itu kemudian disebarluaskan melalui media, seperti buku, buklet, dan video pendek, serta dialog tatap muka dengan kelompok radikal seperti di penjara.
Sebagai alternatif, kisah mereka dapat membuka pikiran secara reflektif dan menumbuhkan benih keraguan dalam hati terhadap cara pandang mereka yang melihat dunia cenderung hitam-putih.
Menyusun dan menyebarkan counter-narrative atau kontranarasi adalah kerja yang relevan. Wildan, eks kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang sekarang menjadi fotografer profesional di Jawa Timur, menjelaskan, ”Orang menjadi teroris itu kalau bukan salah paham (terhadap teks agama) atau pahamnya yang salah. Karena itu, perlu ada literasi beragama bagi mereka.”
Kampanye kelompok radikal lebih mengedepankan aspek emosi daripada rasionalitas atau kebenaran dari narasi yang mereka tawarkan. Misalnya, menampilkan derita anak-anak dan perempuan di wilayah konflik.
Adapun materi narasi tandingan pemerintah cenderung berupa paparan ilmiah tentang dalil-dalil Al Quran dan hadis serta pendapat-pendapat ulama yang dianggap dapat meruntuhkan kebenaran narasi kelompok radikal.
Dengan kata lain, kampanye narasi tandingan lebih berfokus pada memenangi argumentasi teologis (cognitive) dan kurang menaruh perhatian pada perasaan (emotion).
Belajar dari situasi di atas, pendekatan narasi alternatif yang mengusung semangat cerita tanpa menggurui dapat melengkapi upaya narasi tandingan yang telah dilakukan negara melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan komponen masyarakat sipil lainnya di Indonesia.
Narasi alternatif yang menggunakan suara mantan pelaku yang sudah tersadarkan dari kekeliruan dalam memahami dan melakukan aksi jihad di masa lalu, seperti para narapidana terorisme yang telah ikrar NKRI, sangat penting.
Mereka bisa berbagi tentang proses mereka keluar dari jaringan kekerasan. Sebagai alternatif, kisah mereka dapat membuka pikiran secara reflektif dan menumbuhkan benih keraguan dalam hati terhadap cara pandang mereka yang melihat dunia cenderung hitam-putih.
Karena itu, narasi alternatif yang disusun oleh credible voice tidak secara frontal menyanggah ideologi kelompok radikal, tetapi memberikan alternatif pandangan hidup.
Penguatan peran ”invisible actors”
Narasi alternatif dari credible voice ini idealnya disandingkan dengan suara dari perempuan di sekitar pelaku kekerasan yang tidak terlibat langsung, tapi mendapat dampak atau akibat langsung.
Mereka ini biasanya disebut sebagai invisible actors—pelaku yang tak tampak. Mereka dapat bercerita bagaimana berjuang untuk ”memahami” apa yang dilakukan suami mereka dan menginternalisasinya kepada anak-anak mereka.
Hal ini berarti upaya deradikalisasi juga harus dapat mencatat bagaimana keluar dari stigma sebagai istri atau anak teroris. Mereka bisa berbagi cerita tentang cara keluar dari narasi-narasi tentang jihad yang ternyata sangat menyengsarakan mereka sebagai istri dan anak teroris itu.
Harap juga diingat, dalam melibatkan mereka, hindari cara pandang stereotipe yang naif bahwa seolah-olah perempuan (istri atau anak perempuan) tak memiliki agensi dan semangat untuk ”balas dendam” atas penderitaan suami, anak lelaki, atau ayah mereka.
Jika situasi batin mereka dalam pemahaman tentang apa yang diperjuangkan ayah atau suami mereka terinternalisasi, tak mustahil kelak, jika ada peluang, mereka dapat terhubung kembali dengan jaringan teroris yang mungkin memberikan rekognisi atau penghargaan atas peran-peran atau kepahlawanan suami atau ayah mereka yang patut dibanggakan dan dilanjutkan.
Karena itu, upaya deradikalisasi seharusnya bersifat komprehensif, menggunakan pendekatan yang interseksional, serta menyasar secara bijak laki-laki dan perempuan di lingkup pribadi dan keluarga meskipun yang melakukan kekerasan hanya pihak laki-laki (suami/ayah/anak).
Luka ini luka keluarga, bukan hanya pelaku kekerasan atau teroris yang terpisah dari nilai-nilai dalam keluarga.
Noor Huda IsmailVisiting Fellow RSIS NTU Singapore