Pandangan yang menyatakan Pancasila sebagai paradigma ilmu sejatinya keliru. Pancasila, sebagai ideologi negara, bukanlah paradigma ilmu. Hal yang paling mungkin adalah menjadikan Pancasila sebagai dasar aksiologis.
Oleh
TAUFIQURRAHMAN
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pada November 2022, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan Symposium on State Ideology and International Conference on Digital Humanities 2022 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Presiden Joko Widodo, dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, menegaskan perlunya menjadikan Pancasila sebagai paradigma ilmu.
Pandangan yang menyatakan Pancasila sebagai paradigma ilmu ini sangat populer. Pelaksana Tugas Kepala BPIP Hariyono juga mengemukakan pandangan ini pada 2019 (Kompas, 18/11/2019). Selain disampaikan oleh para pejabat, pandangan serupa juga dikemukakan oleh beberapa akademisi di ruang-ruang akademik. Profesor Sudjito, misalnya, yang merupakan mantan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, menyampaikan pandangan Pancasila sebagai paradigma ilmu dalam acara pelatihan dosen di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada 2015.
Pada 2006, Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga menyelenggarakan simposium bertajuk ”Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa”. Bahkan buku ajar mata kuliah Pendidikan Pancasila yang disusun oleh tim Kemenristekdikti pada 2016 secara tegas menyatakan bahwa ”perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya”.
Namun, meski populer dan bahkan masuk ke dalam materi buku ajar, pandangan tentang Pancasila sebagai paradigma ilmu ini sebenarnya keliru. Saya akan mengurai kekeliruan pandangan tersebut.
Konsep paradigma dalam diskursus ilmiah pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf ilmu yang sangat terkenal Thomas Kuhn pada 1962 melalui bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Kuhn (1996: 10) mendefinisikan paradigma sebagai ”beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang diterima—yang contoh-contohnya mencakup hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi—yang memberikan model bagi tradisi riset ilmiah tertentu yang koheren”.
Bagi Kuhn, kerja ilmiah itu seperti upaya menyusun kepingan-kepingan puzzle menjadi satu gambaran dunia yang koheren. Dalam menyusun kepingan-kepingan itu, kita biasanya memerlukan contoh gambar. Contoh gambar inilah analogi dari paradigma dalam kerja ilmiah. Ini berarti bahwa, bagi Kuhn, riset ilmiah sebagai upaya menyusun kepingan puzzle itu akan selalu mengandaikan hukum atau teori ilmiah tertentu atau juga praktik instrumentasi tertentu.
Hukum atau teori ilmiah yang sudah diterima oleh komunitas ilmiah inilah yang akan menjadi panduan bagi riset-riset ilmiah di masa-masa mendatang. Semisal, dalam astronomi, ada paradigma Ptolemaik sebelum kemudian digantikan oleh paradigma Kopernikan; atau, dalam fisika, ada paradigma Aristotelian sebelum kemudian diganti oleh paradigma Newtonian. Astronomi Kopernikan disebut sebagai paradigma dalam astronomi karena ia memberikan panduan tentang sistem tata surya bagi riset-riset astronomis selama ini.
Pancasila, sebagai ideologi negara, bukanlah paradigma ilmu dan tidak bisa menjadi paradigma ilmu karena tiga alasan. Pertama, Pancasila tidak bisa memberikan panduan bagi pemecahan teka-teki ilmiah apa pun, baik dalam konteks ilmu alam ataupun ilmu sosial. Pancasila berisi sejumlah nilai normatif, yaitu gambaran tentang apa yang ideal, bukan apa yang faktual.
Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa sila pertama berisi klaim faktual, yaitu klaim tentang keberadaan Tuhan. Namun, meski bukan klaim normatif, sila pertama ini tidak bisa menjadi panduan paradigmatik bagi kerja-kerja ilmiah sebab ia mengklaim sesuatu yang berada di luar wilayah kerja ilmu. Ilmu hanya bekerja dalam lingkup apa yang natural dan sosial, dan tidak dapat melangkah lebih jauh pada apa yang supranatural.
Oleh karena itu, ilmu tidak dapat membuktikan keberadaan ataupun ketiadaan Tuhan sehingga penjelasan-penjelasan ilmiah pun tak pernah mengasumsikan keberadaan Tuhan. Segala fenomena alamiah akan selalu dicari penjelasan alamiahnya juga. Dengan demikian, meski sila pertamanya dianggap sebagai klaim faktual, Pancasila tetap tidak dapat menjadi paradigma ilmu.
Pancasila tidak bisa memberikan panduan bagi pemecahan teka-teki ilmiah apa pun, baik dalam konteks ilmu alam ataupun ilmu sosial.
Kedua, paradigma ilmu itu selalu spesifik untuk bidang ilmu tertentu. Tidak ada paradigma tunggal yang berlaku untuk semua bidang ilmu. Paradigma evolusioner, misalnya, yang memberikan gambaran tentang teka-teki organisme hanya berlaku dalam biologi. Ia juga mungkin diterapkan dalam bidang lain seperti psikologi, sehingga kini muncul psikologi evolusioner. Hal itu terjadi sebab psikologi diasumsikan turunan biologi lantaran perilaku serta fenomena psikis manusia dapat dijelaskan dengan mengacu pada fenomena biologis.
Namun, paradigma evolusioner tidak dapat diterapkan pada bidang ilmu seperti fisika atau astronomi. Karena itu, jika Pancasila hendak dijadikan sebagai paradigma ilmu, perlu diperjelas ilmu apa yang kira-kira dapat mengadopsi Pancasila sebagai paradigma. Sejauh ini, gagasan Pancasila sebagai paradigma ilmu cenderung menganggap Pancasila dapat menjadi paradigma semua bidang ilmu. Itu sulit—untuk tidak menyebutnya mustahil—diwujudkan.
Ketiga, paradigma ilmu tidak digunakan sekali untuk selamanya. Dalam kerangka Kuhnian, ilmu itu berkembang melalui perubahan paradigma, seperti perubahan dari paradigma Ptolemaik ke paradigma Kopernikan dalam astronomi. Satu paradigma harus diganti ketika ia tak tahan mengatasi kritis, yaitu ketika ada banyak temuan-temuan empiris yang tak terjelaskan oleh, atau menyimpang dari, hukum atau teori dalam paradigma tersebut.
Artinya, jika entah bagaimana Pancasila dapat dijadikan sebagai paradigma bidang ilmu tertentu, ia harus dapat diganti oleh paradigma lain ketika terjadi krisis pada bidang ilmu tersebut. Namun, membuka kemungkinan untuk mengganti Pancasila sepertinya akan terbentur pada narasi dominan dan hegemonik bahwa Pancasila sudah final dan tidak dapat diganti-ganti lagi. Akan tetapi, di sisi lain, jika Pancasila dijadikan paradigma yang kebal dari revisi, bidang ilmu terkait akan mati sebab tidak dapat berkembang lagi.
Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai paradigma ilmu justru akan mendorong para ilmuwan berada dalam posisi dilematis: membuat bidang ilmunya sulit berkembang atau mengganti Pancasila dengan paradigma lain jika terjadi krisis.
Kemungkinan lain
Jika tidak bisa dijadikan sebagai paradigma, lalu Pancasila sebaiknya dijadikan apa dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu di Indonesia? Hal yang paling mungkin adalah menjadikan Pancasila sebagai dasar aksiologis, yaitu sebagai pemberi orientasi dan panduan etis, bagi pengembangan ilmu.
Dasar aksiologis ini berbeda dari paradigma. Paradigma merupakan aspek internal dari ilmu, aspek yang membantu para ilmuwan bekerja menyusun pengetahuan ilmiah. Dasar aksiologis, sebaliknya, merupakan hal yang eksternal dari ilmu. Ia tidak dapat memberi petunjuk dalam pemilihan teori atau penyusunan eksplanasi. Dasar aksiologis ini hanya memberi petunjuk tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh ilmuwan dalam kerja saintifiknya dan juga untuk tujuan apa risetnya itu dilakukan.
Pancasila sebagai ideologi negara berisi sejumlah gagasan normatif dan cita-cita negara Indonesia. Kita bisa menerjemahkan gagasan dan cita-cita itu ke dalam praktik saintifik. Semisal, sila kemanusiaan bisa diterjemahkan sebagai imperatif etis untuk menghormati martabat manusia dalam upaya pengembangan ilmu. Ini menjadi krusial, misalnya, dalam eksperimen-eksperimen ilmiah yang melibatkan subyek manusia.
Pancasila sebagai ideologi negara berisi sejumlah gagasan normatif dan cita-cita negara Indonesia. Kita bisa menerjemahkan gagasan dan cita-cita itu ke dalam praktik saintifik.
Sila kelima, misalnya, dapat diterjemahkan sebagai orientasi pengembangan ilmu—bahwa ilmu itu dikembangkan bukan hanya untuk ilmu itu sendiri, melainkan juga untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini penting sebagai orientasi bagi riset-riset terapan yang memiliki dampak langsung bagi kehidupan masyarakat. Sejauh ini, karena sumber dananya banyak berasal dari pihak swasta, riset-riset terapan di Indonesia banyak dilakukan untuk melayani kepentingan korporasi.
Dengan demikian, sila kelima ini juga mensyaratkan negara benar-benar hadir, baik sebagai penyandang dana atau pembuat regulasi, dalam memastikan bahwa setiap proyek riset harus berorientasi pada pewujudan cita-cita keadilan sosial. Ini berarti bahwa, sebagai dasar aksiologis, Pancasila bukan hanya panduan bagi para ilmuwan, melainkan juga bagi seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem ilmiah, mulai dari pemerintah, swasta, hingga komunitas akademik.
Namun, ini bukan tawaran final. Kita masih perlu mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain posisi Pancasila dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, tentu selain sebagai paradigma. Sebab menjadikan Pancasila sebagai paradigma ilmu tidak akan membawa kita ke mana-mana.
Taufiqurrahman, Dosen Fakultas Filsafat UGM dan Direktur Antinomi Institute for Science, Philosophy and Religion