Tanpa upaya serius menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, generasi mendatang akan mendapati bumi yang sangat tidak nyaman untuk didiami.
Hari Senin (5/6/2023), seiring dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, Kompas kembali menurunkan laporan tentang bumi yang semakin panas, dan ruang hidup yang semakin sempit. Dalam laporan harian ini, antara lain, disebutkan, suhu rata-rata bumi meningkat 1,1 derajat celsius sejak tahun 1880. Lebih serius lagi, suhu bumi akan melewati titik kritis 1,5 derajat celsius dalam lima tahun mendatang.
Tanpa upaya serius menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, generasi mendatang akan mendapati bumi yang sangat tidak nyaman untuk didiami.
Frasa itu di satu sisi terus terngiang di telinga karena sudah sangat sering kita angkat di forum ini. Namun, jika diingat- ingat, tidak pernah ada gaung yang memadai.
Alih-alih membaik, kondisi di Indonesia tampaknya ikut memburuk, dengan kenaikan suhu melebihi tren global. Suhu di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, sudah memanas 0,95 derajat celsius dalam kurun waktu 16 tahun, menjadikannya sebagai daerah dengan laju pemanasan tertinggi.
Sikap yang diperlihatkan banyak negara terhadap fenomena pemanasan global cenderung tak peduli. Bahkan, abai. Pernyataan otoritas iklim dunia, sekitar satu dekade mengumumkan setiap tahun menjadi tahun terpanas, dalam setengah atau satu abad terakhir, direspons biasa saja. Ada berbagai janji atau komitmen untuk memangkas emisi gas karbon dioksida, tetapi tidak pernah ada laporan implementasi yang serius.
Ada pengaturan bauran energi, yang semangatnya terus mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan. Akan tetapi, oleh kepentingan ekonomi praktis, hal itu juga tidak dilaksanakan secara konsekuen. Situasi ini bertambah buruk lagi saat banyak negara, khususnya di Eropa, kembali menoleh ke energi fosil saat pasokan energi dari Rusia terganggu karena berlangsung perang Rusia-Ukraina.
Lupa sudah pelbagai dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim yang dihadapi. Selain kenyamanan susut, pemanasan global juga memunculkan cuaca ekstrem yang ditandai, antara lain, oleh semakin tingginya frekuensi topan badai, banjir, atau kekeringan.
Berbagai penyakit pun diramalkan bermunculan seiring dengan meningkatnya pemanasan global. Negara-negara subtropis yang semula imun dari penyakit tropis akan mulai ikut merasakan penyakit tropis.
Dalam laporan Kompas diangkat pula kiprah pejuang lingkungan yang berkontribusi dalam upaya menanggulangi pemanasan global, yang sangat kita hargai. Namun, yang lebih ditunggu adalah aksi nyata segera dari negara-negara industri besar yang masih gencar menggunakan bahan bakar fosil.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO