Memperkokoh Moral, Membangun Kedamaian Bangsa
Momentum Waisak menjadi penting untuk merefleksikan nasihat yang berkenaan dengan kesucian moral sekaligus menyegarkan kembali ingatan pada tiga peristiwa agung yang sangat istimewa dalam hidup Guru Agung Buddha.
Trisuci Waisak merupakan hari yang agung bagi umat Buddha di seluruh dunia.
Momen penting memperingati tiga peristiwa dalam kronologi hidup Guru Agung Buddha yang memiliki kesamaan ciri, yakni terjadi pada saat purnama sidi di bulan Waisak, hanya tahunnya yang berbeda.
Peristiwa pertama adalah kelahiran Pangeran Siddhattha, calon Buddha (623 SM), di Taman Lumbini, Kapilavastu, Nepal. Peristiwa kedua adalah pencapaian Pencerahan Sempurna, petapa Siddhattha menjadi Buddha pada usia 35 tahun (588 SM) di Bodhgaya, India. Peristiwa ketiga, kemangkatan atau Mahāparinibbāna Buddha pada usia 80 tahun (543 SM) di Kusinara, India.
Hari Trisuci Waisak 2567 tahun ini jatuh pada 4 Juni 2023. Umat Buddha merayakan Trisuci Waisak dengan puja bakti, meditasi, dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan dilandasi moral yang kokoh atau keluhuran budi pekerti.
Singkatnya, hidup damai dan meninggal dengan tenang. Sampai dengan saat ini keinginan manusiawi tersebut tetap menjadi aspirasi bagi tiap-tiap orang.
Harapan umat manusia
Kehidupan manusia tidak luput dari problematika. Berbagai persoalan tidak saja datang dari kondisi di luar diri, seperti pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, konflik antarkelompok, atau kemalangan yang ditimbulkan jajaran pemimpin korup dan zalim, tetapi juga tidak terpisahkan dari problem yang menjadi konsekuensi manusia sebagai individu itu sendiri.
Stres dan depresi adalah bagian dari kondisi mental yang tertekan akibat ketidaksiapan dalam menghadapinya. Di lain sisi, kehidupan damai dan bahagia yang bebas dari kenestapaan senantiasa menjadi harapan setiap insan.
Pustaka Suci Tipitaka menyebutkan, setidaknya ada empat naluri manusia yang menjadi standar ideal kehidupan, yaitu memperoleh kekayaan dengan cara yang pantas, menjadi masyhur, memiliki kesehatan dan usia panjang, serta kehidupan bahagia di alam surga setelah kematian.
Singkatnya, hidup damai dan meninggal dengan tenang. Sampai dengan saat ini, keinginan manusiawi tersebut tetap menjadi aspirasi bagi tiap-tiap orang. Dalam skala yang lebih luas, kedamaian menjadi pilar penting bagi kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Tanah Air.
Negara tercinta Indonesia amat kaya akan keberagaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa.
Demi terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, diperlukan kesadaran kolektif, nilai-nilai yang menuntun pada terciptanya kerukunan dan persatuan.
Dalam hal ini, khotbah Buddha tentang Hal-hal yang Membuat Dikenang, Saraniya Dhamma Sutta, sangat relevan untuk dijadikan sebagai panduan praktis dalam menumbuhkan kesadaran akan kedamaian bangsa.
Baca juga: Ritual Bersih Wihara Menyambut Waisak
Beliau menekankan, ”Inilah enam hal yang membuat untuk saling mengenang, saling mencintai, saling menghormati; menunjang untuk saling menolong, untuk menghindari pertengkaran, tercapainya kerukunan dan persatuan.”
Enam sebab yang dimaksud adalah memiliki: [1] perbuatan, [2] ucapan, dan [3] pikiran yang disertai cinta kasih penuh ketulusan terhadap sesama. Hal berikutnya ialah [4] sikap murah hati, [5] mempunyai kualitas moral yang sama baik, dan [6] memiliki pandangan yang setara akan kebaikan atau ajaran kebenaran.
Moral mulia
Satu dari enam faktor penunjang kerukunan dan kedamaian yang tercantum dalam khotbah tersebut adalah aspek moral.
Setiap agama mengajarkan dan menekankan pentingnya moral atau akhlak. Karena itu, agama memiliki peran signifikan bagi kehidupan manusia sebagai tatanan nilai dan pedoman hidup.
Moral mulia hanya mungkin dapat terbentuk apabila dilandasi pemahaman dan pengamalan ajaran agama dengan tepat. Mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tidak saja memberikan kedamaian bagi penganutnya, tetapi juga mengondisikan perdamaian bagi bangsa dan negara, bahkan perdamaian dunia.
Disiplin moral yang dilatih umat Buddha disebut Pancasila, latihan moral yang terdiri atas lima sasana, meliputi penghindaran diri dari aksi kekerasan dan pembunuhan, pengambilan barang yang bukan hak diri, tindakan asusila, ucapan tidak jujur, dan laku buruk mengonsumsi minuman keras.
Pancasila Buddhis merupakan perwujudan dari kualitas keluhuran budi sehingga semestinya menjadi landasan hidup bagi kita. Sebagai bagian dari elemen masyarakat, umat Buddha patut berkontribusi dalam menjaga kedamaian bangsa dengan mengaktualkan Pancasila Buddhis, menjalankan disiplin moral sebaik mungkin.
Menekankan betapa esensialnya laku moral, Ananda, salah seorang siswa terdekat Buddha, menjelaskan bahwa tidak ada praktik kehidupan suci pada suatu agama apabila mengabaikan prinsip moral (Sandaka Sutta).
Tanpa kesusilaan akan muncul beragam masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Perselisihan dan pertikaian, di mana tidak terdapat kedamaian di dalamnya, merupakan wujud nyata dari pengabaian aspek moral.
Senada dengan untaian indah Dhammapada syair 6, ”Banyak orang tidak menyadari bahwa dalam permusuhan mereka akan binasa. Bagi mereka yang sadar akan hal ini, mengakhiri segala bentuk permusuhan”.
Apabila seseorang melindungi dirinya, pihak yang berada di luar pun akan terlindungi.
Marilah kita bersama menciptakan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memperkokoh nilai-nilai moral. Apabila seseorang melindungi dirinya, pihak yang berada di luar pun akan terlindungi.
Oleh karena itu, momentum Waisak menjadi penting untuk merefleksikan nasihat yang berkenaan dengan kesucian moral sekaligus menyegarkan kembali ingatan pada tiga peristiwa agung yang sangat istimewa itu.
Selamat hari Trisuci Waisak 2567/2023. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Bhikkhu Sri Subhapannyo Mahathera, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia