Toko Buku
Tanpa buku, kita tidak pernah tahu peradaban masa lalu yang menjadi fondasi masa kini dan untuk merencanakan masa depan. Toko buku menghimpun semua disiplin ilmu dan mentransfernya ke khalayak.
Sedih membaca berita Toko Buku Gunung Agung akan menutup semua gerai tahun ini (Kompas, 23-24 Mei 2023). Toko buku adalah salah satu pencerdas bangsa. Kehadirannya mencerahkan masyarakat tanpa syarat.
Toko buku menghimpun para intelektual dari semua disiplin ilmu dan mentransfernya ke khalayak sesuai kebutuhan. Tanpa buku, kita tidak pernah tahu peradaban masa lalu yang menjadi fondasi masa kini dan untuk merencanakan masa depan.
Dalam agama Islam, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi umat Islam tanpa kecuali. Ilmu adalah cahaya yang menuntun manusia dari kegelapan sehingga bisa membedakan yang benar dan yang salah. Sumber ilmu salah satunya adalah buku.
Buku merupakan hasil pergulatan intelektual dari penulis, editor, desainer, ilustrator, dan penerbit. Harga buku tidak sepadan dengan proses panjang dari persiapan, proses produksi, hingga cetak dan pemasarannya. Untuk itu, penulis buku layak mendapat royalti. Pembajak buku adalah pengkhianat intelektualitas, merampas hak orang, dan menikmati hasil atas kerja keras orang lain.
Selain pembajakan, era digital berpengaruh terhadap oplah buku cetak, tetapi hal ini merupakan kemajuan peradaban yang tidak layak jadi kambing hitam. Pandemi Covid-19 memperburuk industri buku karena banyak orang kehilangan penghasilan, sedangkan literasi belum menjadi kebutuhan. Sementara itu, kalangan berada lebih suka koleksi barang mewah dan pamer di media sosial.
Bagi generasi X-Y, membeli, membaca, bertukar, dan koleksi buku merupakan kebahagiaan tersendiri. Para elite publik masa lalu juga pembaca buku (Bung Hatta, Bung Karno, Adam Malik, Gus Dur, BJ Habibie, Goenawan Mohamad, Jakob Oetama). Maka, pernyataan mereka selalu cerdas, bermakna, dan relevan. Sekarang aktivitas membaca buku, koran, dan majalah dianggap aneh. Pernah seorang teman menceletuk, hari gini masih baca cetakan?
Fenomena itu menegaskan tingkat literasi kita rendah, tetapi riuh di dunia maya yang serba instan, dangkal, tanpa kajian. Kompas mungkin perlu menginvestigasi tentang literasi. Faktor inilah yang berperan memengaruhi masa depan peradaban manusia.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung 40616
Daya Nalar
Pojok Kompas (6/2/2016) pernah berkomentar tentang daya nalar yang menumpul. Harian Kompas (15/3/2023) lagi-lagi mengkritisi dengan kalimat: Tumbuhkan pemikiran kritis pada peserta didik.
Saya teringat puluhan tahun lalu ketika menjadi guru non-kompentatif (Belanda: onbevoegd) SMP swasta di Telukbetung, Lampung.
Murid saya menjawab sangat cerdas pertanyaan: siapa yang menggali Terusan Suez? Jawabnya, ”Yang menggali Terusan Suez adalah para pekerja di bawah pimpinan ahli Ferdinand de Lesseps.”
Tampaknya peserta didik saat ini kurang kemampuan bernalar (kognitif). Tentu ini tantangan bagi para pendidik. Kekurangan nalar ini tidak hanya pada para pelajar, tetapi juga pesohor dan politisi. Mereka sering tidak bisa membedakan makna kata benar dan betul, salah dan keliru, besuk dan mbesuk.
Seorang tokoh dengan nada tinggi berucap, ”Saya baru percaya kalau sudah membuktikan sendiri.” Menurut nalar, makna kalimat itu sungguh tidak logis.
FS HartonoPurwosari, Sinduadi, Mlati, Sleman
Selamat Berjuang
Peristiwanya sudah lama, tetapi masih relevan. Kompas (11/1/2023) memberitakan suatu pidato politik. Di akhir pidato menyebut akan bekerja untuk menang, menang.
Di akhirat tidak ada lomba kalah-menang, semua tunduk pada Ilahi. Di dunia manusia membuat kelompok, membatasi diri. Padahal, batas itu hanya fantasi. Mari berjuang melawan hawa nafsu.
Titi SupratignyoBendan Ngisor, Semarang
Pendidikan
Presiden Joko Widodo, Ibu Iriana, dan sejumlah menteri Kabinet Kerja bermain Kuda Lumping bersama anak-anak dalam acara Jam Main Kita di Halaman Belakang Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (4/5/2018). Dalam acara untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional 2018 itu, Presiden Joko Widodo berpesan agar anak-anak rajin belajar, berdoa dan tidak lupa bermain di luar ruangan.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional, majalah Basis yang terbit dua bulan sekali mengangkat tema pendidikan pada edisi teraktual. Lembaga think tank CSIS mengadakan seminar pendidikan pada 23 Mei 2023. Podcast Gita Wirjawan yang digemari banyak kaum muda mengajak Karlina Supelli membicarakan pendidikan dan dipublikasikan pada 23 Mei juga.
Seluruh ide panelis dan penulis dapat diakses umum dengan mudah. Pemesanan majalah Basis dapat melalui Instagram ataupun aplikasi pesan singkat. Tidak sampai tiga hari sudah sampai di tangan pembaca. Kemudahan ini tidak lepas dari kreativitas individu berpendidikan.
Pendidikan adalah proses penting dalam kehidupan. Meskipun Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, untuk pendidikan saat ini utamanya adalah sekolah. Maka, tenaga pengajar memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar.
Sekolah bukan lagi tempat menghafal, patuh pada aturan dan atasan (guru/senior), melainkan wadah pembentukan karakter. Murid diajak berpikir kritis, berempati, berdinamika dalam kehidupan sosial, dan berbudaya.
Guru saya pernah berkata, pintar adalah konsekuensi. Namun, ada hal lain yang lebih besar esensinya daripada itu, yakni bermanfaat.
Saya setuju dengan pendapat tersebut, apalagi di tengah gempuran modernitas, apa saja dapat diketahui dan didapat asalkan ada internet. Kemudahan akses dapat membuat terlena dan malas.
Mendapatkan gelar pun menjadi lebih mudah sehingga makna pendidikan tinggi tergerus. Idealnya, semakin berpendidikan, semakin besar tanggung jawab seseorang.
Kalau hanya sebatas ingin pintar, terbitlah nafsu berkuasa tak terbatas. Sebaliknya, apabila di dalam individu terdapat karakter dan nurani untuk bermanfaat bagi seluas-luasnya masyarakat, nafsu berkuasa terkalahkan.
Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada guru, mentor, dan dosen yang pernah mendidik saya. Juga semua tenaga pengajar yang selalu setia dalam pengabdiannya. Semoga melalui pendidikan, cita-cita besar bangsa terimplementasikan.
Prajna Delfina DwayneCipaku, Jakarta Selatan
Bersikap Hormat
Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi sopan santun dan sikap hormat. Orang yang lebih muda tidak menyebut nama mereka yang berusia lebih tua. Ada sebutan bapak, ibu, om, tante, kakak. Penyebutan itu menunjukkan sikap hormat kepada yang lebih tua.
Namun, budaya positif ini juga bisa menciptakan pola relasi yang tidak sehat antara orangtua dan anak, dosen dengan mahasiswa, pemimpin perusahaan dengan karyawan. Orang yang dihormati bisa menyalahgunakan sikap hormat bawahan menjadi kesempatan mengeksploitasi.
Dalam ”Kultur Toksik Dunia Akademik” (Kompas, 8/5/2023), Taufiqurrahman mengkritik kultur feodal yang sudah mengakar dalam dunia akademik. Bahayanya adalah para mahasiswa dan orang-orang di tingkat bawah menjadi takut menyampaikan pendapat. Apalagi kalau pendapat mereka bertentangan dengan pandangan atasan.
Budaya serupa terjadi di dunia pekerjaan, antara pemimpin perusahaan dan karyawan, terutama perempuan. Dalam berita Kompas, ”Perempuan Pekerja Rentan Dieksploitasi” (Selasa, 9/5/2023), pimpinan melecehkan karyawan perempuan dengan ancaman kehilangan pekerjaan apabila tidak patuh. Kenyataan seperti ini menjadi keprihatinan kita bersama.
Kultur sopan santun dan bersikap hormat seharusnya menjadi kebanggaan kita. Ini adalah identitas kita. Kita harus bekerja sama memulihkan ke makna sesungguhnya.
Dominikus WaruwuJl Sultan Agung, Bandung