Dulu, Pancasila menjadi konsensus yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat untuk membangun bangsa Indonesia. Kini, dasar negara itu tetap menjadi pegangan bersama dalam mengatasi berbagai tantangan baru.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
Presiden Joko Widodo selaku inspektur upacara ketika memberikan amanat upacara di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (1/6/2023). Presiden mengajak masyarakat untuk menolak ekstremisme, politisasi identitas, dan politisasi agama.
Hari Lahir Pancasila baru saja kita peringati, Kamis (1/6/2023). Ini momen untuk mengajak semua pihak menerapkan dasar negara itu sebagai energi perekat bangsa.
Peringatan nasional digelar di Monumen Nasional (Monas) Jakarta dengan inspektur upacara Presiden Joko Widodo. Saat bersamaan, upacara juga berlangsung di lebih dari 500 tempat di daerah-daerah di Indonesia. Semua berusaha untuk mengingat kembali Pancasila yang dilahirkan 78 tahun silam.
Momen itu menyadarkan kita pada sejarah bangsa yang dahulu pernah terpecah dalam berbagai kelompok dengan beragam budaya di kepulauan di Nusantara. Penjajahan merundung kita dalam keterpurukan selama ratusan tahun. Kemudian, tahun 1945, para pendiri bangsa bertemu dan bersepakat untuk membangun negara modern bernama Republik Indonesia (RI) dengan dasar negara Pancasila.
Semua kepentingan diikat dalam satu konsensus yang dinyatakan dalam lima sila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Titik temu ini menjadi rumah besar yang mengayomi seluruh masyarakat dengan segenap kemajemukannya. Semua kelompok mendapatkan tempat untuk tinggal, dihargai, dilindungi, dan diperlakukan sederajat sebagai warga negara.
Konsensus ini perlu terus dihidupkan secara nyata. Tidak hanya dipentaskan di panggung upacara atau diucapkan sebagai retorika, energi Pancasila yang merangkul semua kelompok itu penting dibumikan dalam semua tingkat kehidupan. Apa pun suku, agama, ras, atau golongannya, semua kelompok hendaknya diperlakukan dengan baik.
Kesadaran ini semestinya cukup jadi pegangan bagi pemerintah dan aparat keamanan di semua tingkatan untuk lebih sigap mencegah aksi-aksi intoleran yang masih muncul belakangan. Antisipasi juga penting digiatkan di tengah suhu politik yang kian hangat menjelang Pemilu 2024. Sekeras apa pun kontestasi dalam pemilu, semua pihak patut menahan diri agar tidak menggunakan perbedaan pilihan politik untuk memantik sentimen konflik antarkelompok masyarakat.
Bagaimanapun, sentimen berbasis perbedaan memang masih hidup di masyarakat, bahkan di kaum muda. Setidaknya itu tergambar dalam survei oleh Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di sekolah menengah atas pada Januari-Maret 2023. Sebanyak 24,2 persen remaja tergolong intoleran pasif (menganggap kelompok lain salah, tak berwujud dalam tindakan), 5 persen intoleran aktif (tak menerima perbedaan dan setuju tindakan kekerasan), dan 0,6 persen berpotensi terpapar kekerasan.
Dalam konteks ini, kita bisa memahami pidato Presiden Jokowi pada Hari Lahir Pancasila di Monas, yang menolak politisasi identitas dan agama menjelang Pemilu 2024. Toleransi dan persatuan merupakan kunci bangsa yang kokoh. Pernyataan ini diharapkan dibumikan dalam kebijakan nyata di lapangan. Elite politik, terutama para pemimpin dan pengurus partai politik, hendaknya lebih menjunjung persatuan bangsa di atas berbagai kepentingan pragmatis kelompoknya.