Negara di ASEAN perlu menangkap 35 juta ton CO2 pada 2030 dan 200 juta ton CO2 pada 2050 untuk bisa mencapai visi perubahan iklim di Paris Agreement 2015. Ini langkah awal menurunkan emisi tanpa mengorbankan ekonomi.
Oleh
MUHAMAD RIFKI MAULANA
·3 menit baca
”If you want to go quickly, go alone. If you want to go far, go together.” (African Proverb)
Kutipan tersebut cocok untuk menggambarkan perjuangan dunia dalam mewujudkan peradaban hijau. Semua orang di dunia menghirup udara yang sama, hidup di bawah lapisan ozon yang sama, terlepas di mana ia tinggal. Oleh karena itu, sekencang apa pun satu negara untuk terus menggunakan energi bersih, manfaatnya tidak akan optimal apabila masih banyak negara lain yang terus mengeluarkan polusi berlebih.
Pertumbuhan ekonomi sering kali dijadikan alasan bagi sebuah negara untuk terus berpolusi, terutama bagi negara berkembang yang memiliki sumber daya alam energi fosil melimpah. Walaupun secara sepintas pernyataan tersebut terlihat benar, nyatanya pernyataan tersebut keliru.
Salah satu kunci negara berkembang untuk bisa bertransformasi menjadi negara maju adalah dengan terus menjaga tren ekonomi agar terus tumbuh tinggi dan berkelanjutan pada jangka menengah panjang. Hal ini akan mustahil dicapai apabila negara tersebut tidak mampu menjaga ekosistem lingkungannya.
ASEAN adalah salah satu kawasan yang cukup relevan dengan isu ini. Di satu sisi, negara-negara di Asia Tenggara perlu sumber energi fosil yang tergolong murah untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonominya. Namun, di sisi lain, ada kekayaan hayati yang perlu terus untuk dipelihara kelestariannya. Oleh karena itu, teknologi carbon capture utilisation and storage (CCUS) diharapkan mampu jadi solusi dilema ini.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kemacetan panjang lalu lintas kendaraan di Jalan Daan Mogot sebelum Jalan Layang Pesing, Jakarta Barat, Kamis (4/5/2023). Kendaraan umum dan pribadi tersebut masih mengandalkan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil.
Laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) menyebutkan bahwa permintaan energi di ASEAN dalam dua dekade terakhir meningkat rata-rata 3 persen per tahun dan diprakirakan berlanjut hingga 2030. Akselerasi permintaan energi tersebut tidak lain untuk menopang ekonomi ASEAN yang dalam dua dekade terakhir tumbuh rata-rata di atas 5 persen per tahun.
Namun, di sisi lain, hampir 90 persen dari permintaan energi di kawasan ASEAN berasal oleh energi fosil yang menyebabkan emisi karbon dioksida (CO2) tumbuh rata-rata 3,8 persen per tahun. Secara global, emisi gas rumah kaca di ASEAN berkontribusi 5,84 persen terhadap total emisi gas rumah kaca dunia. Persentase tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan emisi gas rumah kaca di kawasan Eropa.
Hampir 90 persen dari permintaan energi di kawasan ASEAN berasal oleh energi fosil yang menyebabkan emisi karbon dioksida tumbuh rata-rata 3,8 persen per tahun.
Tingginya tingkat emisi tersebut secara langsung akan meningkatkan risiko perubahan iklim di kawasan ASEAN dan pada akhirnya berdampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menganalisis bahwa kawasan ASEAN menjadi salah satu kawasan paling rentan akan risiko perubahan iklim.
Fenomena tersebut diperkirakan mampu memangkas pertumbuhan ekonomi ASEAN sebesar 11 persen per tahun pada jangka panjang. Hal ini terutama bersumber dari tingginya ketergantungan negara-negara di kawasan ASEAN terhadap sektor pertanian, perikanan, hingga pariwisata yang kinerjanya sangat dipengaruhi oleh faktor alam. Ramalan kontraksi pertumbuhan ekonomi tersebut juga bersumber dari turunnya produktivitas pekerja akibat menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibat perubahan iklim.
Secara sederhana, CCUS merupakan sebuah proses penangkapan emisi CO2 yang umumnya bersumber dari pembangkit listrik energi fosil ataupun dari industri untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau dipergunakan kembali sebagaiinput produksi. CCUS dipercaya bisa menangkap lebih kurang 90 persen CO2 dan mencegahnya masuk ke atmosfer.
Teknologi CCUS ini telah berkembang pesat dan diadaptasi di beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, dan negara-negara di Eropa, serta Timur Tengah. Adapun total CO2 dunia yang telah ditangkap oleh CCUS ini mencapai 45 juta ton per tahun dan diproyeksikan akan meningkat hingga 220 juta ton per tahun seiring dengan tengah berlangsungnya konstruksi 200 infrastruktur CCUS baru. Hal tersebut juga diiringi oleh investasi CCUS yang meningkat secara signifikan dari 13 juta dollar AS pada 2015 menjadi 224 juta dollar AS pada 2021.
Dalam konteks ASEAN, implementasi CCUS dapat memungkinkan pembangkit listrik maupun fasilitas industri yang masif dibangun dalam beberapa waktu belakangan di kawasan untuk terus beroperasi dengan emisi yang seminimal mungkin, hingga pada akhirnya tidak ada zero sum game antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Peran CCUS bisa jadi kian signifikan apabila mengingat hasil analisis dari IEA yang menyebutkan bahwa negara di kawasan ASEAN perlu menangkap 35 juta ton CO2 pada 2030 dan 200 juta ton CO2 pada 2050 untuk bisa mencapai visi perubahan iklim di Paris Agreement 2015.
Guna mewujudkan hal tersebut tentu dibutuhkan kapital yang tidak sedikit, diperkirakan investasi kurang lebih 1 miliar dollar AS per tahun dari 2025 hingga 2030. Di sinilah pemerintah diharapkan hadir memberi solusi tantangan investasi tersebut. Salah satu best practice yang bisa dipelajari adalah skema insentif Pemerintah Kanada yang memberikan tax credit rates berkisar 37,5-60 persen untuk investasi CCUS. Contoh lain, Pemerintah Amerika yang menyediakan dollar value tax credit berkisar 60-85 dollar AS per ton dari CO2 yang ditangkap atau diutilisasi oleh CCUS.
Komitmen tinggi pemerintah adalah kunci negara-negara ASEAN bisa menurunkan emisi tanpa harus mengorbankan ekonomi. Setidaknya, CCUS bisa menjadi langkah awal ASEAN berjalan lebih jauh di era ekonomi hijau dan pada akhirnya mampu bertransformasi menuju negara maju.