Sebagai mantan menteri, Sarwono tidak memiliki apa-apa. Rumah yang ditempati hingga wafat adalah rumah kontrakan. Ia menampik memiliki sesuatu karena khawatir apa yang dimilikinya bisa menjadi biang percekcokan keluarga.
Oleh
HAMID AWALUDIN
·4 menit baca
Yurisdiksi absolut Ilahi tentang kapan, di mana, dan bagaimana cara memanggil hamba-Nya juga berlaku dengan kepergian Sarwono Kusumaatmadja. Ia meninggal di Malaysia pada hari Jumat, 26 Mei 2023, sore hari.
Sebulan silam, pada 23 April 2023, saya berada di California. Saya berkomunikasi dengan Sarwono lewat telepon, saling menyapa dan mengucapkan selamat Lebaran. Saya sama sekali tidak menyangka, itulah komunikasi terakhir kami.
Saya mengenal Sarwono awal 1990-an tatkala saya masih sekolah di Amerika Serikat. Ia sudah menjadi menteri ketika itu. Persahabatan kami sangat kental. Ia malah menjadi saksi pernikahan saya pada 1999. Sarwono banyak mengirim uang ke AS untuk mendukung penyelesaian studi saya. Pertama kali saya memiliki laptop, yang saya pakai hingga penulisan disertasi, itu dari Sarwono.
Jarang sekali saya melihat dan menyaksikan sosok figur publik yang amat sederhana dalam penampilan seperti Sarwono. Ia tidak pernah hirau dengan pakaian apa yang dikenakannya. Ia tak pernah bersoal mengenai mobil apa yang ditumpanginya. Ia tak pernah bertanya siapa yang menjemputnya. Ia malah menghindar dari aksesori protokoler. Gaya hidup inilah yang membuatnya banyak kawan.
Wilayah jelajah pertemanan Sarwono dengan orang lain, selain sangat luas, juga tanpa sekat-sekat. Ia bergaul dengan siapa pun tanpa rasa canggung.
Kesederhanaannya dilengkapi dengan kepribadiannya yang sangat terbuka dalam segala hal. Ia berbicara tanpa beban karena apa pun yang dikatakannya adalah isi pikiran dan hati nuraninya. Ia cenderung tak mempertimbangkan aspek lain. Ia hanya menurut pada apa yang dikatakan hati nuraninya.
Mengubah Golkar
Sarwono menjadi Sekjen Partai Golkar pada saat kekuasaan Soeharto sedang memuncak. Apa pun yang dikatakan Soeharto ketika itu adalah titah yang tak boleh disoal, apalagi dibantah. Golkar sungguh-sungguh menjadi instrumen politik yang amat sakral, tertutup, dan tak tersentuh. Golkar menjadi penentu segala aspek kehidupan negeri ini ketika itu.
Dalam keadaan Golkar membatu, Sarwono hadir, membuka pintu Golkar lebar-lebar kepada siapa saja putra-putri terbaik bangsa. Ia mencairkan kebekuan dan melancarkan penyumbatan yang mendera Golkar.
Sarwono menolak kejumudan serta menampik oligarki kekuasaan dan ekonomi yang selama ini mendominasi Golkar. Saat itu, kader Golkar identik dengan keluarga para pejabat, termasuk TNI dan pelaku bisnis. Anak, cucu, kakak, adik, dan sebagainya, selama mereka ada kaitan dengan pejabat, TNI, dan pelaku bisnis, adalah pemilik dan ahli waris Golkar yang sah. Di luar formulasi itu, tak ada yang bisa berdekatan dengan Golkar.
Dengan gayanya yang seolah bersolo karier di Golkar, Sarwono sibuk mengajak anak-anak muda yang potensial dari kampus, tokoh-tokoh kritis yang selalu bersuara sumbang dan lantang mengkritik kekuasaan, para aktivis yang selalu dilanda kegelisahan tentang perubahan; semuanya dirangkul.
Badan Sarwono lincah bergerak kian kemari untuk menyapa dan menjalin komunikasi dengan orang-orang yang jauh, bahkan membenci Golkar.
Sarwono menolak kejumudan serta menampik oligarki kekuasaan dan ekonomi yang selama ini mendominasi Golkar.
Ia melakukan perubahan dari dalam Golkar. Hierarki Golkar pun ia robohkan dengan memberikan contoh bagaimana dengan mudah orang menghubungi sekjen. Ia mengubah dari dalam dengan cara menampik kolusi dan permufakatan jahat yang dilakukan orang-orang yang ingin menjadi pejabat, baik di pusat maupun daerah.
Ia dengan tegas menarik garis demarkasi antara idealisme dan pragmatisme. Ia tak menginginkan Golkar sekadar jadi tunggangan bagi para politikus dan orang-orang yang haus kekuasaan. Maka, Golkar pun saat itu tiba-tiba dijejali darah muda yang segar, datang dari berbagai latar belakang dan rupa-rupa arah. Pelan tapi pasti, Sarwono memorakporandakan tradisi ABS (asal bapak senang) yang melilit Golkar. Ia seolah menjebol benteng keangkuhan dan keangkeran Golkar sebagai partai penguasa yang sangat tertutup.
Para anggota legislatif yang duduk mewakili Golkar di pusat ataupun daerah, serta senang bersuara lantang dan kritis, dilindunginya. Bukan dimusuhi dan dienyahkan. Sarwono sangat menyenangi dan keasyikan dengan kader Golkar yang selalu bersuara lantang dan nyaring. Di sinilah Sarwono menampik bersekutu dengan para senior dan sesepuh Golkar yang mengharamkan persilangan pendapat.
Apa Kang Sarwono tak takut pada Soeharto? Begitu pertanyaan banyak orang kepadanya. ”Cara pandang seperti itu sangat keliru. Pak Harto justru kita buatkan lubang kematian jika Golkar tetap ditutup rapat. Pak Harto justru dilindungi dengan cara-cara pembaruan dan kebebasan yang dimulai dari dalam Golkar,” jawab Sarwono. ”Lagian, Pak Harto tidak pernah memanggil dan menyoal mengenai apa yang saya lakukan di Golkar,” lanjutnya.
Langkah berikut yang Sarwono lakukan adalah membuat perkaderan Golkar secara sistematis dengan perencanaan yang matang. Tidak bersifat sporadis, hanya menjelang pemilu. Berbagai bentuk perkaderan dijalankan Golkar berkatnya.
Singkatnya, Sarwono memulai reformasi politik di negeri ini jauh sebelum era reformasi datang mengguntur. Perubahan negeri dimulai dari Sarwono dari dalam partainya.
Sebagai mantan menteri, Sarwono tidak memiliki apa-apa. Rumah yang ditempati hingga ajal menjemputnya adalah rumah kontrakan. Ia menampik memiliki sesuatu karena khawatir apa yang dimilikinya bisa menjadi biang percekcokan keluarganya di masa mendatang.
Sikap inilah yang membuat Sarwono kian membekas di hati orang. Ia memberi contoh tentang kejujuran dan integritas. Kejujuran, integritas, dan perubahan yang reformatif yang telah dilakukannya membuat dirinya selalu dikenang. Selamat jalan, Kang Sarwono.
Hamid Awaludin,Menteri Hukum dan HAM RI Periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007