Perubahan arsitektur keamanan di Eropa pascaoperasi militer Rusia mendesak diantisipasi. Di saat yang sama, kecermataan mengelola politik luar negeri yang bergerak di antara karang raksasa AS dan China sangat dibutuhkan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Negosiasi guna mengakhiri perang di Ukraina masih sulit dimulai. Konflik bersenjata yang dipicu oleh operasi militer Rusia itu akan berlangsung lama.
Rusia menyuarakan pesimisme terhadap kemungkinan perundingan damai dalam waktu dekat. Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev, Jumat lalu, menyatakan, konflik akan berlangsung sangat lama. Perang di Ukraina itu disebutnya sebagai ”realitas baru”. ”Selama orang-orang ini (Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan jajarannya) berkuasa, Rusia tidak akan mau negosiasi,” kata Medevedv, Presiden Rusia 2008-2012 (Kompas.id, 27 Mei 2023).
Dibantu Amerika Serikat dan negara lainnya di Eropa, militer Ukraina mampu membendung Rusia. Situasi ini dinilai oleh Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Jenderal Mark Milley turut membuat perang berlarut-larut. Dengan lebih detail, ia menyebut Rusia tak akan meraih kemenangan militer di Ukraina, sementara di sisi lain, tentara Ukraina tak mungkin mendorong mundur pasukan Rusia dari wilayah negara mereka dalam waktu dekat (Aljazeera.com, 26 Mei 2023).
Moskwa menggelar operasi militer di Ukraina pada Februari 2022. Salah satu poin alasannya ialah mengakhiri ancaman dari Ukraina yang diperkirakan bakal bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Perang ini menjadi konflik terbuka antarnegara yang terburuk di Eropa setelah Perang Dunia II. Selain mengganggu perikehidupan negara-negara di benua itu, konflik bersenjata di Ukraina menyebabkan gangguan suplai sumber bahan makanan dan turut mendorong inflasi global.
Apa yang berlangsung di Ukraina memunculkan tantangan tak mudah bagi Eropa dan Amerika Serikat (AS). Washington harus membagi konsentrasi antara konflik di Eropa dan persaingan dengan kekuatan raksasa China. Para analis pun membahas isu utama: apakah AS perlu mengurangi konsentrasi di Eropa, lalu beralih fokus ke Asia, ”medan laga” persaingan Washington-Beijing? Jika pilihan itu diambil, mau tak mau Eropa harus mengurangi keterlibatan AS dalam urusan keamanan di benua itu.
Washington telah melakukan simulasi di tengah tantangan menghadapi Rusia dan China. Kesimpulannya, AS tak akan mampu melakoni operasi militer total di dua medan laga sekaligus. Operasi militer yang dimaksud itu bertujuan menghadapi konflik bersenjata dengan Rusia di Eropa dan pertempuran dengan China di Asia (Ashford, Shifrinson, & Wertheim, ”Europe Must Step Up”, Foreign Affairs, 22 Mei 2023).
Perang berlarut-larut di Eropa dan peningkatan kemungkinan konflik bersenjata di Asia perlu menjadi pertimbangan utama negara-negara lain, seperti Indonesia. Perubahan arsitektur keamanan di Eropa pasca-operasi militer Rusia mendesak diantisipasi. Pada saat yang sama, kecermatan mengelola politik luar negeri yang bergerak di antara karang raksasa AS dan China sangat dibutuhkan.