Metamorfosis BRIN
Tahun 2008 pemerintah menyatukan empat lembaga riset menjadi sebuah ”holding research institution” bernama BRIN. Sejumlah masalah muncul atas perubahan lembaga riset itu. Apakah BRIN berlanjut saat pemerintahan berganti?
Lembaga penelitian Indonesia bermetamorfosis dengan begitu cepat beberapa tahun belakangan ini.
Seperti yang terjadi pada profesor riset terkemuka, seperti Dewi Fortuna Anwar, Siti Zuhro, Firman Noor, Lili Romli, dan Syarif Hidayat, serta puluhan peneliti senior lain.
Mereka harus mengepak buku dan mengosongkan ruangan kerja selambat-lambatnya 11 Juni 2023. Padahal, di ruang kerja itu selama ini mereka menerima profesor dari luar negeri, lembaga internasional atau diplomat, dan wartawan asing yang mewawancarai. Namun, hal itu tidak akan terjadi lagi.
Puluhan peneliti senior di gedung eks LIPI Gatot Subroto terpaksa kerja di rumah atau di mana saja (work from home atau work from anywhere) dengan alasan ruang kerja mereka akan direnovasi dan selanjutnya akan dijadikan kantor beberapa pejabat struktural. Kebijakan ini sebaiknya dicegah oleh Dewan Pengarah BRIN.
Baca juga : Ketimbang Penggantian Kepala BRIN, Perbaikan Tata Kelola Riset Lebih Mendesak
Cikal bakal di era kolonial
Sejak era kolonial sudah ada lembaga riset, tetapi terjadi kekosongan setelah Indonesia merdeka karena para peneliti Belanda pulang ke negerinya.
Tahun 1952, Presiden Soekarno menugasi Sarwono Prawirohardjo membangun institusi riset. Sarwono adalah Ketua Jong Java tahun 1927 dan anggota KNIP setelah Indonesia merdeka. Ia adalah dokter kandungan yang pada 1947 membantu kelahiran Megawati Soekarnoputri dan Meuthia Hatta di Yogyakarta.
Lembaga riset baru Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) terbentuk tahun 1956, dipimpin Sarwono Prawirohardjo. Tahun 1962 ada Departemen Urusan Riset Nasional (Durenas). MIPI di bawah naungan Durenas. Presiden Soekarno sangat peduli kemajuan teknologi, mengirim banyak mahasiswa ke mancanegara. Tahun 1965, Djali Ahimsa dari Batan berkunjung ke China, menjajaki kerja sama di bidang nuklir.
Awal Orde Baru, 1967, berdiri Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan diketuai Sarwono Prawirohardjo. LIPI terdiri atas beberapa lembaga penelitian sekaligus menjadi pembina lembaga penelitian secara nasional. Sejak awal pembentukannya, dalam pemikiran para pendirinya sudah ada keinginan meningkatkan LIPI menjadi lembaga yang lebih besar, menaungi lembaga riset yang ada di Indonesia, termasuk di kementerian dan universitas.
Kedudukannya semacam academy of sciences di Uni Soviet, Eropa Timur, dan China. Model ini dipilih karena penanganan riset di AS dan Eropa Barat lebih mendayagunakan dukungan swasta, sedangkan di negara sosialis pendanaan dari pemerintah. Presiden atau perdana menteri bertanggung jawab dan langsung memimpin lembaga riset.
Tahun 1973, Soemitro Djojohadikusumo diangkat sebagai Menteri Negara Riset. BJ Habibie menjadi Menteri Riset merangkap Kepala BPPT tahun 1978. Terkesan, LIPI melakukan riset dasar, sementara BPPT mengusahakan penerapannya walau kenyataan tak persis demikian. Pada masa Habibie, yang menonjol pembuatan pesawat terbang yang dianggap memiliki nilai tambah sangat tinggi.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dibentuk tahun 1990 walau lembaga ini bukan seperti yang diinginkan para pendiri LIPI, tak jelas kedudukan dan wewenangnya dalam pengembangan iptek nasional.
Setelah era Reformasi, gagasan pembentukan academy of siences ini muncul kembali. Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) tahun 2018 mengusulkan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Di atas lembaga ini ada Dewan Kebijakan Iptekin (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Inovasi) yang diketuai Presiden dengan Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas sebagai wakil ketua. Dengan demikian, diharapkan program iptek akan diprioritaskan dengan anggaran yang meningkat.
Menurut Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri meminta kepada Presiden Joko Widodo agar membangun BRIN ketika mencalonkannya lagi sebagai presiden pada 2019.
Menurut Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri meminta kepada Presiden Joko Widodo agar membangun BRIN ketika mencalonkannya lagi sebagai presiden pada 2019. Atas dasar itu, ujar Hasto, dikutip CNN Indonesia, ”BRIN memang perlu di bawah Presiden langsung.”
Dalam usulan FNPR, yang digabungkan hanya LIPI dan BPPT. Namun, dalam Keppres Nomor 33/2021 tertanggal 28 April 2021, BRIN menyatukan empat lembaga (LIPI, BPPT, Batan, Lapan) sebagai holding research institution. Tugasnya mencakup penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan dari hulu ke hilir.
BRIN juga mengoordinasikan riset yang dilakukan litbang kementerian, termasuk balitbang daerah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, kritik yang dilontarkan tentang duplikasi penelitian atau penelitian yang tidak terarah selama ini diharapkan bisa diatasi dengan sistem baru ini.
UU No 11/2009 tentang Sistem Nasional Iptek menambah batas usia pensiun peneliti: peneliti pertama/muda 58 tahun, peneliti madya 65 tahun, dan peneliti utama 70 tahun.
Kerumitan timbul ketika dikeluarkan Keppres No 78/2021 yang melebur balitbang kementerian ke dalam BRIN dalam tempo setahun. Balitbang pada kementerian itu tak sama besar dan kualitasnya. Balitbang Kementerian Pertanian, misalnya, mempunyai tenaga peneliti lebih banyak dari LIPI dan tersebar bukan saja di Jakarta.
Ada masalah ketika peneliti litbang meninggalkan kementerian. Mereka meninggalkan ruang kerjanya di tempat yang lama, tetapi di BRIN belum ada ruangan. Oleh sebab itu, dibuat ruang kerja bersama (co-working space) mirip kafe.
Persoalan kedua mengenai anggaran. Terdapat tambahan banyak peneliti yang berasal dari balitbang kementerian. Oleh sebab itu, terpaksa sementara ini anggaran setiap penelitian menjadi kecil. Kelompok peneliti mesti mengajukan proposal riset yang tak semua diterima.
Dalam suasana peralihan ini, peneliti BRIN menghadapi tantangan meningkatkan kualitas riset. Peneliti utama dan peneliti madya harus menulis minimal satu artikel di jurnal ilmiah internasional bereputasi tinggi atau menengah setiap tahun.
Pasca-2024
Kita akan melihat apakah metamorfosis BRIN ini terus berlanjut setelah 2024 atau terhenti dengan pergantian pemerintahan? Namun, ada beberapa hal yang dapat dibenahi segera. Misalnya, Pusat Riset Politik BRIN dapat ditugasi melakukan survei politik secara tetap dan berkesinambungan (pernah dilakukan sebelumnya). Sebab, hasil survei lembaga swasta yang populer belakangan ini memiliki bias apabila tergantung kepada penyandang dana.
BRIN seyogianya memiliki ahli wilayah yang mendalami sebuah negara/kawasan. Kita seharusnya memiliki sekian ahli tentang China, AS, Jepang, Korea, India, Australia, ASEAN, kawasan Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin yang juga menguasai bahasa setempat.
Asvi Warman Adam,Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik pada BRIN