Media arus utama tertantang untuk memproduksi konten sesuai minat audiens. Walakin, tetap perlu dibuat juga konten berdasarkan pertimbangan ruang redaksi.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Tampilan laman Kompas.id yang dibuka salah satu warga di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Di tengah gempuran media sosial, media arus utama saat ini masih menjadi acuan informasi bagi warga.
Audiens media hari ini sudah berbeda sekali dengan kondisi pada 10-20 tahun lalu. Dahulu, jurnalis di media mendapatkan informasi lebih awal, baik lewat kantor-kantor berita maupun dari hasil liputan di lapangan, untuk kemudian disajikan kepada audiensnya. Audiens akan menerima apa yang disajikan media. Informasi saat itu sifatnya lebih searah dan audiens dalam posisi pasif menerima apa yang terpublikasi di media.
Kini, lewat revolusi sejak internet ditemukan, audiens memiliki lebih banyak pilihan. Pilihan media menjadi sedemikian banyak. Berita lebih cepat diakses dalam lingkaran 24/7 (24 jam dalam satu minggu) dan yang paling penting, audiens hari ini juga bisa menjadi penyedia informasi bagi media. Akses terhadap informasi tidak lagi melulu dikuasai oleh orang media, tetapi audiens tertentu juga bisa mengakses bacaan yang sama, yang dibaca oleh jurnalis hari ini.
Jika kita ingin memperluas makna audiens, kita akan bertemu dengan sejumlah konsep, seperti audiens adalah publik yang merupakan bagian dari warga dari suatu negara, menjadi bagian masyarakat sipil. Namun, di sisi lain, audiens juga bisa dilihat sebagai pasar, bagian dari suatu ekosistem pemberitaan yang menjadi konsumen (sekaligus produsen) yang juga akan menjadi penopang kehidupan media.
Presiden Joko Widodo menghadiri peringatan Hari Pers Nasional di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Deli Serdang, Sumut, Kamis (9/2/2023). Presiden menyampaikan, media arus utama sangat dibutuhkan untuk menjadi rumah penjernih informasi di era banjir informasi saat ini.
Selera audiens pun bisa berbeda-beda. Ada yang suka pada berita politik, ada yang suka hanya pada berita olahraga, ada juga yang senang membaca opini dari para pakar, ada yang gemar dengan sastra, dan lain-lain. Menangkap apa yang menjadi kemauan audiens hari ini jadi lebih sulit karena terjadi perubahan selera, perubahan generasi, perubahan teknologi, dan juga berubahnya ekosistem media hari ini.
Syukurlah dalam kemajuan teknologi modern hari ini, banyak pihak yang bisa membaca selera audiens dalam bentuk yang kuantitatif, seperti layanan yang diberikan oleh Google analytics, Chartbeat, ataupun perusahaan pengukur lainnya. Data hasil olahan mesin-mesin pengukur itu akan membantu pihak media untuk membaca arah kemauan para audiens. Namun, apakah media harus selalu menyajikan apa yang disukai oleh audiens? Bagaimana dengan hal-hal yang media anggap tetap penting diketahui audiens? Bukankah informasi semacam ini juga tetap harus disediakan oleh media?
Keseimbangan dua kutub
Kompleksitas atas hal inilah yang menjadi pokok bahasan forum Ombudsman Kompas pada Jumat (26/5/2023). Dalam ruang editorial, tarik menarik antara editorial driven journalism dan audience driven journalism memang terjadi. Namun, dari diskusi pada forum tersebut akhirnya muncul kesepakatan bahwa perlu ada upaya menerapkan keseimbangan atas dua kutub tadi; karya jurnalisme yang didorong oleh redaksi media dan jurnalisme yang didorong oleh kesukaan audiens.
Orientasi media dalam mengolah dan menyampaikan informasi tetap berkesesuaian dengan kepentingan publik bersifat idealistis dan pragmatis. Audiens mungkin cenderung suka hal yang ringan, santai, renyah, dengan tampilan foto yang cantik, pemandangan indah, atau aspek-aspek ringan dari kehidupan kita. Di sisi lain, redaksi media tetap memiliki sejumlah agenda yang tetap disorongkan pada audiens, karena redaksi menganggap topik tersebut penting diketahui.
Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Di tengah gempuran media sosial, media arus utama saat ini masih menjadi acuan informasi bagi warga.
Menariknya, ternyata data menunjukkan bahwa liputan serius lewat jurnalisme investigasi, jurnalisme data, juga disukai audiens. Artikel semacam ini banyak dibaca audiens, memperoleh keterhubungan (engagement) dari audiens baik dalam bentuk menyebarkan lagi artikel tersebut, memberikan komentar, dan lain-lain. Hal ini tentu menggembirakan karena artinya pilihan atas artikel itu dianggap relevan oleh audiens.
Dalam forum, penting pula diingatkan, jika ada suatu artikel yang disukai banyak audiens, hal itu tidak berarti bahwa artikel itu tulisan terbagus atau hasil liputan yang lebih baik dari tulisan lainnya. Sebaliknya, ada banyak tulisan di media yang sebenarnya bernilai penting, bagus ditulis, tetapi terkadang luput dibaca oleh audiens yang banyak. ”Jurnalis perlu terus rendah hati menilai bahwa tulisan yang tak mendapat banyak pembaca, bukan berarti tulisan yang jelek,” kata jurnalis senior Kompas.
Membicarakan audiens tidak akan pernah berkesudahan. Namun, media saat ini sangat berkepentingan untuk makin mengenal audiensnya dan juga mengetahui apa yang mereka inginkan dari media hari ini di tengah kepungan kompetisi media arus utama dan media sosial. Media melakukan hal ini agar tetap relevan di tengah pembaca baru dan pembaca lama. Demografi pembaca bergerak dinamis. Survei terhadap profil audiens menunjukkan pembaca Kompas terkonsentrasi pada rentang usia 25-54 tahun dengan jumlah pembaca digital yang semakin bertumbuh.
Ombudsman Kompas, sebagai organ yang menjembatani kepentingan ideal dan pragmatik audiens pembaca terhadap editorial media, mendorong dualitas jurnalisme yang didorong redaksi media dan jurnalisme yang didorong oleh kesukaan audiens bisa terwujud. Apa yang disukai audiens tetap perlu diperhatikan, tetapi sebaliknya apa yang menjadi agenda liputan pilihan redaksi juga tetap harus dilakukan. Bukankah media pers tak semata-mata menyandang fungsi informasi dan hiburan, tetapi juga tetap memiliki fungsi pendidikan dan fungsi kontrol sosial? (Jika memiliki pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan kirim pendapat Anda ke e-mail ombudsman@kompas.id)