Mulai 2023, warganet (netizen) disuguhi berbagai informasi mengenai penampilan para figur publik. Menariknya, banyaknya informasi ini muncul sebagai side story dari kasus yang menimpa elite politik, pejabat, serta aparatur negara berikut keluarga mereka. Bayangkan, saya bahkan pernah diwawancara stasiun televisi untuk membahas cara berpakaian seorang istri petinggi polisi dalam kasus kejahatan paling ”membagongkan” di negara ini.
Bergiliran terkuak kasus high profile lain yang otomatis turut menyorot barang mewah yang mereka miliki, mulai mobil hingga aksesori mode. Sekarang, seolah seluruh lapisan masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan yang sama dengan yang mungkin selama ini hanya diketahui oleh pencinta dan pekerja mode, yaitu tentang jenama mewah (luxury brand) berikut harganya.
Kebanyakan yang dibahas adalah jenama mewah yang dimiliki oleh elite politik, pejabat, dan aparatur negara beserta keluarganya. Ironis? Bisa jadi. Mungkin karena mereka diharapkan memiliki visi dan misi yang sejalan dengan masyarakat, termasuk dalam urusan penampilan. Penampilan keseharian yang terekam jejak digital adalah serba mewah dengan harga bombastis, sementara masih ada rakyat yang bahkan tidak bisa mengganti sepatunya yang sudah sobek.
Memakai jenama mewah wajar saja bagi yang mampu membelinya asalkan duit yang dipakai dari hasil kerja keras sendiri, bukan dari hasil merampok atau korupsi.
Sepanjang pengalaman saya bekerja di industri mode, ada beberapa tipe pembeli jenama mewah. Pertama, mereka yang memang mengerti arti sebuah desain. Mengerti apa itu kualitas dari sebuah barang hingga kadang mengerti cara pembuatannya. Golongan ini mungkin sedari kecil sudah terpapar dengan luxury brand karena di sekelilingnya (orangtua, keluarga, dan teman sekolah) memakainya.
Kedua, mereka yang membeli jenama mewah karena tidak mau FOMO seperti istilah gen Z, yaitu fear of missing out. Golongan ini kebanyakan membeli for the sake of prestige belaka karena orang lain di sekelilingnya juga membeli barang mewah. Mungkin memang mereka tajir benaran dan memang sengaja ingin kelihatan berlimpah duit bak Sultan. Prinsip mereka adalah ”membeli” merek bukan desain.
Di kelompok ini ada juga sebagian yang lebih ”kreatif” sampai menghalalkan segala cara untuk terlihat wow dan bisa membeli ”jenama mewah” palsu alias KW tanpa merasa bersalah. Padahal, membeli barang palsu juga termasuk kejahatan intellectual property lho bapak dan ibu yang terhormat. Di negara lain bisa masuk penjara tuh.
Dengan banyaknya informasi mengenai jenama mewah di semua lini media, mengapa jadinya penting dipakai, terutama di kalangan elite politik, pejabat, dan aparatur negara? Apakah untuk pencitraan? Citra apa yang sebenarnya ingin ditampilkan dengan mengenakan jenama mewah?
Beda halnya dengan para pekerja di perusahaan swasta. Ada beberapa perusahaan swasta yang memang kultur perusahaannya justru mendukung para pekerjanya terlihat mentereng memakai barang mewah. Ini dilakukan sebagai trik dagang agar calon klien mereka percaya bahwa perusahaan tersebut bonafide dan akan menghasilkan banyak keuntungan yang membikin calon klien sejahtera. Sah saja. Karena kultur tiap perusahaan swasta memang berbeda.
Namun, apabila elite politik, pejabat, atau aparatur yang bekerja untuk melayani masyarakat lalu terlihat mengenakan pakaian, aksesori, tas, atau sepatu seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah, sebel juga kita sebagai rakyat jelata yang tertib bayar pajak ini. Lalu kita jadi suuzan ada sebagian uang pajak kita dipakai untuk ”menyumbang” tas Louis Vuitton milik si ibu A atau jam Richard Mille yang dipakai si bapak B.
Ada juga berita elite politik dan pejabat yang melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah, bahkan ke pasar, dengan tetap mengenakan jenama mewah. Memang dari 38 provinsi di Tanah Air ini tak ada jenama lokal bagus apa yang layak dibeli dan dipakai?
Tahu tidak istilah ”You Are What You Wear”? Siapa Anda adalah apa yang Anda kenakan. Jadi apabila ada seorang elite politik atau pejabat yang dari ujung rambut hingga ujung kaki mengenakan atribut jenama mewah, apalagi yang lengkap dengan logo-logonya, citra apa sebenarnya yang ingin ditampilkan?
Kalau melihat semua ini, saya hanya bisa merenungi perjalanan jenama lokal dan UMKM yang dalam delapan tahun terakhir mendadak viral dan menjadi anak emas di beberapa kementerian lembaga bahkan sudah mendapatkan suntikan dana ratusan triliun rupiah pula dari pemerintah agar naik kelas.
Sudah banyak provinsi yang memiliki binaan UMKM sendiri. Sangat logis apabila elite politik dan pejabat di provinsi tersebut mendukung binaannya sendiri. Jangan hanya sekadar ngomong atau membeli, ya dipakai juga dong.
Entah apa yang membisiki elite politik dan para pejabat sehingga harus banget mengenakan jenama mewah. Bisa jadi alasannya bukan karena menyukai atau mengerti desainnya. Karena kalau memang penyuka desain, mau itu jenama mewah atau tidak, pasti dibeli dan mereka akan tetap percaya diri untuk memakainya dalam keseharian. Saya melihat banyak yang sepertinya insecure apabila tampil tanpa jenama mewah. Padahal konsep tata busana yang baik bukan dilihat dari merek dan harganya.
Dalam etika berbusana, selayaknya individu berpakaian sesuai perannya, pekerjaan, dan sesuai sikon (situasi dan kondisi). Bahasa modenya ”Dress the Part”. Untuk jenama mewah apabila mengenakannya hanya untuk prestise, percaya deh penampilan keseluruhan bukan menjadi keren malah menjadi norak. Alih-alih ingin terlihat modis dan terdepan, eh malah jadinya terlihat kampungan.
Itulah mengapa kita sering ngebatin kalau melihat ada orang yang mengenakan jenama mewah asli tetapi saat dipakai orang itu kok tetap kelihatan tidak sophisticated malah terlihat ”murah” dan KW ya? Istilah ”Money can’t buy taste itu memang benar adanya.
Kembali ke elite politik, pejabat, dan aparatur negara. Mereka harus menyadari bahwa mereka adalah role model bagi orang di sekelilingnya. Rakyat yang merupakan makhluk sosial juga visual, otomatis ”merekam” cara bergaya para role model sebagai inspirasi dalam bergaya. Ini sebenarnya bisa jadi positif.
Di sisi lain, para pelaku UMKM seharusnya bisa merancang produk dengan desain yang orisinal agar turut serta ”mengedukasi” calon pembeli, termasuk dari kalangan elite politik dan pejabat. Meski lucunya ketika melakukan kurasi dan mentoring untuk UMKM, baik yang di DKI maupun provinsi lain, saya banyak menemukan pelaku yang merancang produknya dengan menyontek desain dari jenama ternama.
Bahkan baru-baru ini, rekan sesama mentor yang baru pulang dari luar Pulau Jawa menceritakan kebingungan pelaku UMKM di situ saat disarankan merancang desain tas yang orisinal. Mereka menjawab dengan polos, ”Tapi bagaimana ya... kami sering diminta ibu-ibu pejabat merancang tas yang sama seperti model dari Chanel dan Hermes.” Lha?
Khairiyyah Sari, Konsultan Mode dan Penampilan