Keberagaman 190 Bangsa di Kota ”Multikulti” Berlin
Pada 21 Mei, Hari Keberagaman Dunia dirayakan. Berlin salah satu kiblat keberagaman dengan penduduk dari 190 bangsa. Kejahatan terkait SARA berupaya menggerogotinya, tetapi Berlin konsisten menjadi kota terbuka.

Neli Triana

Senja di salah satu sudut kota Berlin, Kamis (25/5/2023).
Berlin di ujung Mei. Cuaca ibu kota Jerman itu masih transisi menuju musim panas. Hujan bisa tiba-tiba mengguyur ditemani angin dingin, menusuk tulang. Esoknya, terang benderang. Tak ada lagi kelabu. Matahari garang bersinar sampai jam sembilan malam.
Langit cerah itu bel penanda bagi orang-orang untuk segera berhamburan ke luar rumah. Taman kota ada di mana-mana. Ruang makin melimpah dengan dialihfungsikannya beberapa jalan menjadi kawasan bebas kendaraan bermotor. Kursi aneka rupa ditata asyik untuk diduduki berlama-lama sembari menyesap kopi, minuman segar, mengudap penganan, lalu bercengkerama.
Orang-orang yang hilir mudik di jalanan begitu rupa-rupa. Banyak warga berkulit putih, tetapi sangat umum pula melihat orang dengan kulit aneka warna. Ada yang berhijab, ada yang bertato di sekujur tubuh lengkap dengan anting di beberapa bagian wajahnya, ada yang memakai rok pendek dan sepatu sandal tetapi berjenggot lagi kekar. Dari bayi, anak-anak, remaja, sampai orang lanjut usia, semua bersemangat menerima sengatan mentari hari itu.
Baca juga: Mengikis Kekerasan Seksual dengan Sepak Bola

Salah satu ruas jalan di pusat kota Berlin, Jerman, yang ditutup dan dijadikan sebagai kawasan tanpa kendaraan bermotor. Kamis (25/5/2023) malam, warga setempat maupun turis asyik nongkrong di sana.
Keunikan yang amat menarik itulah yang sejak dulu dibanggakan oleh Berlin. Kota itu bahkan menyebut dirinya ibu kota keberagaman. Alasannya, sekitar 3,5 juta penduduk kota itu berasal dari 190 bangsa di dunia. Lebih dari 250 agama dan kepercayaan atau ideologi diusung secara aktif oleh masyarakat di sana. Berlin juga menjadi rumah terbesar di Eropa bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transeksual. Bersamaan dengan perayaan Hari Keberagaman Dunia pada 21 Mei lalu, Berlin dan keunikannya kembali menarik untuk disimak.
Catatan The New York Times dalam ”Multikulti Berlin”, sejak abad ke-17 Jerman yang kala itu masih Prusia mengawali keterbukaannya dengan menerima imigran asal Perancis. Sebutan multikulti atau multikultural ditandai di antaranya ketika sekitar 20.000 Huguenot, orang Perancis beragama Kristen Protestan yang teraniaya dan dikucilkan di negerinya beremigrasi ke Prusia. Pada 1671, orang Yahudi pertama yang melarikan diri dari Vienna di Austria tiba di Berlin dan diberi perlindungan khusus oleh pemerintahan saat itu.
Di masa modern sekarang, Jerman dan khususnya Berlin menjadi salah satu tujuan utama pencari suaka asal Afganistan, Suriah, dan warga dari negara-negara bermasalah lainnya. Terakhir, negara ini membuka pintu lebar-lebar untuk pengungsi asal Ukraina.
Baca juga: Coldplay Membawa Jakarta Lebih Dekat Menjadi Kota Musik

Mural paling ikonik di Tembok Berlin di Berlin, Jerman. "The Kiss" ini karya Dmitri Wrubel yang berarti ciuman persahabatan antara pemimpin Soviet dan Presiden Jerman Timur. Mural ini penanda sejarah kelam Jerman kala sebagian negaranya dikuasai komunis.
Di luar itu, banyak orang dari negara berkembang, seperti halnya Indonesia, yang berusaha menemukan kehidupan lebih baik di Jerman. Konsentrasi warga keturunan Asia disebut ditemukan paling banyak ada di Berlin dibandingkan kota lain di Jerman. Tak lain ini karena kota tersebut dinilai jauh lebih terbuka dan ramah terhadap orang asing.
Keberagaman memang telah mendarah daging di Berlin sejak berabad silam. Namun faktanya, kehidupan urban yang inklusif tak selalu bergulir.
Siapa yang dapat melupakan kekejaman semasa Hitler berkuasa. Tidak hanya orang Yahudi yang coba dienyahkan dari tanah Jerman, tetapi juga suku bangsa Rom atau Roma. Rom, suku bangsa dari India Utara yang hijrah ke Persia atau Iran pada abad ke-11. Dalam perjalanannya, mereka banyak menyebar ke Eropa, bahkan Amerika.
Orang Eropa umumnya menyebut mereka Gipsi karena dianggap sebagai orang Mesir (Egypt) dari kulitnya yang gelap. Di Jerman, mereka disebut Sinti. Sebutan-sebutan itu cenderung menghina atau merendahkan. Saat Nazi pegang kendali di Jerman, sekitar 500.000 orang Gipsi dibunuh.
Baca juga: Perilaku Buruk Pengemudi Musuh Segala Bangsa

Taman peringatan pembunuhan kaum minoritas Sinti dan Roma di Eropa yang berada di dekat Brandenburg Gate, Berlin, Jerman, Kamis (25/5/2023).
Kejahatan karena kebencian berlanjut pada masa lebih modern. Xenofobia, ketidaksukaan pada orang keturunan Asia, khususnya China, muncul pada tahun 1990-an di Berlin. Seusai Tembok Berlin pemisah Jerman Timur yang komunis dan Jerman Barat diruntuhkan pada 1989, perlu bertahun-tahun agar masyarakat dari kedua wilayah kembali berbaur menyatu.
Kota terbuka
Berlin secara khusus membentengi diri dari potensi terus bergulirnya kejahatan karena kebencian berbasis SARA dengan mendeklarasikan menjadi kota keberagaman dan inklusif. Kota yang terbuka untuk semua ideologi, suku, maupun ras juga mereka dari berbagai latar belakang ekonomi ataupun pendidikan.
Menjadi terbuka berarti pula Berlin tak menutupi jejak kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi. Tugu peringatan sampai museum didirikan dan dirawat menjadi destinasi wisata global.
Baca juga: Perisai Hijau Kota Penangkal Suhu Panas

Taman peringatan pembunuhan kaum Yahudi di Eropa di dekat Brandenburg Gate, Berlin, Kamis (25/5/2023).
Di sekitar Gerbang Brandenburg, ikon perdamaian Berlin dari abad ke-18, misalnya, ada Taman Peringatan Pembunuhan Sinti dan Roma di Eropa. Selain itu, ada Taman Peringatan Pembunuhan Orang Yahudi di Eropa. Tujuannya tak lain agar semua orang mudah memahami buruknya kejahatan kemanusiaan karena kebencian terkait suku, agama, dan ras. Siklus kejahatan kemanusiaan itu pun diharapkan dapat diakhiri.
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada September 2021 sampai berbicara terbuka kepada publik dengan menyatakan tidak menoleransi xenofobia dan kebencian pada imigran.
Akan tetapi, di masa sekarang, berbagai fasilitas peringatan tragedi masa lalu terbukti belum cukup untuk meredam berbagai konflik yang kembali mengemuka. Perang di sejumlah negara, termasuk di Ukraina, masih berlangsung. Pukulan pada kemanusiaan makin telak ketika pandemi Covid-19 melanda hampir 3 tahun belakangan. Semua itu memukul mundur kemajuan ekonomi dan sosial di banyak negara, bahkan memangkas cara berpikir logis sebagian masyarakat.
Walau tidak separah di beberapa negara Eropa lain, krisis ekonomi turut menjerat Jerman. Meskipun boleh dibilang sangat sedikit, di Berlin kini biasa menemukan orang yang tak memiliki tempat tinggal. Mereka menggelandang di jalanan dan mengisi perut dengan mengais makanan sisa dari tempat sampah. Isu ini sedikit banyak berkorelasi dengan meningkatnya kembali kejahatan terkait SARA. Imigran lagi-lagi dinilai sebagai pemicu segala kekacauan.
Baca juga: Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres

Brandenburg Gate, Berlin, Jerman.
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada September 2021 sampai berbicara terbuka kepada publik dengan menyatakan tidak menoleransi xenofobia dan kebencian pada imigran. Pernyataan itu berkaitan dengan banyaknya ujaran maupun kekerasan terhadap warga keturunan Turki di sana. Jerman menegaskan lagi mereka adalah negara imigran. Warga keturunan Turki yang mencapai 3 juta orang di Jerman banyak menjadi pekerja profesional dan seniman. Imigran dari negara lain tak kalah besar kontribusinya.
Kebijakan dan inisiatif
Selain pernyataan resmi pemerintah, berbagai program digulirkan oleh pemerintah maupun swasta untuk melawan kejahatan karena kebencian SARA. Jerman memiliki General Equal Treatment Act atau aturan penjamin perlakuan negara yang setara untuk semua orang, juga ada National Agency for Equal Treatment Against Discrimination yang lebih mengatur untuk melawan diskriminasi.
Berlin pada 2011 mendeklarasikan diri sebagai kota yang majemuk. Sejak itu, Berlin menjadi kota transisi yang mengawali menjadi kota majemuk terbuka. Kala itu, meskipun sudah lebih dari dua dekade Tembok Berlin runtuh, dinilai banyak masalah berhubungan dengan prasangka tentang keberagaman yang masih dalam tahapan proses diselesaikan.
Baru-baru ini, ada Hilfe in Berlin, portal khusus yang menangani korban kejahatan, khususnya kejahatan karena kebencian terkait SARA. Fasilitas ini melengkapi berbagai kebijakan dan aturan antidiskriminasi.
Baca juga: Aroma-aroma Kota yang Membuat Jatuh Cinta

Checkpoint Charlie, Berlin, Jerman.
Pihak swasta ikut terjun mengambil inisiatif terkait isu ini. Salah satu contohnya adalah ajang Intercultural Innovation Hub (IIH) yang dihelat oleh The United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) dan BMW Group. Menjelang akhir Mei 2023 ini, dalam perhelatan pemberian penghargaan di Berlin, salah satu penerima IIH adalah Swans.
Swans adalah organisasi yang dikembangkan di Jerman untuk mendukung perempuan dari keluarga imigran dan berkulit warna. Organisasi ini menawarkan lokakarya tentang topik terkait karier seperti kepemimpinan, negosiasi, dan pelatihan lamaran kerja, bersama dengan sistem pendukung berbasis sukarelawan. Sasaran program adalah perempuan karena diharapkan selain mereka menjadi mudah masuk bursa kerja resmi, mampu mandiri dan berdaya demi diri sendiri, maupun keluarganya.
Seberapa jauh atau luas dampak kebijakan antidiskriminasi pemerintah maupun inisiatif di akar rumput seperti Swans?
Tentu tidak mudah mengukur keberhasilannya, terlebih ketika kejahatan karena kebencian pun masih terus terjadi. Namun, kesetiaan Berlin menjadi kota terbuka untuk siapa saja disertai pembaruan kebijakan maupun inisiatif pendukung perbedaan dan inklusi menunjukkan konsistensi Berlin sebagai ibu kota penjaga keberagaman.
Baca juga: Catatan Urban

Museum Altes di Berlin, Jerman, dengan taman lapang dan air mancur yang diserbu masyarakat untuk menghabiskan waktu di luar rumah kala cuaca cerah.